Namaku Kim Raa Ka

16 2 0
                                    

Ibu menungguku di depan gerbang sekolah, dengan membawa tas besar yang menggantung di tangan kirinya. Saat aku mengetahui keberadaannya di sana, aku pun segera berlari menyusul menuju gerbang. Saat itu pula aku pulang sekolah lebih  awal, karena memang dijadwalkan oleh menteri pendidikan bahwa waktu belajar di sekolah akan dipersingkat. Itu menurut apa yang aku tahu sebagai anak sekolah dasar berumur delapan tahun. Sisanya mungkin akan aku pertanyakan kepada ibu. Ya...kuharap tidak akan lupa untuk mengatakan kepadanya.
"Ibu!!!"
"Raa Ka, bagaimana belajar di sekolahnya? Menyenangkan?"
"Ibu selalu bertanya seperti itu, padahal aku sudah beranjak satu tahun sekolah di sini." Ujarku dengan senyum yang tak akan habis, tentu saja hanya untuk ibuku seorang.
Ibu hanya tertawa, sembari mengelus rambutku lembut.
"Apakah ibu tidak boleh bertanya seperti itu di depan Raa Ka?"
"Nggak pa pa, koq. Raa Ka tambah sayang sama ibu. Apapun yang terjadi aku akan bercerita kepada ibu!" Jawabku antusias, semangat 45 dari seorang anak SD. Kulihat kedua mata ibu nanar saat menatapku, setiap kali aku tersenyum di depannya. Selalu ada air mata yang berusaha timbul di antara senyuman kami.
"Ibu menangis?" Redupku, sekilas ibu menggeleng, kemudian kedua tangannya menyentuh pipiku yang agak berisi. Kata guruku wajahku terlihat gemuk, namun postur tubuhku tidak menandakan bahwa aku adalah seseorang yang akan mengalami obesitas. Dilihat dari gen yang ada, aku adalah salah satu keturunan yang memiliki waktu-waktu tertentu dalam hal menggemukkan badan. Kulihat ibu bukanlah tipe wanita yang akan menyimpan lemak dalam tubuhnya, ternyata dugaanku salah. Lantas, gen siapa itu?
"Iya, sayang. Ibu sedang teringat tentang seseorang yang sangat mirip denganmu." Jawab ibu sembari menyeka air matanya yang meleleh membasahi pipinya. Meski umurnya sudah tak muda lagi, aura kecantikan ibu masih terpancar indah dalam dirinya.
"Apakah seseorang itu adalah Ayahnya Raa Ka?" Ujarku terus terang. Meski tidak menjamin untuk membuat ibu merasa lega.
"Maafkan, Raa Ka, Bu. Raa Ka nggak akan membuat ibu bersedih lagi."
"Raa Ka tak perlu meminta maaf. Seseorang itu memang Ayah kamu, koq." Jawab ibu.
"Ibu mau memperkenalkan dia pada Raa Ka?"
"Suatu hari nanti kamu pasti akan bertemu dengannya, sayang."
Kembali mencoba tersenyum. Kami pun melangkahkan kaki beriringan. Disela-sela perjalanan aku selalu mengajak ibu berbicara, entah diriku yang sedang bertanya kepadanya, entah ibu yang sedang mengenang perjuangannya saat melahirkanku.
"Ibu, katanya waktu belajar di sekolah mulai dibatasi di masa ibu masih sekolah, kan? Apa benar seperti itu?"
"Ya, itu benar, Sayang. Saat itu generasi ibu menjadi generasi pertama kali yang menghadapi tahun kelulusan tanpa UN."
"Wah... generasi ibu hebat, ya. Mampu menghanguskan UN dengan kekuatan mereka." Kagumku.
"Hahaha...tidak juga, sayang. Saat itu ibu tidak sedang fokus dengan adanya ditiadakan UN."
"Lantas? Apa yang sedang ibu pikirkan waktu itu?"
"Memikirkan siapa yang berada di bawah kendali semua ini."
Aku kurang mengerti, "Maksud ibu?"
"Nanti kamu juga akan tahu sendiri, sayang." Jawab ibu, sembari mengelus   rambutku.
"Sekarang kita mau kemana, Bu?"
"Kita akan mencari tempat tinggal lagi, sayang."
"Itu berarti kita pindah?"
"Iya, sayang."
"Apa yang membuat kita harus pindah rumah setiap satu bulan sekali, Bu?"
"Jangan khawatir, sayang. Ibu akan usahakan tempat tinggal kita tak jauh dengan sekolah kamu."
"Mengapa mesti pindah, ibu? Apakah saat mengandungku ibu juga sedang mencari tempat tinggal?"
Awalnya ibu terdiam, sembari menatapku, dengan senyuman yang hampir surut. Kini kami menghentikan langkah, ibu berbalik menghadap ke arahku dengan posisi setengah duduk, menyesuaikan tinggi badanku dengan dirinya.
Kembali ia menyentuh pipiku, seolah ia tidak ingin kehilangan diriku untuk terakhir kalinya. Tidak mungkin seperti itu, aku tidak akan meninggalkan ibu sendirian! Apapun yang terjadi aku harus bersama ibu.
"Sayang..."
"Iya, Ibu?"
"Nanti kita bicarakan lagi, ya? Mungkin terlalu panjang untuk diceritakan, sayang." Aku hanya mengangguk dua kali. 
"Tempat tinggal kita sebentar lagi akan terlihat, kadcha!" Ujar ibu dengan akhiran kata yang berartian "ayo". Sejujurnya aku bisa empat bahasa. Mungkin bisa dibilang  bahasa-bahasa lokal yang sering dipakai saja. Dari bahasa Indonesia, bahasa Korea, bahasa Inggris, dan bahasa Jawa. Siapa lagi yang mengajarkanku? Tentu saja ibu.
Ibu selalu mendukungku untuk pelajaran yang aku suka dan tidak begitu aku suka, kata ibu, "belajar yang disukai memang baik, tapi bila yang tidak disukai juga dibuat untuk belajar, juga lebih baik" itu menurut seingatku, sih. Dan...akhirnya...aku pun mempelajari pelajaran PKN dan Sejarah. Dua mata pelajaran yang tidak aku suka.
Setelah sepuluh menit kami berjalan, akhirnya kami sampai di sebuah gedung besar.

"Kita akan tidur di sini untuk sementara waktu, sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita akan tidur di sini untuk sementara waktu, sayang." Ujar ibu, tanpa mengatakan apa-apa kami pun memasuki depan gedung tersebut, hingga kami sampai di sebuah tempat yang terdiri dari beberapa orang yang sedang berbicara dengan dua wanita serupa pramugari.

" Ujar ibu, tanpa mengatakan apa-apa kami pun memasuki depan gedung tersebut, hingga kami sampai di sebuah tempat yang terdiri dari beberapa orang yang sedang berbicara dengan dua wanita serupa pramugari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami pun berhenti di sana untuk sementara, ibu pun berbicara dengan salah satu wanita berpakaian serba hitam dengan rambut tergulung ke belakang. Sekilas wanita itu melihat ke arahku, setelah ia bertanya sesuatu kepada ibu.
"Anda bersama siapa sekarang?"
"Ini, bersama anakku."
"Ouh, dia? Dia anak Tuan..." Wanita itu tak jadi melanjutkan kata-katanya, saat ia menerima kode dari ibu.
"Tidak usah membawa nama itu terutama di depan anakku." Bisik ibu padanya.
"Ooh, ya, ya. Tapi...dia tampan sekali, ya. Mirip sekali dengan ayahnya. Pasti beliau bisa mengenalinya dengan mudah."
"Mana mungkin bisa, dia bertemu dengan anaknya pun belum pernah."
"Benarkah?! Ah, Tuan Kim selalu saja seperti itu."
"Sudahlah, jangan membicarakan dirinya lagi. Omong-omong berapa lama aku bisa di sini untuk sementara?"
"Emm...Anda 'kan, sudah memesan lewat aplikasi online. Jadi saya hanya bisa memberikan anda kunci kamar, nanti pelayanan berikutnya bisa melalui telepon gratis pulsa."
"Nggak, maksud aku, bisa berapa hari aku di sini."
"Beberapa hari? Mungkin menunggu keputusan anda dengan..."
"Ha...kau ini. Oke, makasih, ya, aku duluan."
"Iya, sama-sama, selamat menikmati fasilitas kami."
Ibu pun mengajakku memasuki lift, dan mulai menuju ke kamar yang (katanya) sudah ibu pesan dari sebuah aplikasi.
"Ibu sepertinya mengenali wanita itu." Ujarku.
"Iya, sayang. Dia teman kerja ibu waktu masih muda."
"Benarkah? Terus ibu bertanya tentang berapa lama kita di tempat ini?" Tanyaku, saat kami baru saja keluar dari lift yang sudah sampai di lantai 27, kemudian tinggal berjalan menuju kamar kami. Kamar nomor 321.

Fuck to My Father Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang