1. CINTA TIGA RIBU TAHUN

607 32 3
                                    

Lora meletakkan baki di dekat meja  lalu bersimpuh, memindahkan cangkir-cangkir teh di hadapan para tamu dan orang tuanya.
Salah satu tamu itu memandangnya tak berkedip, ia melirik, dan tercekat. Lelaki itu masih muda, berumur sekitar tiga puluh lima. Garis wajahnya tegas, tatap matanya tajam, dan bibirnya yang tipis membentuk senyuman dingin.
Hati Lora tergetar, dimana ia pernah melihatnya? Tiba-tiba rasa takut menjalar. Cepat ia berdiri dan membawa nampan kosong pergi. Namun baru selangkah, ibunya memanggil.
"Lora, duduk di sini."

"Ini Dayan," kata ibunya, "ia melamarmu menjadi istrinya."
Lora terkejut.
"Lora punya pacar?" Yang bertanya Adiwinata, ayah Dayan.
"Ti ... tidak, Om," jawabnya tergagap.
"Terus terang, Dayan sudah menikah dan punya dua anak perempuan," kata ibu Dayan, "kami mengharapkanmu bisa melahirkan anak laki-laki untuknya."
"Maaf, Tante, jenis kelamin anak kan ditentukan dari ayahnya, bukan ibunya."
"Itu bisa diatur, jika anak pertama lahir perempuan, akan dilakukan metode kawin suntik," sahut Adiwinata.
"Maaf, Om, mengapa tidak langsung kawin suntik dengan istri yang sekarang saja?"
Lora bicara dengan menunduk, tak berani menatap wajah tamu-tamunya.
"Karena aku mencintaimu," jawab Dayan dingin, "aku ingin memilikimu, selamanya."
Kali ini gadis itu mengangkat kepalanya, menatap mata Dayan, mencari jawaban. Di film-film dan novel, tokoh lelaki menyatakan cinta dalam suasana romantis, nada suara penuh rayuan. Lah ini?
"Saya tak percaya cinta pandangan pertama," jawab Lora, "cinta sejati harus dipupuk dengan saling pengertian."
"Setuju," sahut Dayan, "aku juga tak buru-buru."

Pemuda itu menepuk tempat kosong di sebelahnya, memberi tanda supaya Lora pindah duduk di situ.
Begitu menghenyakkan pantat di sofa yang empuk, tanpa ba bi bu Dayan melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu, menariknya dekat.
"Kau tak bisa lari lagi, aku sudah memburumu selama tiga ribu tahun," bisik pemuda itu di telinganya, "kali ini aku tak akan melepaskanmu."
Gadis itu terbelalak tak mengerti.
"Kau tak ingat, itu wajar. Setiap reinkarnasi, tak akan mengingat kehidupan sebelumnya."
"Kenapa kau ingat?"
"Karena aku punya tujuan, mencarimu. Jangan pergi lagi, di kehidupan ini aku ingin bersamamu sampai tua."
"Yang sebelumnya?"
"Nanti aku ceritakan .... Itu akan menjadi cerita 1001 malam kita."
Dayan merujuk ke dongeng tentang Sherazad yang tiap malam menceritakan dongeng untuk suaminya.

Adiwinata dan Ratna, istrinya, melontarkan berbagai pertanyaan. Lora merasa seperti sedang wawancara kerja. Kebetulan ia baru lulus kuliah, sudah dipanggil ke beberapa perusahaan, tapi belum ada yang menerima.
"Aku rasa Lora cocok menjadi PA," kata Ratna, menyimpulkan.
"Bagus," sahut Dayan, "mulai Senin kau bekerja sebagai asisten pribadiku. Kita akan lebih sering bertemu, dan kau bisa lebih mengenalku."
"Bagaimana Mira?" tanya ibunya.
"Pindahkan ke bagian lain," jawab Dayan enteng.

*

Malam itu Lora tidak bisa tidur nyenyak, masih terasa pelukan Dayan di pinggangnya, posesif. Hembusan nafas di lehernya setelah berbisik di telinga, penuh nafsu yang membuatnya bergidik.
Hampir tengah malam ponselnya berdering, dengan kesal ia melihat layarnya, siap memaki penelpon. Yang muncul sederet angka, bukan temannya. Dari niat memaki, timbul niat isengnya, diusapnya gambar telpon berwarna hijau.
"Halooo ...," sapanya.
Tak ada jawaban, hanya suara hembusan nafas.
"Iiih, iseng lu!" katanya dengan kesal, bermaksud menutup telpon, tapi ....
"Ternyata suaramu di telpon seksi," suara berat di seberang membuatnya batal menutup telpon.
"Memang seksi kalau sedang mengantuk," sahutnya asal saja, "serak-serak basah mengandung desah."
"Berarti bisa diajak phone sex?"
"Apaan? Siapa sih ini?"
"Lora," katanya mengabaikan pertanyaan gadis itu, "tidurnya pakai baby doll atau daster?"
"Aku tidur telanjang ...," jawabnya kesal.
"Ooo ...."
Lora tertawa dalam hati, yakin penelponnya membayangkan tubuh perempuan telanjang.
"Tapi aku pakai selimut, supaya setiap  bergerak terasa ada tangan yang mengusap tubuhku."
"Kau sering masturbasi?"
"Aku masih perawan!"
"Maksudku, bukan dengan memasukkan sesuatu, tapi ...."
Lora menutup telpon dan menekan tombol off, tak mau meladeni penelpon iseng. Lalu tidur nyenyak sampai pagi.

Besoknya Jumat, sekitar jam sembilan Lora sudah selesai sarapan. Ia memakai rok terusan katun motif bunga-bunga, tanpa lengan. Rambut panjangnya diikat di tengkuknya.
Ratna menjemputnya.
"Kemana kita?" tanyanya, terlalu pagi untuk makan siang.
"Rumah sakit."
"Hah?"
"Pemeriksaan kesehatanmu. Kami ingin kau secepatnya hamil."
Lora mengeluh dalam hati, menikah saja belum.

Gadis itu sudah selesai berganti pakaian dan akan bergabung dengan calon mertuanya menemui dokter. Langkahnya terhenti oleh pembicaraan mereka.
"Lora masih perawan, kan?"
Mengapa keperawanan sangat penting bagi mereka. Zaman now susah mencari perempuan di atas umur dua puluh satu yang masih perawan.
"Ya," jawab dokter itu, "tapi kandungannya lemah, kalau hamil, ia harus bedrest."
"Kalau begitu, berikan vitamin."
Setelah itu makan siang, kemudian Ratna mengantarnya pulang.

*

Sabtu sore Dayan mengajak Lora keluar makan malam, dipikirnya diajak ke suatu restoran, ternyata ke apartemennya. Apartemen itu sebuah penthouse dengan view gemerlap lampu ibukota.
Gadis itu senang melihat pemandangan kota dari atas, ia berlari kecil ke jendela, dan matanya dengan rakus melalap yang terpampang di sana.

Dayan membuka pintu tak jauh dari jendela besar itu, ada ruang terbuka. Sebuah meja telah ditata di sana, beberapa pelayan mondar-mandir menghidangkan makanan.
Makanannya enak, pemandangannya menakjubkan, suasananya remang-remang romantis. Lora terkesan.
"Suka?" tanya Dayan.
"Ya, terima kasih."
Pelayan yang melayani makan menghilang setelah membereskan perlengkapan makan. Lora ingin segera pulang, tapi nyalinya ciut, kalah dengan aura dingin Dayan.
Pemuda itu tak banyak bicara, dan yang sedikit itupun tanpa ekspresi, nadanya datar.

"Sini, duduk di sini," ajaknya menepuk kursi kayu di sampingnya, di dekat pagar pembatas, menghadap ke luar.
Lora menurut.
Seperti saat di rumahnya, Dayan langsung memeluk dan menarik tubuhnya merapat, bedanya, kali ini disusul dengan ciuman. Gadis itu menggeliat, berusaha menolak, tapi lengan kekar pemuda itu mencengkeram erat, ia tak berdaya.

Setelah itu duduk dalam diam, memandang kelip lampu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebelah lengan Dayan masih di pinggang Lora, tangan gadis itu menumpang di pahanya.
"Dingin?" tanya pemuda itu ketika gadis itu mengusap lengannya.
"Bukan," sahutnya, "seperti gatal digigit nyamuk. Tapi, apakah ada nyamuk terbang setinggi ini?"
"Tentu tidak," jawab Dayan tersenyum, menarik tangannya, ditumpangkan di titik pusat tubuhnya, "rasakan apa yang terjadi padaku hanya dengan menciummu tadi ...."
Lora cepat menarik tangannya, pemuda itu menciumnya lagi.
"Aku menginginkanmu, Lora," bisiknya dengan suara serak di telinganya, menggigitnya pelan, "aku sudah menunggumu tiga ribu tahun."
Gadis itu ketakutan dalam dekapannya, tak lagi berontak karena menyadari akan sia-sia.
"Ti ... tidak ... bisakah menunggu sampai kita menikah?"

Surabaya, 14 Agustus 2020
#NWR

MENGEJAR CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang