Aku hanyalah seorang pelayan cafe, sebuah cafe berkelas kesukaan para artis di Seoul, ibukota Korea Selatan. Aku bekerja di cafe tersebut sudah 10 tahun lebih. Setelah menyelesaikan sarjanaku di sebuah universitas ternama di Indonesia, di mana aku memilih jurusan bahasa di negara tersebut. Dan mendapatkan kabar bahwa aku sudah diperbolehkan untuk tinggal di sana. Dan kali ini untuk sepuluh tahun terakhir aku tinggal di Seoul, tidak hanya sebagai pengarang cerita pendek namun juga berprofesi sebagai pelayan cafe. Memang terdengar lucu, tapi bagiku hal itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Kehidupanku secara perlahan menjadi terasa aneh saat aku mulai dipertemukan oleh seorang pria muda di cafe tempatku bekerja. Kupikir aku hanya sekilas menatapnya sekadar terlintas dari pandanganku, ternyata Tuhan kembali mempertemukan kami sekali lagi. Di tempat yang sama, pada waktu malam yang terasa dingin mengigit bibir.
"Hei!" Sapa lelaki itu, kupikir ia sedang menyapa orang lain. Dan ternyata ia memang sedang memanggilku. Bukan sebagai apa-apa tentunya, hanya sekadar mengantarkan pesanan. Saat aku tahu dia sedang memanggilku, aku pun membalikkan badan, menoleh...oh, aku terperangah dibuatnya, dia begitu berwibawa, tampak lebih dewasa dengan kacamata bening yang ia kenakan, dengan setelan jas hitam, arloji termahal sejagat raya yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ditambah lagi dengan gaya rambutnya yang tersisir rapi ke belakang. Menambah aura kewibawaannya semakin membuat hatiku meloncat-loncat. Di wajahku aku hanya tertegun, dengan bibir agak terbuka seolah sedang melongo. Dan memang benar aku melongo karena dirinya.
"Kenapa kau memasang wajah seperti itu, hm? Kau terkejut?" Suara pria itu terdengar berat, agak serak-serak basah bagiku. Ketika ia mulai menampakkan lesung pipinya dengan seulas senyum yang bertengger di antara keduanya. Hatiku terasa sedang meleleh, sedikit aku hendak memalingkan wajahku. Namun pria itu menempelkan tangannya ke pundakku, entah sejak kapan ia berhasil berusaha menyuruhku untuk tidak berpaling darinya.
"A...anda mau pesan apa?" Ujarku kemudian, agak canggung tentunya. Disertai rasa campur aduk antara malu dengan rasa berdebar dalam dadaku. Ya Tuhan, sedang apa aku ini?!! Ada apa dengan perasaanku?! Mana mungkin aku sedang jatuh cinta?!!
"Maukah kau menikah denganku?"
"Ha??" Seketika aku terperangah, sekilas kini tatapanku terfokus pada kedua matanya yang bagaikan mata elang di balik kacamatanya. Memandangku dari sana dengan tangan terlipat di atas meja makan. Malam ini terasa dingin mengigit kulit saat ia mengucapkan kata-kata aneh seperti itu.
Apa yang sedang dibicarakan pria ini?! Ujarku membatin.
"Aku bilang, maukah kau menikah denganku?" Ulangnya, seolah aku terlihat bodoh di hadapannya.
"Maaf, Tuan. Mungkin Anda salah orang." Ujarku mengoreksi.
"Tidak, aku yakin aku sudah berbicara dengan orang yang benar."
"A...anda benar-benar sedang berbicara dengan orang yang salah."
"Tidak, gadis pelayan. Aku memang sedang berbicara denganmu."
"Ka...kalau begitu, apa yang anda inginkan."
"Maukah kau menikah denganku?" Ulangnya sekali lagi, membuat aku sedikit geram. Kembali aku menurunkan pena dan booknote-ku secara langsung, sembari memasang wajah masam. Menatap tajam pria berkacamata itu. Walau ia sudah membuat aku tertarik karena kewibawaannya, dia sudah meminta aneh-aneh kepada seorang pelayan biasa sepertiku. Bagaimanapun aku sebagai rakyat biasa butuh pengakuan yang besar oleh pria tersebut.
"Maaf, Tuan. Pesanan itu tidak ada!" Ujarku tegas, dengan suara pelan tentunya sehingga hanya diriku dan pria itu yang mendengar jawabanku. Terdengar tawanya yang agak keras, tawa seolah meremehkan. Kembali ia menatapku.
"Aku suka leluconmu, cantik." Sejak kapan ada orang yang memanggilku dengan istilah menjijikkan itu?!
"Aku sedang meminta kepadamu. Bisakah kau lebih sopan sedikit?"
"Seharusnya Tuan yang lebih sopan sedikit terhadap saya! Kalau memesan tak usah bertele-tele, sekarang jawab apa yang Tuan mau malam ini."
"Malam ini aku ingin tidur bersamamu-." Tanpa berpikir panjang aku melangkahkan kakiku menjauhi dirinya. Tak peduli siapapun yang melihat langkahku yang tiba-tiba meninggalkan dirinya di mejanya. Sebelum aku bertemu dengan bosku, aku pun menjauhi ruang meja dan kembali menyiapi pesanan pelanggan kaya raya yang lain.
Baru pertama kali ini aku diperlakukan seperti itu, meski bukan di hadapan banyak orang, apalagi di hadapan para aktor dan aktris ternama Korea Selatan.
Nyebelin banget sih, orang itu! Aku udah tanya baik-baik jawabannya kayk gitu. Buat apa, sih, punya uang banyak kalau nggak bisa menghargai orang lain?! Aku, kan, juga wanita!!
Gerutuhku dalam hati, masih mengingat ucapan pria itu meski aku sudah memalingkan tatapanku dari penglihatan tajamnya.
Entah mengapa, tanpa aku sadari sekilas aku kembali menoleh ke arah tempat pria itu yang masih berada di mejanya.
Tatapannya tajam, setajam tatapan seekor elang yang sedang memburu mangsanya dari jarak bermil-mil jauhnya. Menembus tatapanku yang ternyata sedang memandangnya balik.
Sekilas aku pun melangkahkan kaki menjauhi pandangannya, tak mungkin tidak ada kamera paparazi yang mengintai gerak-geriknya. Bisakah ada seseorang yang menghentikan dia?! Rasanya kini aku sedang diteror olehnya. Sampai tanpa kusadari langkahku tak sengaja menubruk tubuh Yejin yang sedang mengepel lantai dapur.
"Eh! Ma...maaf, Yejin. Aku nggak sengaja."
"Hah...lagian kamu kenapa, sih, pake' berjalan ketabrak aku segala'. Emangnya kita lagi main sinetron FTV?!"
"Hehehe...maaf, maaf banget, ya. Sebenarnya dari tadi ada yang memperhatikan aku tahu, nggak." Jelasku setengah berbisik ke telinga Yejin, sembari menunjuk ke arah pria itu sekali lagi. Alih-alih Yejin mengikuti arah gerak telunjukku berfokus kemana. Dan, yang benar saja! Pria itu masih menatapku, masih duduk di tempat yang sama, dengan meja kosong yang hanya ditemani oleh sekuncup lilin dan tempatnya berpijak.
"Dia kayaknya menatapmu terus, Wi?!"
"Tuh, beneran, kan?! Dia melotot ke sini, Yejin. Po...pokoknya jangan lihat dia, deh. Udah, lanjutin kerjaan kamu! Maaf udah nggagguin kamu juga." Aku berusaha mengalihkan perhatian Yejin agar tidak terus fokus pada tatapan pria itu, namun ia masih tetap berpijak pada tatapannya, yang tak lama kemudian menoleh ke arahku.
"Beruntung banget, ya, kamu. Jarang lho, yang dapat tatapan panas itu ke kamu. Apalagi dia seorang artis yang unggul dalam sejarah K-Pop saat ini! Iri banget, deh, sama lu."
"Ha? Iri? Kamu ngomong apa, sih, Yejin?! Ini juga restoran mahal, cuman khusus artis dan aktor doang yang
KAMU SEDANG MEMBACA
Fuck to My Father
AcakMenjadi istri salah satu seniman yang telah dikenal di seluruh dunia bukanlah hal yang indah. Tak seindah ekspektasi di dalam bayangan seorang anak manusia. "Namaku Dwita, salah satu istri simpanan bagi seorang artis terkenal dari negeri ginseng. L...