「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」
Bel berdering hingga 3 kali, menandakan bahwa jam pulang sekolah sudah tiba. Seluruh murid berbondong-bondong keluar dari kelas, koridor terlihat padat karena banyak yang berhenti untuk sekedar menaruh barang diloker. Beberapa sudah berhamburan keluar, ada yang bermain sepak bola, atau mungkin langsung melangkah pergi ke rumah.
Jimin menjadi murid terakhir yang keluar dari kelas karena ia sengaja menunggu keadaan sedikit sepi. Ia berjalan dengan santai kearah lokernya, menaruh barang-barang yang sekiranya tak perlu ia bawa pulang. Setelah itu ia berjalan ke halaman sekolah, melewati gelanggang olahraga begitu saja sebelum akhirnya sebuah suara menginterupsinya.
"Hoi, Jimin!"
Jimin menoleh, menatap Johnny-- salah satu rekan basketnya sedang berjalan kearahnya. Sedangkan panggilan dari temannya itu ia abaikan, memilih bertanya lewat tatapan.
Johnny menatap Jimin yang sibuk membenarkan tas yang terasa melorot di bahu kanannya, "Kau tidak basket?"
"Aku absen," jawab Jimin, "Tolong sampaikan pada coach Lee."
Tatapan Johnny berubah bingung, "Huh? Tumben?"
Jimin menatap Johnny lalu setelahnya mendongak, menatap langit yang sedikit gelap karena banyak awan hitam bergumul diatasnya. Sepertinya sebentar lagi akan hujan.
Jimin tersenyum kepada pemuda disebelahnya, "Sudah lama aku tidak berkunjung,"
Johnny terdiam, paham betul dengan maksud Jimin berkunjung. Dengan kikuk ia menepuk bahu Jimin, membiarkan laki-laki itu bolos dari olahraga kesukaannya sekali-kali. "Baiklah, hati-hati!"
Kepalanya mengangguk sebagai balasan. Dan tanpa membuang waktu, ia kembali menyeret kakinya menuju parkiran dan mengambil motornya.
「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」
Jimin menatap bunganya, sesekali mengendus. Harum, namun Jimin tidak suka. Tipe aroma yang Jimin suka seperti pohon pinus atau mungkin aroma tanah ketika hujan selesai menderai. Lalu ia menatap gerbang didepannya dengan tatapan sayu.
Bukan, Jimin bukan berada di rumah pujaan hatinya untuk memberi bunga lily yang sekarang ia pegang. Lagipula Jimin tidak punya pujaan hati, siapa lagi yang akan ia beri bunga jika bukan ayahnya?
Semakin lama ia menatap gerbang didepannya, semakin erat juga genggamannya pada bunga itu.
Pemakaman.
Tempat ini kembali menjadi asing untuknya, setelah hampir 2 bulan tidak mampir. Padahal dulu Jimin sering kesini, bahkan rutin dua kali setiap minggu. Hari Senin dan Minggu. Jika ditanya apa alasannya berkunjung pada hari senin dan minggu, Jimin akan menjawab dengan simple.
Hari senin ia akan datang, meminta doa untuk memulai pekannya, berharap sang ayah mau membantu mengabulkan doa agar ia bisa melalui pekannya dengan baik dan hari-harinya indah.
Dan Hari minggu ia akan datang untuk menceritakan harinya sepekan penuh pada sang ayah. Seperti mengadu kepada kepala keluarga setelah melakukan kegiatan.
Dengan ragu ia melangkah, berusaha menahan tangis yang entah mengapa sudah ingin lolos sejak ia memasuki perkarangan ini. Kakinya terus berjalan, hingga akhirnya ia sampai didepan gundukan tanah yang diatasnya ada pusara dengan nama ayahnya.
Seketika ia bersimpuh, menunduk dalam bahkan lupa hanya untuk sekedar menaruh bunga yang ia bawa. Isakan mulai terdengar, tubuhnya bergetar hebat dan bulir air mata sudah berlomba turun.
Seakan mengerti dengan kesedihan yang dialami Jimin, bumi ikut menurunkan air hujannya. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi Jimin dan sekitarnya. Namun Jimin hanya bergeming, tidak perduli dengan tubuh atau tasnya yang mulai basah oleh air hujan.
"Ayah.." Jimin melirih. Jika biasanya ia akan meminta doa untuk pekannya yang akan ia jalani, namun kini berbeda.
Tangisan Jimin berubah menjadi raungan kuat. Suaranya ia keluarkan sekuat-kuatnya, melepas sakit yang seakan membabat habis tenaganya.
Jika orang lain mendengarnya, Jimin terlihat menyedihkan. Raungannya terdengar samar, tertimbun oleh suara hujan yang menghantam tanah. Namun Jimin tidak perduli. Ia mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk mendorong teriakannya, hingga rasanya tali suaranya akan putus begitu saja.
Jimin mengangkat kepalanya perlahan, menatap nanar kearah pusara sang ayah. "Bunda semakin sakit, ayah.."
"Tolong Jimin, ayah.. Jimin masih butuh bunda.."
「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」
Jungkook mendesah kesal. Matanya melirik lirik sinis kearah langit yang masih meneteskan hujan. Ia mengumpat, mengapa hujan turun ketika ia kebetulan tidak naik bus? Ditambah Jungkook tidak membawa payung sama sekali meski ibunya sudah memperingatinya berkali-kali tadi pagi. Ah, Jungkook jadi merasa durhaka sekarang.
Ia memasukan tangannya kedalam saku celana karena udara dingin membuat tangan besarnya seakan akan mati beku saja. Saat ini ia sedang berdiri dipinggir jalan, lebih tepatnya numpang berteduh pada tenda kafe. Penampilannya terlihat.. mengenaskan. Seragam sekolahnya sedikit basah karena ia terkena hujan sebelum sampai di kafe ini. Sepatunya sudah kotor, terkena cipratan tanah yang membuatnya berdecak sebal— ia harus menyucinya lagi.
Matanya memicing ketika mendengar suara motor knalpot. Astaga, hujan deras begini dan ada motor yang tetap berkendara? Benar-benar. Sedari tadi saja Jungkook tidak melihat kendaraan beroda dua tersebut, hanya melihat beberapa mobil karena pemiliknya masih bisa berlindung dibawah atap sehingga terhindar hujan— tapi tidak dengan motor kan?
Ia menangkap bayangan motor yang baru saja memasuki belokan menuju jalanan tempat kafe yang ia tumpangi berada. Refleks ia mengikuti pergerakan motor tersebut meski rintik hujan sedikit membuat pandangan nya mengabur. Awal tatapannya hanya datar, namun seperkian detik kemudian ia mematung dan tubuhnya menegang.
Badannya masih saja kaku bahkan setelah siluet motor itu tidak lagi masuk kepandangannya. Apa ia salah liat? Ia lupa cara berkedip untuk beberapa detik.
Ia menggeleng. Tidak! Ia yakin itu motor'nya'. Ia bisa melihat jelas stiker tengkorak berpadu dengan angka 13 dan ukiran mawar berduri sebagai hiasan di sisi motor ducati berwarna hitam matte itu. Hanya satu orang yang memiliki motor dengan ciri khas itu, Park Jimin. Sial, bahkan dia masih bisa mengingat motor Jimin meski terakhir ia melihatnya adalah 2 tahun lalu.
Jungkook benar-benar tidak mengerti. Ada apa ini? Kutukan apa ini? Mengapa tiba-tiba Jimin seakan selalu berada disekelilingnya? Apa ia salah kota? Apa ia tidak seharusnya pindah ke Seoul? Jadi sekarang Jimin ada di Seoul juga? Kebetulan macam apa ini?
Kejanggalan lain membuat ia tersadar bahwa Jimin bukan lagi Jimin. Maksudnya, bukan lagi Jimin yang ia kenal dulu. Seperti kejadian dilapangan kemarin, Jungkook sadar bahwa Jimin sudah berubah. Dari senangnya ia bermain basket, hingga berani menembus hujan dengan motor dan mengebut layaknya dikejar polisi. Ia berani bersumpah motor itu berlaju sangat cepat dan pengemudinya tidak terlihat menggunakan remnya bahkan ketika tiba di belokan. Padahal Jimin yang Jungkook kenal sangat tidak suka kehujanan ataupun kebasahan, dan cara ia membawa motor tidak pernah seagresif itu. Jimin adalah orang yang lembut, dulu. Segala hal ia lakukan dengan hati-hati.
Diam-diam Jungkook bertanya, ada apa dengan Park Jimin yang sekarang?
Dan Jungkook tidak bisa berbohong bahwa ia khawatir pada pemuda itu.
「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」
A/N: —
| to be continued |
KAMU SEDANG MEMBACA
selcouth • kookmin
Fanfiction:: Pikiran Jungkook tiba-tiba kosong, ketika melihat siapa kapten dari tim lawan yang akan ia tangguhkan hari itu. written in bahasa. © m00nshelf , 2020 . || warning; bxb story. please be smart at choosing books.