PART 4

93 28 99
                                    

"Kamu akan hidup jauh dari Ibu dan Ayah," jawab sang Ibu penuh makna sembari memotong daun pisang.

"Maksudnya?"

"Iya. Kamu akan hidup bersama keluarga yang lebih layak. Ibu harap, kamu akan bisa lebih baik daripada sekarang." Sang Ibu tersenyum.

"Ih nggak mungkin, lah. Aku 'kan sayang sama Ibu dan Ayah. Masa aku ninggalin kalian." Keduanya terkekeh.

Antana membuka mata secara perlahan. Ia telah bangun dari mimpinya. Beberapa menit ia baru tersadar bahwa ia memimpikan Ibu kandungnya. Pertanda ia rindu dengan keluarga lamanya.

Mimpi itu seperti menjelaskan sesuatu. Omongan Ibunya di dalam mimpi tersebut sama persis seperti yang dialami Anta sekarang. Ibunya sudah berfirasat bahwa kelak anaknya akan hidup bersama keluarga yang lebih baik.

Aktivitas berjalan seperti biasa. Mereka bertiga kembali sekolah dengan membawa kebanggaan, yaitu juara dua lomba band.

"Hai, Ta," sapa Meisya saat masuk kelas. Sekarang posisinya sudah duduk di sebelah Anta.

"Hai, Ca," saut Anta sembari memainkan smartphone-nya.

Sedikit aneh. Biasanya Anta selalu ceria bila di dekat Caca, tetapi kali ini tidak.

"Lo kenapa, sih?" Caca meletakkan tas ransel di belakang punggungnya.

"Nggak papa."

"Ih, seorang Antana Frizkie kapan, sih pernah nggak cerita masalahnya ke gue. Ayo, dong cerita."

Meisya menatap Anta dengan sinis berharap Anta ingin cerita masalahnya kepadanya. Tetapi masih tidak menggubris perkataan Meisya. Karena saking lamanya dicueki akhirnya Meisya bangkit dari bangkunya untuk pergi meninggalkan Anta. Ketika lelaki itu menyadari, Anta mencegah Meisya dengan memegang lengannya supaya tidak pergi meninggalkan dirinya.

Meisya langsung menatap tangan Anta yang memegang lengannya.

"Eh, sorry-sorry."

Meisya kembali duduk di bangkunya.

Anta akhirnya mau bercerita tentang penyakit tulinya yang tidak dapat disembuhkan. Meisya begitu kaget. Tetapi bagaimana pun sebagai sahabat harus saling menguatkan.

Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia. Siapapun yang memiliki pengalaman paling menyedihkan atau menakutkan, akan menceritakan dengan bahasanya sendiri di depan kelas. Seisi kelas tidak ada satu pun yang ingin maju. Mereka banyak yang malu.

"Ta, maju, Ta. Pengalaman lo 'kan seru," ajak Meisya.

"Ah enggak ah, lo aja sana."

"Ih nggak papa maju aja. Guru juga nggak bakal gigit lo. Udah sana maju."

Guru yang menyadari hal tersebut langsung ikut memerintah Anta untuk maju. Mau tidak mau, Anta jadi harus maju.

"Hai, gue Anta. Gue di sini mau nyeritain pengalaman seram saat gue masih kecil."

Ketika Anta mulai mengeluarkan satu kalimat, seisi kelas yang tadinya terdengar seperti pasar seketika berubah menjadi seperti kuburan. Semuanya penasaran dan ingin mendengar apa yang diceritakan Anta.

"Mungkin sebagian dari kalian nganggep gue aneh, tapi emang ini kenyataannya."

"Gue salah satu korban tsunami saat gue masih SD."

Anta mulai menceritakan kisahnya dari mulai menegangkan hingga sedih. Ia handal dalam bercerita. Sampai-sampai seisi kelas terbawa suasana itu.

Meisya yang duduk di barisan ke tiga dari depan memandang Anta dengan begitu kagum karena memiliki sahabat yang pantang menyerah dan kuat. Deffran yang menyadari hal tersebut dari luar kelas hanya tertegun dan memandang Meisya dalam diam.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang