PROLOG

2 0 0
                                    

Tidak pernah diharapkan.

***

P

RIITTT...

Suara peluit berbunyi sangat nyaring. Tanda permainan telah dimulai. Dua regu yang saling mengejar, merebut dan membobol ring lawan pun mulai berlarian kesana kemari. Bola basket yang tampak kuat, terlempar kemana-mana. Membuat suara pantulan yang khas dan juga berbeda dari kebanyakan olahraga lainnya.

Dinginnya malam tidak membuat para penonton pergi dari lapangan basket. Hiruk piruk kota Jakarta yang semakin menambah semangat penonton dan pemain. Para penonton juga terdengar riuh. Menyebutkan regu jagoan masing-masing. Berdoa dalam diam agar regu jagoannya bisa unggul malam ini dan menjadi kepuasan tersendiri.

Seorang wanita dengan nomor punggung 14, sedang mengambil alih bola. Jovelline Savinka atau biasa dipanggil Velin, adalah salah satu atlit basket disekolahnya. Kecintaanya terhadap dunia basket mulai timbul sejak ia menginjak usia 11 tahun.

"VELIN! OPER!" teriak Maria, rival¹ Velin

Sayangnya, Velin tidak mengindahkan hal itu. Dengan cekatan, Velin berlari sembari men-dribble bola menuju ring lawan. GOL! Velin berhasil merebut poin pertama dalam permainan. Diseberang sana, Coach Ferdy tersenyum melihat perkembangan Velin yang kian hari kian meningkat.

Pertandingan berlangsung selama 40 menit. Posisi sementara, SMA Tunas Yudha unggul 2 poin daripada SMA lain. Dengan ini Velin yakin, bahwa sekolahnya akan kembali membawa pulang piala.

PRIITT... PRIIIITT....

Peluit nyaring berbunyi kembali. Tanda semua regu harus beristirahat. Tak sampai 10 detik, lapangan langsung sepi pemain. Begitu juga dengan Velin. Ia menghampiri ranselnya yang berada di pinggir lapangan.

Seorang remaja bertopi merah berjalan mendekati Velin. Remaja tersebut membawa air dingin ditangan kanannya. Dengan sengaja, Arkaan menempelkan air bersuhu dingin ke pipi Velin yang panas karena berkeringat.

Velin terkesiap. "ARKAAN!"

Arkaan tertawa puas. Ia mengambil posisi duduk disebelah Velin.

"Lo tuh ya! Makin hari, makin ngeselin! Mana sini air gue?"

"Nih!" Arkaan menyodorkan air dingin tadi

"Lah kok air dingin? Gue tuh keringatan masa minum dingin. Otak gue beku nanti!" cibir Velin

"Bawel lo kayak mak-mak. Udah si terima aja. Namanya manusia, tempatnya salah."

Velin mendelik. "Lo tempatnya itu sampah."

"Sialan lo!"

Keduanya tertawa. Velin membalas kejahilan Arkaan beberapa waktu lalu. Tiba-tiba, Maria menghampiri mereka. Dengan angkuh, ia melipat tangannya didepan dada. Matanya menyala seperti ingin menerkam orang didepannya.

"Woy, anak pungut!"

"Apa?"

Maria mendekat. "Lo tuh bisa nggak sih? Seharii aja nggak cari muka?"

"Nggak. Kenapa?" tantang Velin

"Anak pungut kayak lo, nggak pantas dibanggakan sama coach Ferdy. Lo tuh pantasnya di lampu merah. Mungutin sampah dan minta duit ke mobil-mobil."

Arkaan berdiri. Tak terima sahabatnya di hina seperti itu. Melihat Arkaan berdiri, Velin pun ikut berdiri.

"Ngomong lagi coba,"

GRAHA (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang