RENJUN berdiri kaku, kedua tangan saling terkait gugup, disisi lain juga untuk mencari kehangatan. Udara terasa dingin, bahkan sisa-sisa air yang membasahi tubuh masih terasa sangat jelas meski penghangat ruangan menyala. Dan jangan lupakan hoodie besar dan celana training yang membungkus tubuhnya, yang mana membuat tubuhnya tenggelam seperti orang-orangan sawah yang pernah Renjun lihat kala dirinya menemui neneknya di desa.
"Apa kau akan tetap berdiri disitu? Duduklah."
Suara berat menyentak Renjun dari lamunan, dia mengerjap menatap ragu lelaki yang kini sedang menepuk sisi sofa di sebelah kirinya. Sejujurnya Renjun memang sudah cukup lelah berdiri selama beberapa menit hanya memerhatikan sekitar, belum lagi beberapa saat lalu dirinya habis berlari menghindari ribuan tetes air yang menyerang. Maka menghela napas dan menyingkirkan gengsinya adalah apa yang dia lakukan setelahnya, kakinya berjalan dan duduk tepat di samping Jaemin yang tersenyum lebar.
Oh, Jaemin memang selalu tersenyum lebar seperti maniak dan idiot.
"Kau lucu sekali saat gugup seperti itu."
"Diamlah idiot!"
Well, tapi Jaemin tak ingin diam, dia malah membawa tubuhnya untuk menghadap Renjun sepenuhnya, "Apalagi pakaianku yang membalut tubuhmu, kau terlihat mungil sekali aku jadi gemas!"
Mata Renjun memicing, kedua tangan terkubur pada saku hoodie untuk memeluk dirinya sendiri, "Apa itu sebuah penghinaan?" Karena demi apapun Renjun sangat benci saat orang-orang mengatainya mungil.
Hei! Renjun itu tidak mungil! Bahkan dibandingkan perempuan badannya jauh lebih besar, yeah meski hanya sedikit sih tapi tetap saja itu melukai harga dirinya jika ada yang menyebutnya mungil.
"Apa? Tentu tidak! Itu pujian!"
"Terserahmu." Bola mata Renjun berputar malas, dia sedang tak ingin meladeni keidiotan Jaemin yang lain, sebagai gantinya dua cangkir diatas meja menjadi objek perhatiannya. Cangkir itu mengepulkan asap hingga wanginya tercium sangat jelas.
Ah, cokelat panas.
Jaemin yang menyadari kemana arah pandangan Renjun terhenti mulai tersenyum lebar, dia mengambil secangkir cokelat panas itu dan menyodorkannya di hadapan Renjun yang memandang kebingungan.
"Untukmu, ambilah."
"Ini tidak diracun, 'kan?"
"Apa aku pernah berbuat jahat padamu, Renjun?"
Siapa yang tahu? Bisa saja Jaemin diam-diam mempunyai dendam padanya karena selama ini Renjun sering bertingkah anarkis. Hati manusia kan tidak ada yang bisa menebak. Tapi tetap saja cangkir itu Renjun ambil, rasa hangat langsung melingkupi kedua telapak tangannya, membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas tanpa sadar.
Namun itu tak berlangsung lama begitu Jaemin melemparkan sebuah benda berwarna putih pada cokelatnya.
"Hei!" Renjun mendelik, sedangkan Jaemin hanya memasang wajah polos tanpa dosanya, "Kau memasukkan apa pada cokelatku?!"
"Itu hanya Marshmellow, Renjun."
Kelopak mata Renjun mengerjap, menatap tiga benda berwarna putih yang mengapung pada cokelatnya lalu pada Jaemin yang senantiasa tersenyum dan kembali pada cokelatnya yang begitu menggoda untuk dia minum.
"Oh."
Dan tanpa menunggu lama cairan dan benda putih itu langsung menyapa indera pengecapnya. Sial, ini enak!
"Enak bukan?" Jaemin bertanya sembari menyesap cokelatnya; memerhatikan Renjun yang mengangguk pelan dengan wajah tertekuk.
"Hu'um!" Meski enggan mengakui namun perkataan Jaemin benar adanya, cokelat dengan Marshmellow ditengah hujan deras dan udara yang menusuk kulit adalah perpaduan yang sempurna. Kedua kaki Renjun terangkat ke atas sofa; menyilang dan menyamankan dirinya disana. Meski terlihat sederhana, apartemen Jaemin terasa nyaman sejauh dirinya memerhatikan. "Mengapa kau selalu memberiku permen disaat aku selalu menolaknya? Kau ingin aku sakit gigi ya?"
Jaemin terkekeh, dia menyodorkan bungkusan berisi Marshmellow pada Renjun yang langsung empunya ambil dan melemparkannya pada genangan cokelat yang masih mengepulkan asap harum.
"Kau masih tak mengingatnya ya?"
"Hum?" Kedua pipi Renjun terlihat mengembung karena Marshmellow yang ia sadari begitu lezat, matanya mengerjap bingung pada Jaemin yang tersenyum lembut. "Apa maksudnya aku tak mengingatnya?" Perkataan Jaemin terdengar ambigu, lagi pula seingatnya dia tak memiliki kenangan dengan teman sekelasnya itu selain Jaemin yang selalu merecoki harinya dan tak pernah absen memberinya berbagai permen. Mereka bahkan tak akrab sama sekali.
Senyuman itu lenyap terganti wajah tanpa ekspresi yang membuat Renjun terkesiap, ini pertama kalinya dia melihat wajah Jaemin yang selalu terhias senyum itu tak memiliki ekspresi. Bahu mereka melekat ditengah hujan yang mengguyur kota, salahkan kesialan Renjun yang harus terjebak di halte hingga dirinya terpaksa menerima ajakan Jaemin untuk mampir ke apartemennya yang dekat di sana, Renjun masih memiliki otak daripada dirinya mati kedinginan dengan seragam basah lebih baik dia menurunkan harga dirinya dengan mengikuti Jaemin bagai itik dengan menerobos hujan agar mendapat kehangatan yang layak.
Dan kini Jaemin benar memberinya, termasuk kehangatan pada belah bibirnya yang sedang dilumat dan disesap begitu lembut, terasa manis akibat sisa cokelat dan Marshmellow yang masih berada dalam mulut.
"Bibirmu sangat lembut dan manis seperti Marshmellow, aku jadi ingin memakannya."
Renjun mengerjap lambat, kesadarannya terangkat saat belah bibirnya terasa basah dan lengket bersama sebelah pipinya yang terasa hangat karena usapan lembut di sana.