Layang-layang

80 38 22
                                    

Kamu adalah bayangan semu yang tercipta karna rasa rindu. Kamu adalah benteng pelindung, yang tercipta karna gerakan kecil pada bibir yang melengkung. Dan kamu adalah kehangatan, yang ada karna pelukan mesra yang menjadi asa

****

Isak tangis orang-orang di dalam rumah itu menjadi backsound yang mendominasi saat itu. Sayatan pilu terus terdengar dan membuat orang-orang yang datang melayat seolah ikut merasakan apa yang di rasakan sang tuan rumah. Terlihat seorang anak perempuan menekuk lututnya disamping jenazah sang ayah. Dia tidak mengeluarkan suara sama sekali, namun air matanya terus jatuh sampai bajunya terlihat basah.

Matanya yang berair menatap wajah damai ayahnya yang sudah pucat pasi sejak tiga jam yang lalu. Lelaki berumur enam tahun di sisi kiri itu mengelus-elus bahu sang gadis dengan sabar.

Kemarin, ayah sang gadis mengalami kecelakaan ketika hendak pulang ke rumah. Mobil ayahnya hangus terbakar dan mengakibatkan luka bakar di sekujur tubuhnya. Hasil otopsi mengatakan jenazah di bawah pengaruh alkohol. Dari situ, kepolisian menduga kecelakaan terjadi akibat ulah pengemudi sendiri. Saat ini, ramai pihak kepolisian mengunjungi rumahnya. Sang mama tampak kewalahan menjawab pertanyaan yang di beri oleh polisi.

Gadis itu berdiri sambil menatap mamanya, kemudian ia berlari dan memeluk erat sang mama.

"PERGI DARI SINI!! JIKA KALIAN ENGGAK NEMUIN APAPUN TENTANG AYAH, NGGA USAH TANYA-TANYA MAMA!! MAMA CAPEK! MAMA BUTUH ISTIRAHAT, PERGI!" Ia berteriak histeris kepada polisi dan menimbulkan keterkejutan para tamu. Para polisi yang bertanya pun langsung diam tak berkutik.

Tamu yang datang cepat menetralkan keterkejutannya, mungkin sang anak tak terima jika ayahnya telah meninggal.

Gadis itu menatap mamanya. Mamanya tersenyum hangat, tapi lebih mirip senyum palsu untuknya. Dia tau, mana senyum tulus mamanya. Mama mengusap pelan rambut panjangnya. "Sayang, mama nggak apa-apa kok. Sana temani ayah kamu lagi, nanti mama nyusul yah," ucap lembut sang mama yang di balas anggukan.

Setelah itu, hatinya kembali merasa hancur. Mama orang yang kuat, bisakah ia menjadi kuat juga? Untuk menerima bahwa ayahnya sudah tiada.

****

"Tangkap bolanya Fiel!" Anak lelaki berusia tujuh tahun itu melambungkan bola gabus pada Refiel dan dengan mudah Refiel menangkapnya.

Dia melemparkan bolanya kembali kepada lelaki itu dan memilih duduk di pinggir lapangan. Panas terik matahari membuatnya terasa haus. Jika bukan karna bocah tengik itu memaksanya bermain di luar, dia tak akan mau keluar. Lebih baik ia menghabiskan waktunya untuk membaca dan menggambar.

Refiel Ansyika Verta.

Sangat yakin bahwa orang-orang akan mengiranya seorang lelaki, ditambah ia bermain bola tadinya. Rambutnya panjang dikuncir kuda, jepit bunga berwarna coklat itu melekat di poni untuk menghambat rambutnya agar tidak berjatuhan. Hobinya membaca, mengurung diri di kamar lalu bermain dengan bocah itu.

"RAFAEL! MINUM DULU!"

Bocah yang sedang menendang bola kesana-kemari itu berhenti dari aksinya. Setengah jam yang melelahkan cukup membuatnya merasa seperti pemain sungguhan, dan itu memang membuatnya haus. Bocah kecil itu bercita-cita ingin menjadi seorang pemain timnas Indonesia dan membanggakan negara, katanya. Sangat mulia bukan? Anak sekecil itu bisa berpikiran hal yang terbaik untuk masa depannya. Tapi mari kita lihat, seberapa konsistennya ucapan bocah itu ketika sudah dewasa.

Dia mengangguk dan menghampiri Refiel yang ada di bawah pohon sawo di pinggir gawang.

"Besok hari pertama sekolah. Mending kita puas-puasin main dulu, gimana?" tawar Rafael. Refiel menggidikkan bahunya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Sebulan yang lalu mereka tamat dari taman kanak-kanak. Sebulan sudah juga menikmati masa liburan dan masa sekolah yang besok akan segera datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

 S E L A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang