Chapter 3

36 31 0
                                    

Suasana hening tercipta di rumah Fenoora hari ini. Di teras belakang rumah, dua orang pria paruh baya duduk berhadapan dengan wajah yang serius. Joo dengan rambut hitam tertata rapi karena baru pulang kerja dan Derren dengan rambut ubanan dan nyaris botak yang hari ini tidak memiliki jadwal oprasi. Meski terpaut perbedaan umur hampir sepuluh tahun, kedua orang itu terlihat sangat akrab ketika sudah berhadapan dengan papan catur. Fenoora hanya bisa menghela nafas saat Kenzo tidak ada disini, cowok itu sedang berada dirumah dengan Hansell yang sibuk memberikan trik-trik belajar agar bisa lulus di kampus impian. Fenoora tertawa dalam hati menertawai dirinya yang tidak punya rencana sama sekali ketika sudah lulus sekolah.

Fenoora memangku wajahnya sambil menatap permainan kedua bapak-bapak yang terlihat sangat lambat dan membosankan.

“Kamu main ke rumah sana, ikut Kenzo belajar. Siapa tahu kamu keterima di Stanford juga” usul Darren mulai jengah melihat anak muda dengan mata malasnya.

“Om, Ken itu jangan di suruh belajar terus. Ajak jalan-jalan kek, main kek, liburan kek. Toh yang bikin orang sukses itu bukan cuma ambisi, tapi motivasi” balas Fenoora tanpa rasa sungkan sedikit pun.

“Loh loh loh. Kan Ken udah sering main selama ini”

Fenoora mencebikan bibirnya, “pindah dari rumah Ken kerumah Rara gak bakal bisa disebut main Om. Main itu kayak, jalan-jalan sore naik sepeda. Makan gulali di pasar malam. Nah cowok-cowok jaman sekarang suka hunting cewek cantik di pinggir pantai gitu Om”

“Nanti kalau udah sukses, main sepuasnya juga Om gak bakal larang”

Fenoora diam-diam memutar bola matanya malas. Justru itu yang menjadi masalah. Kalau suksesnya udah tua gimana? Syukur kalau udah tua, kalau gak sukses-sukses?. Tapi jika dipikir-pikir, Kenzo tidak mungkin tidak akan jadi orang sukses di kemudian hari. Lihat saja gaya hidupnya.

Fenoora terkesiap menyadari bahwa dirinyalah yang perlu dikhawatirkan, mau jadi apa dia. tidak punya pendirian sama sekali. Masuk jurusan ipa hanya karena ada Kenzo. gadis itu melipat kedua bibirnya enggan membantah lagi. didepannya adalah om dokter yang super cerdas dan kritis.

“Rara harus contoh Ken yang rajinnya minta ampun. Jangan rebahan mulu” tegur Joo.

“Hmm” balas Fenoora sambil memberi senyum segaris.

“Rara, sini. Bantuin mama dulu” teriak Morina dari dalam rumah. Untuk menghindari pembicaraan ini, gadis itu segera berlari masuk kedalam rumah dan mencari keberadaan mamanya.

“Ini mama ada paket endors dress ibu dan anak. Mama mau fotoshot, jadi kamu harus ikut juga”

Fenoora mengerutkan alisnya tidak setuju, jujur rasa magernya mulai muncul sekarang juga.

“Duh gak lama Ra, nanti kalau uangnya di transef bakal mama masukin sebagian ke rekening kamu. Kan kamu istilahnya kerja sama mama sekarang”

Mata Fenoora terasa berbinar mendengar bahwa ada nominal uang yang juga ibunya sebutkan. Dengan cepat kilat ia duduk di depan meja  rias menunggu manager mamanya yang kadang-kadang merangkap jadi tukang rias pribadi.

“Ra, mama akhir pekan mau berangkat ke bali. Syuting disana selama tiga sampai empat hari. Kamu mau ikut tidak.

“Senin Rara kan harus sekolah ma”

Morina meperbaiki posisi rambutnya, “duh Ra, sekolah itu gak nentuin masa depan kamu. Mama juga dulu kuliah dan buktinya sekarang jadi artis. Ijazah mama itu nggak berguna sama sekali” ucapnya, “sekolah sih emang penting, tapi sebaiknya kamu udah bisa belajar cari duit mulai sekarang supaya nggak kalang kabut kalau kamu susah cari kerja nanti. Kita ini bukan kayak keluarga Kenzo yaa, yang punya saham sana sini. Kita kerja untuk orang lain, dan orang lain bakal bayar kita”

Fenoora menghela napas. Ia memang tidak suka bersekolah, tapi ia lebih tidak suka jika ia tidak sampai bersekolah. Rasanya cukup sepi sekali jika kita hanya mendedikasikan hidup kita untuk uang tanpa menikmati momennya. Fenoora tidak mempunyai pemikiran soal bagaimana dia menghasilkan uang, melainkan bagaimana dia menikmati sesuatu tanpa berpatok kepada uang dan untuk uang.

Ia tidak menanggapi lagi omongan ibunya, malas berdebat. Semuanya tertular dari sifat Kenzo yang selalu diam ketika orang tuanya mulai cerewet mengaturnya.

“Jadi mau ikut nggak, biar mama pesenin tiket” tanya Morina

“Rara ada janji sama Papa mau pergi ke studio akhir pekan”

Morina sedikit berdecak mendengar ucapan anaknya itu, “aduh apa bagusnya studio berita sih. Kalau di Bali kan enak, mama syuting di resort pinggir pantai lohh. Kalau ada waktu luang kan bisa kulineran Ra, kamu kan suka makan”

“Aduh Ma, gak bisa. Rara nggak mau. Nanti deh kita liburan ke Bali, biar Papa juga bisa ikut. Sekalian Kenzo, Tante Megi, dan Om Derren. Kalau bisa Kak Hansell juga ikut biar liburan rame-rame. Kalau cuma dengan temen-temen kerja Mama, Rara mana nyaman. Nggak asik” ucap Fenoora membantah semua ajakan mamanya yang menurutnya sudah kelewatan

Morina mengatupkan mulutnya enggan berkomentar lagi.


***



Setelah selesai melaksanakan perintah ibunya, ia memilih untuk masuk kedalam kamar. Biarlah Tante Maya sebagai manaGer yang akan memilih satu foto terbaik dari puluhan foto yang sudah tertangkap kamera.

Sore ini cukup sunyi karena setelah pulang sekolah, ia tidak melihat keberadaan Kenzo. Tentu saja anak itu sekarang sedang sibuk. Mencari teman yang memiliki banyak waktu luang memang bukanlah ide buruk, namun ia tidak akan bisa nyaman semudah ia nyaman dengan Kenzo.

Seperti biasa, ia mengambil teropong jarak jauh untuk sejenak memata-matai Kenzo. ia sedikit menyipitkan mata ketika melihat Kenzo berada di balkon lantai tiga sedang berbicara di telfon sedikit berbisik dan sambil sesekali mengamati keadaan. Fenoora tahu siapa yang sedang di ajak bicara sahabatnya di telpon dengan kondisi mengendap-endap. Itu Marcella yang merupakan teman sekelasnya sekaligus pacar Kenzo beberapa bulan ini. Anak itu tetap kukuh ingin pacaran dengan saingan di kelasnya karena sejak awal Fenoora tahu bahwa Kenzo tertarik dengan pesona manis dari Marcella. Fenoora cukup geleng-geleng kepala dengan jalan pikiran Kenzo, tidak sadarkah dia bahwa Marcella memanfaatkannya hanya untuk catatan dan kisi-kisi yang selalu keluar sesuai prediksi Kenzo?.  Laki-laki dan perempuan sama saja, ketika sudah mengenal cinta bisa jadi bodoh seketika. Fenoora tidak ingin berpacaran, single saja dia bisa jadi sangat bodoh apalagi saat berpacaran.

“OM DERREEEEN” teriak Fenoora membuat Kenzo jadi gelagapan dan matanya langsung tertuju pada Fenoora. Sedangkan gadis itu menoleh pada arah lain, yaitu tepat dimana Derren berjalan ingin pulang kerumahnya.

Ia melambaikan tangannya bahagia ketika melihat Derren memperhatikannya di balkon lantai dua, “Kenzo jangan lupa di cek udah makan atau belum. Suruh tidur tepat waktu. Salamin kedia suruh kirimin pr matematika di whatsapp Rara”

Derren tersenyum tipis sambil mengacungkan jempol. Tapi Fenoora tahu kalau Derren tidak akan melakukan itu. itu hanya basa-basi agar Kenzo berhenti telpon wara-wiri dengan orang semacam Marcella, tidak berguna.

Setelah selesai menyapa Derren, Fenoora tertawa terbahak-bahak melihat respon yang keluar dari wajah Kenzo yang pias.


***

Aku update lagi kisah ini, untuk chapter selanjutnya akan di update minggu depan.
Sayang kalian💛
Jangan lupa di vote💛

KENOORA: When We Were YoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang