Alunan lagu Conny Dio yang bertajuk Bulan Merah membawa kami menjelajahi masalalu. Dan Ceng Ho adalah saksi bahwa aku pernah benar-benar patah hati. Lagu yang baru saja diputar benar-benar merepresentasikan betapa merahnya bulan yang pernah aku lalui.
Aku mengecilkan volume pemutar lagu. Sedangkan Ceng Ho tetap fokus mengemudi. "Kau ingat Laila Ceng?"
"Bagaimana aku bisa lupa Cok? Satu-satunya perempuan yang bisa membuatmu menangis." Ceng Ho tertawa terbahak. "Aku ingat betul kau menelponku. Hanya tangis yang kudengar. Sayangnya aku tak bisa melihat raut wajahmu. Ah, pasti sangat menyedihkan sekaligus menggelikan."
Kami berdua tertawa terbahak mengingat kejadian itu. Hal konyol yang pernah membuatku menangis itu jadi bahan tertawaan kami.
"Lagu ini cocok banget Ceng." Aku membesarkan kembali volume pemutar musik dan melafalkan lirik mengikuti perempuan rocker itu.
Aku punya kekasih dari sebrang yang bernama Laila. Sebenarnya dia masih famili. Ibunya adalah kakak sepupuku. Saking jauhnya kami memang tak pernah bertemu sekalipun. Pertama kali aku bertemu dengannya ketika hari Raya tiga tahun lalu di kampung. Itu adalah kali pertama dia pulang ke kampung. Wajahnya sangat mirip dengan Mama sewaktu muda. Ya, bagaimanapun juga kami masih satu keturunan. Kalau disamakan dengan artis Laila dan Mama mirip Yessi Gusman saat memainkan film "Gita Cinta dari SMA" bersama Rano Karno.
Kali pertama bertemu kami mengakrabkan diri sebagai saudara. Saling menanyakan hal-hal yang lumrah sebagai seorang yang baru saling mengenal. Saat itu Laila masih kuliah semester 2 Jurusan Matematika. Umurnya denganku tidak terpaut jauh. Hanya selang 4 tahun. Perawakannya tidak perlu dijelaskan ya, search saja Yessi Gusman Muda.
Aku memberanikan diri mengajaknya untuk bertamasya, mumpung lagi dikampung dan hari Raya pun sudah biasa menjadi momen tamasya. Tanpa ragu Laila bersedia pergi denganku. Ah, aku yang sedang jomblo saat itu tentu saja merasa senang. Walapun dia bersedia karena menganggap aku adalah pamannya.
Kami pergi ke daerah pegunungan yang ada permainan Out Bondnya. Si Banteng Besi yang kupinjam dari sepupuku membawa kami menuju bahagia. Laju roda dua itu sengaja kupelankan agar kami lebih lama di perjalanan. Padahal biasanya aku paling suka kebut-kebutan. Sampai pernah satu waktu saat SMA aku menabrak tukang bakpau.
Laila terlihat sangat senang sekali. Dia bilang ini kali pertamanya bermotor ke pegunungan. Sepanjang perjalanan ia seringkali berdiri di jok belakang merentangkan tangannya menghirup udara pegunungan yang sejuk. Di daerahnya tidak ada pegunungan. Kontur tanahnya datar dan rata. Jadi ini hal baru bagi Laila. Aku semakin semangat dibalik kemudi si Banteng Besi.
Kami memainkan berbagai permainan out door. Laila menantangku untuk mencoba permainan yang menguji adrenalin. Rupanya Laila sangat suka dengan uji nyali. Ah, tentu saja aku berlagak pura-pura berani. Padahal kakiku gemetar usai bermain. Hari itu adalah milik kami. Sepasang muda-mudi yang desang dimabuk asmara. Padahal mungkin hanya aku saja. Laila tidak merasakan hal yang sama.
Sayangnya Laila tidak bisa berlama-lama di kampung. Dia harus kembali ke kota asalnya. Sebelum dia kembali aku mengatakan bahwa aku suka padanya. Dan memintanya untuk menjadi kekasihku. Rautnya wajahnya berubah setelah mendengar pernyataanku. Sikapnya tiba-tiba berubah. Ah, ini memang terlalu cepat. Tapi apa boleh buat.
Setiap hari aku selalu mengiriminya pesan. Menanyakan kabarnya dan mengiriminya beberapa bait puisi. Jangankan merespon, membalas pun tidak.
Sebulan berlalu, semua pesanku tak pernah mendapat balasan darinya.
Saat itu aku sedang menjalankan KKN dari kampus di sebuah perkampungan daerah Bogor. Ceng Ho ikut kegiatan itu selama satu bulan penuh. Meskipun dia bukan mahasiswa di kampusku tapi dia selalu ikut aku kemanapun aku pergi. Tentunya atas perstujuan anggota yang lain Ceng Ho boleh ikut. Aku pun sudah meminta izin pada dosen pembimbing KKN dengan dalih supaya ada yang bantu untuk pekerjaan-pekerjaan berat.
Suatu malam aku, Ceng Ho dan dua anggota KKN lain sedang berkunjung ke rumah Pak Lurah untuk membicarakan program yang akan kami laksanakan di Desa itu. Kami disuguhi kopi pahit cap mobil antiknya Babeh Sabeni di serial Si Doel Anak Sekolahan. Kopi murah yang mampu menyatukan warga sekitar. Tawaran basa-basi ngopi menjadi suatu simbol pemersatu dikampung ini.
Secangkir kopi yang semua pun tahu itu bukan kopi yang nikmat, tapi perannya begitu sakral dalam kehidupan sehari-hari. Malam itu kami berhasil menggenapkan cangkir kopi yang kami minum dari pagi berjumlah 8. Setiap kami berkunjung ke rumah RT dan RW kami selalu disuguhi kopi sebelum kami bisa menolak.
"Lama-lama kita bisa jadi pecandu kopi Cok." Dalam perjalanan pulang dari rumah pak Lurah, Ceng Ho terus menghitung berapa banyak gelas kopi yang sudah diminumnya sejak hari pertama kedatangan kami di kampung ini.
"Ya, biarlah asal jangan jadi pecandu cinta saja. Cukup kopi ini saja yang pahit. Kehidupan kita jangan." Jawabku terkekeh. Aku merenungkan kalimat yang baru saja ku ucapkan. Dalam benakku aku berkata "Ah bicara tentang kopi, sama saja dengan bicara tentangmu Laila. Sama-sama tentang menikmati pahit yang disengaja."
Tiba-tiba suara ponselku berdenting.
Triing...
Segera aku mengambilnya dari dalam saku celanaku yang sudah lusuh sebab dari pagi belum ganti. Aku melihat pesan masuk dengan nama 'Laila'.
"Assalamu'alaikum Mang, apa kabar?"
Bukan main girangnya aku. Buru-buru kuperlihatkan pada Ceng Ho. Dia sama terkejutnya. Sebulan mengiriminya pesan dan baru malam itu Laila membalasnya.
Pesan singkat dari Laila malam itu membuat kopi cap oplet yang biasa kami nikmati bergelas-gelas setiap hari menjadi terasa lebih manis dan lebih nikmati dari biasanya. Setiap saat kami berbalas pesan.
Malam itu bulan tengah mencapai puncak purnama. Secangkir kopi cap oplet dan bulan yang sedang bulat-bulatnya menemaniku merayakan bahagia. Di balkon lantai dua posko KKN kutelpon Laila. Kutanyakan padanya mengapa. Katanya, sudah tiga kali dia bermimpi tentangku. Aku selalu datang dalam tidurnya, mengenakan baju putih-putih dan berusaha menggapai tangannya. Cahaya menyeruak dan ada kehangatan saat tanganku diraihnya. Itulah jawaban Laila yang menjadi alasan dia bersedia menjadi kekasihku. Ah, betapa nikmarnya kopiku malam itu dan betapa indahnya bulan yang sedang kupandangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Yang Kuminta dari Tuhan
Spiritual"Bu, jangankan deposito di bank, Celengan ayam saja saya enggak punya. Saya hanya punya mimpi dan tekad untuk mewujudkannya. Jika ibu berkenan, bolehkah saya meminta putri sulung Ibu untuk menemani saya meraih semua mimpi itu." Aku tak menyangka bis...