"Terry-ssi, ini... minumlah dulu. Maafkan sikap suamiku. Ia hanya... tidak bisa memahamimu."
Wanita bernama Terry itu kemudian hanya menggeleng singkat dan meneguk air putih dingin yang telah Sunny berikan padanya. Sean dan Summer berada di belakang mereka berdua. Tak jauh dari sofa ruang tamu kamar hotel. Sean sedang berusaha menidurkan Summer dengan menggendongnya dan menepuk - nepuk punggung anak itu. Ia terus memasang pendengarannya baik - baik untuk dapat memantau arah pembicaraan istrinya bersama wanita yang telah mereka selamatkan hidupnya.
"Maaf jika aku lancang. Tapi percayalah padaku. Aku dapat sangat jelas memahami perasaanmu," ucap Sunny lagi dengan penuh penekanan pada kalimat terakhirnya.
Terry meletakkan gelas airnya di meja lalu mendengus kasar. Jelas ia terganggu pada perkataan Sunny tadi. Dan Sunny pun dapat merasakan kemarahan serta kebencian yang mulai meningkat pada tubuh di hadapannya.
Gelap dan pekat.
Hampir membuat Sunny akan memuntahkan isi di dalam perutnya karena parah.
Baru kali ini Sunny bertemu seseorang dengan jenis emosi seperti Terry. Ia dapat merasakan kedinginan yang sangat menusuk tulangnya dan... betapa tidak enak serta tidak nyamannya berada di dekat wanita itu. Putus asa dan kekecewaan mendalam pada hidupnya terasa sangat pahit di lidah Sunny. Itu sebabnya ia sempat merasa hampir akan muntah. Tapi ia berusaha menahan itu semua karena entah bagaimana... saat menemukan sosok Terry akan melompat bunuh diri, ada sesuatu di dalam diri Sunny yang memaksanya untuk harus mendekati sosok di hadapannya ini. Sesuatu meyakinkannya bahwa Terry mampu membantunya dengan semua hal aneh yang telah ia alami baru - baru ini.
Sosok seorang wanita yang sebenarnya bisa terlihat sangat cantik jika ia mau menyunggingkan sebuah senyum kecil di wajahnya. Mengingat wajahnya yang jika diperhatikan baik - baik berparas seperti anak - anak. Sayangnya di wajah berkesan lugu itu kini tak ada ekspresi apapun sesuai gambaran suasana hati kelamnya.
Tentu hanya Sunny yang dapat merasakan hal itu sejak ia tersadar dari komanya beberapa waktu lalu. Dan Sean justru mengira bahwa Sunny kini berubah drastis dalam menyikapi keganjilan dalam panca indranya itu. Sunny yang semula sangat menolak kehadiran 'bakat psikologis' itu kini justru terlihat dapat menguasai betul 'kelebihan' barunya ini.
Kelebihan? Bakat?
Ya.
Sean mendapat kesan itu sekarang.
Sangat bertolak belakang dengan kejadian pagi tadi saat Sunny baru bangun dari tidurnya. Saat ia begitu terlihat membenci dan hampir menyerah pada kekuatan ganjilnya itu.
"Aku harus pergi." ucap Terry tiba - tiba.
Sunny mengerutkan kedua alisnya. Ia menggenggam salah satu pergelangan tangan wanita di hadapannya yang baru saja akan beranjak dari duduknya.
"Kenapa?" tanya Terry dengan kesal.
Sunny mencegahnya untuk bangkit. Dengan malas Terry kembali mendudukkan tubuhnya di sofa.
"Kumohon. Kau harus mengijinkanku membantumu. Perasaan menderitamu itu... sangat menggangguku sampai sini sejak berhari - hari yang lalu!"
Sean dan Terry sama - sama terkejut dengan penjelasan Sunny tadi.
"Apa?!"
Sunny kembali menarik nafas dalam. Berusaha menjelaskan sesuatu pada lawan bicaranya.
"Kau orangnya. Kaulah alasan terbesar mengapa aku bisa memiliki kekuatan aneh ini. Perasaan aneh ini. Sedari awal aku terbangun dari komaku, sesuatu dalam diriku seperti berbisik agar aku harus menemukan orang dengan derita emosi sepertimu. Meski aku sempat tersesat karena aku justru menampung seluruh emosi dari penghuni kota San Fansisco saat itu, tapi emosi darimulah yang paling kuat menyerangku sampai saat ini. Aku... sangat jelas merasakan semuanya yang ada pada dirimu. Kaulah sosok yang harus kubantu agar kekuatan ini bisa segera lepas dariku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Future Empath
Fiksi PenggemarPernahkah kau bertemu dengan seseorang yang ternyata sangat perhatian kepadamu, karena ia bilang ia benar - benar bisa MERASAKAN-mu? Sunny harus berjuang, dari seorang wanita ibu rumah tangga biasa, menjadi... Seorang Empath.