| empat

98 12 0
                                    

「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」

"Turnamen akan segera datang," ucap coach Lee yang langsung dihadiahi tatapan dari seluruh tim basket. Lelaki yang sudah hampir berumur kepala tiga itu melipat kedua tangannya didepan dada, "Dan latihan rutin akan dimulai sejak minggu depan. Jadi persiapkan energi kalian."

Setelah memberi beberapa pesan tambahan, akhirnya kelas basket dibubarkan. Beberapa ada yang langsung pulang, ada yang berganti pakaian, ada pula yang kembali ketengah lapangan hanya untuk bermain lagi. Jimin salah satunya.

Jimin, Yoongi, dan Johnny. Pemain maniak basket dari sekolah ini. Mereka dengan semangat kembali menantulkan bola, seakan 2 latihan tadi tidak sama sekali membuat mereka puas. Tanpa memperdulikan gelanggang yang makin lama makin sepi, mereka kembali menghabiskan waktu hingga 1 jam lamanya disana.

Permainan berhenti ketika Yoongi berjalan menjauh dari lapangan. Pria itu duduk di bangku panjang sambil meneguk air mineralnya rakus, disusul Johnny yang ikut melakukan hal yang sama. Seakan mengerti teman-temannya, Jimin juga ikut menghentikan permainan. Ia menaruh bola basket di gudang olahraga lalu berjalan mendekat kearah Yoongi dan Johnny.

"Ayo pulang, aku harus mencari makan malam sebelum gelap. Bahan dirumahku habis," ucapan Jimin langsung dihadiahi anggukan oleh Yoongi dan Johnny. Setelah mengambil tas, mereka bertiga berjalan beriringan menuju parkiran.

"Kudengar ada anak baru di tim sana." Johnny dan Jimin yang awalnya hanya melamun kedepan langsung menoleh saat Yoongi berbicara.

Johnny terlihat bingung, "Tim basket sana?"

"Iya," balas Yoongi, "Dengar-dengar dia juga pemain yang cukup baik di sekolah lamanya. Pindahan dari Amerika."

Setelahnya Yoongi dan Johnny kembali membicarakan si anak baru itu, mengabaikan Jimin yang hanya menyimak dengan pikiran yang kalang kabut sambil sesekali memainkan kunci motor di jarinya.

Amerika? Basket?

Jimin buru buru menepis pikirannya. Tak mungkin juga, kan? Banyak siswa pindahan dari Amerika yang pergi ke sini. Bukan hanya dia, jadi Jimin harusnya tidak khawatir.

Lagipula, jika benar dia pun, mengapa Jimin harus khawatir?

「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」

Plastik berisi belanjaan itu diraih, sedangkan sebelah tangannya memberi uang. Setelah mengambil kembalian, Jimin berjalan keluar dari minimarket sambil membuka kaleng soda yang tadi ia beli.

Pria itu mampir di minimart yang tidak jauh dari apartementnya hanya untuk membeli cup ramen yang sudah habis persediaannya. Sebelum pulang, Jimin duduk diatas jok motornya, beristirahat sejenak untuk menghabiskan minuman kaleng itu daripada harus menyetir dengan tangan satu nantinya.

"Jimin?"

Seketika Jimin mengalihkan pandangannya ketika seseorang baru saja menyebut namanya. Ia menoleh, menatap kearah belakang tempat lelaki itu berdiri.

Dan saat itu juga Jimin menyesali keputusannya untuk duduk sejenak dibanding langsung pulang. Yang ia bisa lakukan sekarang hanya mematung, menatap lurus kearah lelaki yang masih saja berdiri tidak jauh darinya tanpa melakukan hal lain.

Namun sedetik kemudian Jimin berhasil kembali menguasai dirinya. Tatapannya berubah datar dan langsung menghabiskan sodanya dalam sekali teguk. Setelahnya ia melempar kaleng soda itu kedalam tong sampah yang berada tak jauh dari motornya.

Jimin memaksakan senyumnya, "Ah, selamat sore, Jungkook-shi."

Sedangkan yang disapa langsung merapatkan bibirnya yang sempat akan terbuka mengatakan sesuatu. Seketika ia merasa beku- dan canggung. Jimin berbicara sangat formal, dan Jungkook belum terbiasa mendengar nada formal dari lelaki mungil didepannya.

"Sore juga, Jimin." Jungkook berusaha mencairkan suasana yang terasa sangat kaku. "Bagaimana ka-"

"Maaf, hari sudah mulai sore. Saya harus pulang," Jimin memotong dengan cepat sebelum percakapannya dengan Jungkook bertambah jauh. Tanpa memperdulikan lelaki bongsor itu, Jimin memakai kembali helmnya dan menyalakan motor kesayangannya.

Jimin tersenyum kecil dibalik helm full face yang menutupi setengah wajahnya, "Saya permisi."

Setelahnya hanyalah suara knalpot motor yang terdengar hingga semakin lama semakin hilang. Jungkook sendiri masih berdiri, tidak tau harus bagaimana karena otaknya bahkan masih mencerna kejadian beberapa detik yang lalu.

Singkatnya; ia bertemu Jimin, Jimin berbicara formal dengannya dan Jimin baru saja meninggalkannya bahkan sebelum ia sempat menanyakan kabar lelaki mungil itu.

Pemuda itu mengusap wajahnya frustasi. Helaan nafas keluar terdengar begitu putus asa. Ia tidak menyangka bahwa niat menyapa nya malah menjadi kejadian yang akan terus meributi pikirannya tiap malam.

Jungkook tersenyum sendu. Mau tidak mau jujur bahwa kenyataannya Jungkook merasa sedih dan kecewa dengan Jimin yang terasa asing. Jungkook tidak lagi melihat Jiminnya. Entah kemana lelaki mungilnya itu, namun yang Jungkook tau pria kecil yang beberapa menit lalu berbicara padanya bukan Jimin. Bukan Park Jimin yang Jungkook kenal.

Namun apa pantas seorang laki-laki yang sudah menyakiti pujaan hatinya berharap bahwa orang itu akan kembali sama? Sepertinya tidak.

「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」

Sejak perginya sang ayah, Jimin adalah orang yang datar. Jimin jarang mengeluarkan ekspresi tertentu karena wajahnya hanya akan terlihat bak tembok. Jimin juga semakin pintar memainkan mimik wajahnya--setidaknya begitu kata Yoongi dan Johnny. Dan Jimin benarkan perkataan temannya itu setelah ia sampai dirumah.

Wajah datar yang sedari tadi ia pasang seakan baru saja dibuka topengnya. Sampai di kamar apartemennya, Jimin langsung membanting helm mahal itu ke sofa- tidak perduli dengan kerusakan nantinya. Ia mengusak rambutnya hingga terlihat berantakan, dengan wajah yang terlihat lelah.

Jimin mungkin bisa bersikap biasa saja tadi. Namun untuk sekarang, Jimin tidak bisa menepis bahwa pertemuannya dengan Jungkook tadi cukup mengguncang mentalnya. Rasa senang, sedih, marah, kecewa seakan teraduk dalam pikirannya.

Jimin senang. Jujur saja jika Jungkook menyadarinya, ia akan melihat sepercik binar senang yang Jimin pancarkan ketika melihat Jungkook untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Hatinya terasa sedikit menghangat ketika melihat laki-laki yang ia rindukan sedang berdiri didepannya, terlihat sehat dan baik-baik saja.

Tapi Jimin juga sedih, kecewa, marah. Melihat Jungkook kembali seperti menabur garam diatas luka yang terbuka. Bagaimana perilaku Jungkook, bagaimana Jungkook meninggalkannya, semuanya tiba-tiba teringat kembali setelah lama ia berusaha kubur dalam.

Dan yang membuat Jimin semakin kalang kabut adalah ia sadar bahwa dia dan Jungkook kini berada ditempat yang sama, dikota yang sama, namun dengan keadaan berbeda dan perasaan yang berbeda.

「 𝚜 𝚎 𝚕 𝚌 𝚘 𝚞 𝚝 𝚑 」

selcouth • kookminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang