8. Perjuangan Rio

1.1K 112 3
                                    

Kirana dan Rio masih saling berpandangan dengan pikiran masing-masing. Meski tanpa aksara tapi raut beku Kirana sudah pasti bisa diterjemahkan.

"Mas!" Kirana menggerakkan dagunya agar Rio mengangkat. Rio hanya diam tanpa bicara. Sementara ringtone itu masih meraung-raung.

"Mas Rio!" Tangan Kirana sudah bergerak hendak menggapai.

"Kirana! Please ... nggak usah. Biar sampai diam sendiri." Tangan Rio menahan lengan Kirana.

Kirana hanya menarik napas dengan tatapan wajah kosong. Momen makan mi ayam menyenangkan barusan seolah hilang dari memori otaknya.

Padahal betapa mahal kebersamaan hangat seperti tadi dan Riolah yang menggagasnya? Bukankah selama ini Kirana yang cenderung aktif meski hatinya tanpa cinta? Hanya sebagai sebuah kelaziman antara suami istri saja.

Ia tadi menebak-nebak apakah Rio akan mengangkat panggilan ponsel itu?
Bagaimana kalau ia lagi sendirian tak bersamanya?

Akhirnya suara itu berhenti. Rio mengambilnya.

"Kita pulang, kemasi dulu barang-barangmu, Kirana."

Kirana mengangguk meskipun hatinya begitu penasaran. What next? Apa yang akan Rio lakukan? Bukankah di depan psikolog dia mengaku merindukan Indira?

Masihkah itu ada setelah mereka melewati rooftop dinner dan obrolan malam yang sedikit lebih intensif?

Bahkan untuk lebih memahami Rio, Kirana juga sudah mencari tahu hobi dan kesenangannya lalu mempelajarinya.

"Tak semua lelaki hanya melihat perempuan dari sudut seksual, kecantikan atau bentuk tubuh. Itu mudah tergantikan, tapi kenyamanan yang hilang butuh pengertian untuk menunggu perubahan," kata-kata psikolog yang dikutip dari Kak Desi terngiang kembali.

Kirana tersadar dan bergegas namun dalam hening. Ia mengembalikan mangkok lalu mengemasi barangnya di meja kerja. Setelah siap didekatinya Rio kembali dan mengajaknya beranjak.

"Kirana, ini."

"Apa?"

"Pasang nomor kartu ponsel saya di ponselmu. Jika dia menelepon kembali, kau akan tahu atau bisa langsung menjawabnya."

Tak disangka Rio menyerahkan chip kartu kecil itu kepadanya. Berarti dia terpaksa membongkar dan melepasnya.

"Apa harus? Apa nggak lebay?" tanya Kirana.

Rio terlihat enggan menjawabnya.

"Saya akan ganti nomor baru, tapi tolong jangan dibuang kartu itu, karena semua data seperti email, dan lainnya menggunakan nomor kartu itu. Jika ada info kamu tinggal forward saja."

"Kalau gitu nggak usah, Mas. Aku belajar percaya kepadamu ... Soal Indira itu murni urusan Mas Rio. Keputusan besar ada padamu. Seberapapun aku mencegahnya ...."

Rio menggeleng.

"Saya bukannya basa basi di depanmu, Kirana. Bukan juga takut kamu berpikir buruk. Saya hanya ingin belajar tak memikirkannya lagi secara perlahan."

Kirana agak terharu mendengarnya, semoga ucapannya benar-benar bisa dipegang. Bukankah apa yang dilakukan ini tak menjamin jika hati tak bisa menahan godaan?

***

Di sudut ruang kerja lantai 9. Hari masih pagi dengan secangkir kopi di meja yang tampak mengepul.
Rio berdiri di balik kaca persegi yang berjajar. Matanya menatap ke bawah, melihat lalu lalang mobil yang terlihat kecil di Jalan Sudirman.

Sebenarnya ia kepikiran, mengapa Indira tiba-tiba meneleponnya, tak ada angin dan tak ada hujan. Bukankah perpisahan mereka sudah hampir setahun dan mereka tak saling berkirim kabar sekalipun? Ada apa dia meneleponnya?

HATI TANPA CINTA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang