Part 2 - Sisi Lain

80 13 0
                                    




      Haechan melangkah masuk kedalam perpustakaan. Membuat beberapa pasang mata yang ada disana berbisik. Memang, selama tiga tahun bersekolah disini ini terhitung kedua kalinya ia menginjakkan kakinya di perpustakaan. Selain alergi dengan buku, situasi disini terlalu kaku dan Haechan tak suka.

Jika bukan karna Mark ia tak mungkin sudi datang dengan cuma-cuma kesini.

Kaki jenjangnya menusuri rak-rak buku. Netranya menjelajah seisi ruangan mencari-cari Mark.

Senyum simpul terbit diwajahnya kala mendapati Mark yang tengah membaca buku di sudut rak paling ujung dengan berdiri menyender tembok.

Mark-nya memang tampan. Apalagi jika tersenyum.

Baru hendak maju selangkah sebuah suara buku jatuh mengalihkan perhatiannya. Haechan mengangkat kedua alisnya tinggi.

Mark disana terlihat mengambil buku yang jatuh itu disusul seorang perempuan. Haechan mengeratkan kepalan tangannya dibawah. Ia benci melihat situasi seperti ini. Terlebih lagi perempuan itu..... Perempuan yang selalu ditatap Mark dari jauh.

Perempuan itu nampak malu-malu dengan gerakan anggun menyampirkan rambut kedaun telinganya dan mengucap terima kasih.

Haechan melanjutkan langkah dan segera mengapit lengan kanan Mark yang agak terkejut.

“Sayang, kamu masih lama?”

Mark mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. Perempuan itu nampaknya mundur dan menjauh membuat Haechan diam-diam tersenyum penuh kemenangan.

Biarlah kali ini ia egois. Ia hanya menuruti apa yang hatinya katakan.

“Aku nyariin kamu daritadi taunya kamu disini.” Kata Haechan sambil mengerucut lucu.

Mark memyingkirkan tangan Haechan dan berjalan keluar.

“Ih tungguin aku Mark.”

Mark melengos dan mempercepat jalannya.

Haechan harus terhenti sebentar karna memakai sepatu didepan pintu perpustakaan membuatnya sedikit ketinggalan Mark yang sudah menjauh.

Sebuah ide jahil terlintas diotaknya.

Haechan berlari menghampiri Mark dan memeluknya dari belakang. Haechan segera kabur sebelum Mark mengomel.

Dengan penuh senyum kemenangan ia berbalik dan menjulurkan lidahnya. Seakan berkata, aku menang .

Mark yang jadi terhenti itu memejamkan mata dan mendengus keras.

Astaga, dasar gadis gila. Batinnya.


-oOo-


Haechan menuju parkiran sekolahnya. Renjun dan Yangyang sedang ada ekskul sehingga ia harus pulang sendiri hari ini. Memang ia dan Renjun satu ekskul Marching dan Yangyang basket. Tapi Haechan lebih memilih bolos melihat terik kian meninggi.

Ponsel hitam disakunya bergetar tanda panggilan masuk.

Nama ' Papa ' tertera disana.

Haechan mendecak malas kemudian menggeser tombol hijau.

Haechan berdehem menyapa.

“Haechan lusa kerumah papa ya kita makan malam bersama”

“Sama mama?”

“Papa hanya ingin kamu yang datang sayang..”

“Maaf pa, aku tak bisa.”

“Nanti papa jemput ya sayang?”

“Aku tak suka dipaksa.”

“Ya sudah papa matikan, lusa nanti papa jemput.”

“Aku bilang tidak pa.”

“Sudah ya sayang papa harus meeting lagi.”

“Pa―aish sial ditutup.”

Haechan menggerutu dan memasukkan ponselnya kedalam tas setelah menggantinya ke mode silent. Kemudian melangkah kearah mobilnya terparkir.


-oOo-


Haechan masuk kedalam rumahnya setelah meletakkan sepatunya dirak belakang pintu rumahnya. Ia langsung disambut bi Inah, asisten rumah tangganya.

“Mama sudah makan bi?”

“Ibu daritadi gak mau makan Mbak. Sudah saya suapi malah dilempar makanannya.”

Haechan mengangguk, “Biar saya aja yang suapi Mama.”

Haechan menaiki tangga menuju kamarnya yang berada dilantai dua hendak mandi dan ganti baju kemudian turun ke dapur mengambil makanan untuk mamanya.

Haechan mengetuk pintu kamar bercat putih itu dengan nampan berisi bubur ayam dan segelas susu yang sudah disiapkan bi Inah.

Haechan membuka pintu dan disambut ruangan gelap dengan jendela terbuka. Disana Mama nya tengah terduduk menghadap jendela.

Haechan berjalan menuju saklar dan menghidupkannya.

“Ma... Makan ya? Ini ada bubur ayam kesukaan Mama buatannya bang Ipul.”

Haechan tersenyum kala mendudukkan dirinya dibawah sang Mama.

Raut wajah datar yang sarat akan kesedihan dan kesepian itu nampak jelas. Kulit yang mulai mengeriput dimakan usia itu membuat hatinya teriris.

Coba saja Papa nya tak meninggalkannya dan Mama nya. Pasti keadaannya tak seperti ini.

“Ma, Mama gak kangen apa sama aku?”

“Aku kangen dipeluk sama Mama.”

Ruangan itu hening. Suara lirih milik Haechan bergetar.

“Dulu Mama selalu yang jadi paling riang dirumah.”

“Aku pengen Mama kayak dulu lagi...”

“Aku pengen diobati Mama, pengen dimarahin Mama.”

Haechan menyendokkan sesendok bubur dan menghadapkannya di depan mulut sang Mama.

“Ma buka mulutnya ya, ayo makan...”

“Mama...”

Dentingan sendok besi terlempar itu membuatnya membeku.

“KELUAR!”

Haechan menerjapkan matanya yang berembun.

“Gak sebelum Mama makan!”

Mama langsung menjambak Haechan dengan brutal. Nyawanya seakan hilang menjadi orang lain.

Ini. Hal ini yang selalu Haechan takutkan. Mama nya selalu menjadikannya samsak atas segala kesedihannya jika diusik.

Dunia Mama nya seakan hancur begitu Papa meninggalkan mereka. Mama sekarang jadi murung dan penyendiri. Ia bahkan tak lagi berbicara bersama siapapun. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan menjauhi Haechan.

Dengan lampu dimatikan Mama nya selalu menghadap kearah jendela kamarnya. Berharap melihat mobil Papa nya menyambari rumahnya.

Haechan merintih sakit.

“Ma... Sakit...”

Haechan terseret pasrah.

Dulu jika dia terluka selalu ada Mama yang mengobatinya, justru sekarang Mama nya lah yang membuatnya terluka.




TBC

bubbly; markhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang