Day 1: A World Made From Chaos

321 36 1
                                    

Pair : Soukoku
Genre : Angst Dystopian
Prompt : World War AU
Warn : BL, underage.

——————————————

A World Made From Chaos
Chapter 3
0—
Mencapai Ujung Terowongan

Terkadang bunga tidur penuh madu membuat Chuuya mengigau berada di hamparan dedaunan hijau dan bunyi harmonika yang menggema dari balik sebuah pohon mapel. Semua hal berkilauan dan orang-orang berlalu-lalang dengan senyum dermawan. Tangan mereka selalu menggenggam keranjang buah dan setangkai bunga, anak-anak menyepak bola dan dimarahi pemilik toko roti, lalu tertawa. Itu adalah mimpi. Ya, mimpi.

"Tidak ada yang tersisa selain abu dan darah." Keyakinan itu selalu ia ucap untuk mencuci pemikiran gemilang dari kepalanya yang kelam. "Matahari bahkan bewarna hitam."

"Apa yang kau gumamkan?"

Hari biasa yang seharusnya Chuuya gunakan untuk membayang-bayangi segala gulita detik kehidupan kini terjeda karena suara seseorang. Ya, benar. Chuuya ingin menganggapnya rekan seperti kisah di mimpi, namun membuat harapan hanya akan melahirkan luka yang baru. Jadi dia tidak akan menganggap seseorang sebagai siapa-siapa.

"Doa bangun tidur," Chuuya menjawab dengan meregangkan otot-otot pundak dan lengan.

"Kau berdoa pada Tuhan yang mana?"

"Yang sudah meninggalkan dunia tanpa harapan, memang ada Tuhan yang lain?"

"Aku tidak tahu ternyata kau religius, Chuuya." Osamu menyodorkan sebuah bungkus berisi makanan kering yang dilahap Chuuya dengan satu gigitan. Setelah menelan beberapa teguk air, ia melanjutkan, "Kalau menurutku, Tuhan tidak meninggalkan kita."

"Oh?" Chuuya merespon peduli tak peduli.

"Menurutku dia sedang melihat orang-orang yang layak dia beri kebahagiaan."

"Kebahagiaan?" Senyum Chuuya tampil meledek, ia hampir lupa kata itu ada di dunia. "Kau lucu juga, ya? Lalu kebahagiaan seperti apa yang bisa diberi Tuhan di dunia ini?"

"Kau ingin apa, Chuuya?"

"Kenapa kau tanya aku?"

Osamu bangkit dari duduknya, mencoba menelaah ke kanan dan kiri lorong kereta, "Bahagia itu ketika mimpimu terwujud, kan?"

"Hah.." Chuuya mendengus dan ikut bangkit menyusun perlengkapan. Kemudian ia menjeda kegiatannya karena tiba-tiba Osamu memanggil. "Ada jalan di sana," Jarinya menunjuk pada ujung lorong gelap, "Aku rasa ini jalan potong."

"Hah?"

"Kalau sesuai peta, seharusnya ujung terowongan ini dekat dengan tujuan kita."

Chuuya menaikkan alis, "Peta? Peta apa? Kau mengada-ada atau bagaimana? Kau pikir sudah berapa lama terowongan ini tidak digunakan dan kau bilang kau punya petanya? Katakanlah benar, kau berharap di depan sana tidak ada sesuatu yang membahayakan?"

Tentu. Argumen panjang Chuuya tidak salah. Mengingat bahwa jalan masuk ke tempat ini sudah tertutup tanah, tidak ada jaminan bahwa lorong gelap entah seberapa panjang ini masih bebas hambatan.

"Firasat." Satu kata yang Osamu ucapkan dengan mata fokus tak terkalahkan seakan kebenaran akan selalu berpihak padanya. Chuuya mungkin gila karena ikut dalam langkah bocah itu menelusuri gelap terowongan berbatu. Pengap dan jalan lembab, ditambah tidak ada penerangan selain dari cahaya senter yang dibawa Osamu, Chuuya benar-benar tidak mengerti kenapa percaya pada anak misterius itu.

"Chuuya," di tengah hening yang diisi langkah sepatu, Osamu membuka suara, "Kau terlihat bingung dan enggan, kenapa kau mau ikut?"

Ini hanya percakapan di sela-sela rasa bosan karena Chuuya tahu Osamu tidak perlu bertanya hal yang telah ia mengerti. "Kembali ke atas hanya menjadikanku target orang-orang itu."

Aglio LatibuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang