Day 2: "Good Bye" Me

546 41 6
                                    

Pair : Soukoku
Genre : Parallel Time, Hurt, Angst

——————————————

"Good Bye" Me

Lima belas agustus selalu terulang karena aku selalu tidak bisa menemukan kata-kata yang ingin kuucapkan padanya, yang selalu meminta.

Terbangun di sebuah sofa merah, tepat di bawah lukisan Malam Berbintang milik Van Gogh yang terkenal, aku akan pergi ke sebuah bar hanya untuk perpisahan.

"Apa yang kau lakukan disini?" Dia bertanya dengan segelas rose wine di hadapannya.

"Menemuimu," kujawab sembari memesan segelas wiskey dari bartender. "Panas, ya?"

"Aku benci musim panas," Jarinya yang lentik mengelilingi bibir gelas, sementara mata samudra yang kelabu memandang jauh ke dalam genangan merah muda. "Aku harus pergi."

Tanpa menunggu minumanku datang, aku mengikutinya. "Kenapa kau tidak tinggal lebih lama?"

Kami berjalan di trotoar yang sepi. Panas menyengat musim panas dan fatamorgana di ujung aspal, aku tidak tahu apa yang dilihat mata birunya sampai ia melompat ke jalan raya— tepat ketika truk itu melintas.

Terbangun di sebuah sofa merah, tepat di bawah lukisan Malam Berbintang milik Van Gogh yang terkenal, aku akan pergi ke sebuah bar hanya untuk perpisahan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Ia bertanya masih dengan segelas rose wine di hadapannya.

"Ayo ikut aku," Aku menarik tangan mungilnya. Tidak akan kubiarkan lepas karena dia begitu berharga dan merah darah di kulit putihnya sangat menyakitkan untuk dipandang.

"Mau kemana?"

"Kemana saja," Asalkan tidak disini. Asalkan dia tidak menginjakkan kaki di aspal yang sepi. "Chuuya, aku—"

"Aku harus pergi." Mataku menatap nanar kekosongan di wajahnya yang biasa dihiasi senyum menawan. Di tengah kebingungan itu, ia menarik tangannya dan berlari, menyebrang jalan namun aku lebih cepat. Aku memeluknya kembali ke trotoar, aku tidak ingin melepaskannya. Aku tidak ingin—

—Tapi ia pergi. Ia menepih tubuhku, pelukanku, ia pergi dan terjatuh keluar pagar pembatas jalan. Menghantam laut biru jauh di bawah sana.

Terbangun di sebuah sofa merah, tepat di bawah lukisan Malam Berbintang milik Van Gogh yang terkenal, aku akan pergi ke sebuah bar hanya untuk perpisahan.

Aku segera berlari ke bar dan menemukan dia dengan rose wine yang sama. Kutarik segera lengannya tanpa menjelaskan sesuatu yang bisa meredakan raut bingungnya.

Kali ini aku membawa dia ke tempat lain, jauh dari jalanan dan jauh dari apapun. "Aku tidak akan melepaskanmu."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak mau kehilanganmu."

Surai senjanya yang kontras dengan latar laut melambai, "Aku tidak kemana-mana—" ucapnya sebelum sebuah peluru menembus dadanya yang berdetak. Ia jatuh di pelukanku, memejamkan mata, tanpa napas.

Terbangun di sebuah sofa merah, tepat di bawah lukisan Malam Berbintang milik Van Gogh yang terkenal, aku akan pergi ke sebuah bar hanya untuk perpisahan.

Aku lelah. Terlalu lelah untuk pergi ke bar dan menemuinya. Namun harus kulakukan, apapun harus kulakukan untuk menyelamatkan dia yang kucintai.

Namun tidak ada yang duduk di hadapan rose wine itu. Dia tidak ada. Kemana? Dimana?

Aku mencarinya dan berlari ke jalanan, ke pelabuhan, ke tempat dimana gedung-gedung mencapai singgasana dewa, namun ia tidak ada. Aku harus menemukannya.

Hingga sebuah cahaya merah tampak di tengah hutan dan aku tahu bahwa itu adalah dia. Secepat kakiku melangkah, secepat kesempatan ini akan terlewati, namun yang kulihat adalah dia terbaring di sana. Dengan seluruh tubuh yang terluka, dengan darah di hidung, telinga, dan mata biru kosongnya yang senantiasa indah.

Sesuatu yang begitu berat menarikku untuk jatuh dan merangkak menggapai tangan berlukis cahaya merah. Aku ingin menggapainya, aku ingin dia membuka mata, namun tidak ada apa-apa selain kesendirian dan teriakanku sendiri. Menangisinya untuk kesekian kali.

Terbangun di sebuah sofa merah, tepat di bawah lukisan Malam Berbintang milik Van Gogh yang terkenal, aku akan pergi ke sebuah bar hanya untuk perpisahan.

Aku akan mengakhirinya.

Sebuah pesan singkat yang hanya berisi lokasi terkini, ketika aku menatap langit biru di atas gedung tertinggi. Dia yang sangat kukasihi bergabung denganku membawa raut takut yang kujawab dengan senyum dan pelukan.

"Kenapa?" Tanyanya cemas. "Kau butuh sesuatu?"

"Aku hanya ingin melihatmu," jawabku.

Kemudian dia tertawa. Satu-satunya ketulusan dan kemurnian yang bisa mengisi hati penuh dusta di dadaku. "Kau bisa melihatku setiap hari."

Dengan jari, kutelusuri bentuk wajahnya sebelum memagut sepasang bibir yang manis. "Ya.."

Kakiku mundur, perlahan, membawanya berdansa di atas segi empat keramik atap yang ditimpa cahaya musim panas. Ia tersenyum dan mengatakan bahwa aku aneh, namun tidak apa. Aku sangat mencintainya sampai-sampai tidak ingin dia menghilang lagi dari hidupku.

Lalu hal itu terjadi. Lagi.

Sebuah firasat dan suasana yang membuatnya selalu dekat dengan kematian, hingga dansa kami berhenti di tepi atap. Di ujung tempat angin bisa berhembus dari daratan dan membawa topinya terbang.

"Dazai?" Tanganku ada untuk membuatnya tetap berada di pelukanku, walau punggungnya ada di bagian luar dari tempatnya berpijak, namun ia selalu percaya bahwa aku akan menyelamatkannya. "Dazai?"

Ia memanggilku lagi, mengendurkan pegangannya pada syal merahku, dan tersenyum. Menutup mata seakan siap untuk jatuh dan mati.

Tapi aku tidak ingin melihatnya lagi.

Maka, kuputar tubuhnya untuk detik dansa terakhir hingga ia membawa syalku jatuh bersamanya di sepetak keramik yang kering. Sementara tubuhku terhempas ke udara. Melihat langit biru, kemudian sosoknya yang mengintip dengan air mata.

Kini lima belas Agustus tidak akan terulang. Karena dia tidak akan meninggalkanku.

...Karena aku yang akan pergi, dengan senyum, melihatnya menangis, "Rasakan."

—0—

Terbangun di sebuah sofa merah, tepat di bawah lukisan Malam Berbintang milik Van Gogh yang terkenal, aku akan pergi ke sebuah bar hanya untuk perpisahan.

"Kali ini aku juga gagal." Menatap jam dinding dengan mata biru yang mati, aku bertanya-tanya mengapa dia tidak pernah berhasil kuselamatkan? Kenapa dia selalu pergi meninggalkanku tanpa kata?

"Apa yang harus kulakukan agar kau tetap tinggal, Dazai?"

END

SeaglassNst

.
.
.

Note:

1. Ini bukan songfic. Cuma kubuat dari cerita Kagerou Project, tepatnya Heat Haze Daze bagian Hibiya ama Hiyori. Aku udah lama pingin buat fic dari lagu-lagu Kagepro tapi yah gituuu haha..
2. Awalnya mau aku buat ini Day 3, Unsaid Word, "Good Bye," mengingat Dazai selalu pergi dan ninggalin Chuuya tanpa kata-kata. Tapi aku ga mau ngubek perasaaan Chuuya karena sangat menyedihkan, jadi beginilah. Aku ambil bagian Dazai dan tema Mimpi. Padahal Kagerou Daze enggak mimpi sama sekali haha (2).
3. Seharusnya ini kupos pas 15 Agustus sesuai lagu tapi yah gitu... Haha (3).
4. Fic lain menyusul.

Aglio LatibuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang