Lisa duduk dengan diam. Menunggu mobil sang ayah berhenti ditempat tujuan. Pandangannya pun kosong. Sedari tadi ia hanya melihat warna gelap. Bukan. Sebelumnya juga ia sudah melihat warna gelap.
Ckitt.
Mobil itu berhenti.
"Ayo."Ayahnya membantunya untuk keluar dari mobil. Tak hanya itu, ayahnya juga membantunya berjalan agar tak tertabrak sesuatu.
Didalam, ayahnya pun membantunya untuk duduk dikursi. Yang didepannya sudah terdapat piano.
"Aku akan pergi kekantor. Baik-baiklah disini."
Lisa hanya mengangguk untuk mengiyakan. Dan langkah kaki pun terdengar menjauh.
"Baiklah. Coba mainkan."
Lisa tak menjawab. Tangannya terangkat untuk memencet satu persatu tuts, dan berharap menemukan nada. Tapi harapannya harus hangus lantaran tuts yang ia tekan tak menemukan sebuah nada yang indah.
Pria didepannya menghela nafas kasar. "Sudah 1 minggu kau disini. Tapi kau tak pernah bisa."
"Percuma jika kau terus berada disini. Kau saja tak bisa melihat. Bahkan kau tak bisa melihat sekelilingmu. Apalagi melihat puluhan tuts didepanmu."
"Jika aku batu, jadi aku tak boleh memainkan piano?"Tanya Lisa.
"Bukan tak boleh. Tapi tak bisa."
"Bisakah kau mengajariku?"
"Mengajarimu? maaf aku sibuk. Ada banyak perkerjaan yang harus kukerjakan sekarang. Belajarlah sendiri. Sampai kau bisa."
"Tapi aku tak bisa. Aku butuh seorang guru."
"Nona, kau pikir aku gurumu? ayahmu saja yang menjadi gurumu. Aku tak ingin disini menatap orang buta yang sedang memainkan sebuah piano. Tapi karena uang ayahmu seperti satu rumah, aku menyetujuinya."
"Kau jahat."
"Yak! kau ini berani sekali padaku. Aku ini lebih tua darimu!"
"Mana kutahu. Aku kan tak bisa melihatmu."
"Aishh! kapan sih kau bisa melihat?! menyebalkan sekali."
"Mana kutahu."
"Tak tau semua. Dunia tak tau, piano tak tau, bahkan wajahmu sendiri tak tau."
"Memang. Aku kan buta."
"Yak! enteng sekali, ya kau."
"Sudahlah! kau disini. Sampai ayahmu kembali."Pria itu melangkah menjauh. Dan tanpa disadarinya, ada satu pemuda yang mengintip dari awal Lisa masuk ke sana.
Lisa masih tak berkutik dikursinya. Dan seketika ia teringat akan ucapan ayahnya. Lisa harus meminum obatnya. Ia pun mulai meraba piano itu, untuk menemukan obatnya.
Brakk!
Itu obatnya. Ia menemukannya. Tapi bodohnya ia menyenggolnya dan membuat obat itu terjatuh. Dengan terpaksa ia harus mencarinya dibawah. Tepatnya dilantai.
Masih belum menemukannya.
Tapi sedetik itu, suara langkah kaki mendekat kearahnya. Mengambil botol kecil berisi obatnya dan memberikannya pada Lisa.
"Terima kasih."
"Ya."
Pemuda itu membantunya duduk kembali dikursi. Dan dia juga duduk disampingnya. Lisa tak memperdulikannya. Ia sedang membuka obat, dan sekarang ia sedang mencari air.
Pemuda yang sedari tadi duduk disampingnya pun mulai beranjak. Mengambil air putih disana, lalu kembali duduk. Mengambil satu buah pil, dan membantu Lisa untuk minum.
"Kau menyukai piano?"
Lisa hanya mengangguk.
"Akupun juga suka. Ingin bermain bersama?"
"Aku tak bisa."
"Kau bisa."
TBC
Siapa lu? baik, ya sama Lisa.
~16-8-20~