Intro
Sebenarnya aku tak mau menceritakan kisah ini.Bagiku menceritakannya sama saja mengulang lagi setiap detail pengalamanku di rumah itu, dan kau tahu, itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan untuk diingat.
Tapi baiklah. Kali ini aku akan menceritakannya, dan cukup sekali ini aku melakukannya dan kuharap ini untuk yang terakhir kali.
Begini ceritanya;
sekitar lima tahun yang lalu, ketika aku baru saja menjadi mahasiswa di kota Bandung, seperti kebanyakan mahasiswa rantau lainnya, aku juga mencari-cari tempat kos yang kira-kira dekat ke kampus. Karena belum punya teman dan tak punya saudara di sini, atau orang yang kukenal, aku mencari tempat kos sendiri saja.
(Bandung)
Selesai menyelesaikan semua urusan pendaftaran di kampus tempat aku diterima, aku langsung keluar kampus untuk mencari tempat kos. Untung aku datang lebih awal dan saat loket pendaftaran dibuka aku menjadi antrian pertama. Akhirnya aku bisa menyelesaikan semua urusan pendaftaranku lebih awal. Kira-kira pukul sebelas aku sudah keluar kampus.
Setiba di luar gerbang, aku merasa sangat bingung. Aku benar-benar tak tahu tentang kota Bandung ini dan aku juga tak punya siapa-siapa yang kukenal di sini. Malah dalam pikiranku, seandainya sampai malam nanti aku masih belum menemukan tempat kos, aku akan menginap di kampus saja.
Tapi pikiran itu segera kutepis. Aku menghembuskan nafas kuat-kuat dan bertekad dalam hati kalau aku pasti bisa menemukan tempat kos sebelum senja!
Aku ingin membagi kumpulan cerita seram ini ke kamu. Download aplikasi SERAMKU ini di PlayStorehttps://play.google.com/store/apps/details?id=com.khicomro.horrorstoryebook1
Part 1
Kemudian aku mulai bertanya-tanya pada mahasiswa-mahasiswa yang tampak senior dan sedang berkeliaran di luar kampus tentang di daerah-daerah mana saja yang terdapat banyak tempat kos.Aku juga bertanya pada penjual-penjual kaki lima yang bertebaran di sekitar gerbang kampus dan untungnya mereka dengan ramah menunjukkannya.
Setelah sekian informasi dan kurasa cukup, aku mulai berjalan sambil menyandang tas ranselku yang sangat padat dan berat. Aku menyisiri trotoar di sepanjang jalan menuju ke daerah yang ditunjukkan oleh orang-orang yang kutanya tadi.
Aku mulai dari rumah pertama dan seperti yang tak terlalu kuharapkan, pemilik kosnya bilang penuh. Aku melanjutkan ke rumah berikut dan sayangnya, selalu saja kudapatkan penuh.
Aku mulai digerogoti rasa pesimis bahwa untuk rumah berikutnya pasti akan kudapatkan hal yang sama. Aku mulai kehilangan harapan mendapatkan tempat kos sebelum senja.
Tapi saat itu hari udah menunjukkan pukul setengah dua siang dan perutku mulai keroncongan. Aku memutuskan beristirahat sejenak di sebuah warung kecil yang menjual nasi dengan lauk dan sambal rumahan seadanya.
Ibu pemilik warung itu gemuk dan wajahnya sangat ramah. Ketika aku memasuki warungnya, dia menyambutku dengan hangat sambil mempersilakanku duduk layaknya anaknya sendiri. Aku merasa canggung sekaligus senang diperlakukan begitu. Tapi ibu itu tampak sudah biasa dengan mahasiswa-mahasiswa seperti aku, yang kelelahan, lapar, dan jauh dari keluarga.
Dia mengambilkanku sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya. Melihat gunungan nasi komplit di piring itu, aku agak cemas akan membayar banyak, tapi, aku benar-benar sangat lapar dan lelah. Perasaanku tercabik antara lapar dan kondisi saku.
Setelah pendaftaran tadi, semua uang yang dititipkan orang tuaku nyaris habis dan yang tersisa hanya untuk biaya kos dan beberapa kali makan. Dan orang tuaku baru bisa mengirimkan uang seminggu lagi. Tapi ibu itu seakan tahu kekahwatiranku dan dia langsung bilang sambil tersenyum bijak,