02. Escape

350 55 10
                                    

Mark menggerakkan tangannya, memperbaiki beanie oranye-nya yang Jeno kenakan. Jeno tersenyum manis sambil membantu memperbaiki posisi beanie yang dikenakannya.

"Apa kakak yakin, petugas bandara tak akan mengetahui semua ini? Bagaimana jika mereka menonton televisi dan akan menahanku sampai orangtuaku datang?" Jeno bertanya cemas seraya mengancingkan jaket baseball yang melekat pada tubuhnya.

Jeno menatap cemas Mark. Ini gila. Baru dua hari lalu Jeno membuat keputusan untuk kabur dari rumah dan sekarang, dia sudah bukan lagi pergi dari rumah. Kemarin, Mark menguras sebagian uang tabungannya untuk membelikan keduanya tiket pesawat dengan tujuan Vancouver, Canada. Tempat lahir pemuda itu. Mark bilang, mereka akan memulai hidup baru di Vancouver.

Mark menempelkan dahinya pada dahi Jeno, sementara tangan pemuda itu berada di belakang kepala Jeno. Mark tersenyum.

"Apa kau percaya padaku?" tanya Mark dan Jeno langsung menganggukkan kepala. Mata mereka terkunci pada satu sama lain.

"Kalau begitu, percayalah. Kau dan aku-kita-akan baik-baik saja. Jika petugas bandara itu mengenalimu dan menahanmu, aku akan bertindak. Aku bersumpah, tak akan ada satupun orang yang dapat menjauhkanmu dariku" Perkataan Mark membuat hati Jeno menghangat.

Gadis cantik itu tersenyum sebelum menempelkan bibirnya pada bibir Mark. Keduanya berciuman singkat, sebelum saling melepaskan diri dan bergandengan tangan memasuki bandara.

Jeno ketakutan, tentu saja. Bayangkan, sejak kemarin wajahnya terpampang di televisi dengan berita yang sangat buruk. Walaupun, Ayahnya tak menyebut nama Mark tapi, Jeno tahu, Ayahnya tahu jika Jeno pergi bersama Mark. Jeno sudah pernah mengancam orangtuanya jika mereka tidak merestui hubungan mereka, Jeno akan tetap bersama Mark.

Jeno benar-benar melakukannya dan Jeno tak peduli jika dia bukanlah anak yang penurut. Jeno hanya ingin bahagia dan gadis itu yakin sepenuhnya, kebahagiaanya adalah Mark.

Saat sampai di bagian pemeriksaan tiket, Jeno semakin panik. Keringat dingin mengucur dari pori-pori kulitnya. Mark masih terus menggenggam tangan Jeno erat, berusaha menyalurkan ketenangan kepada kekasihnya tapi, tetap saja. Jeno tak bisa tenang. Rasanya pemeriksaan berjalan sangat lama. Ada dua petugas yang berjaga dan salah satu petugas terus memperhatikan Jeno walaupun, Jeno sudah mengenakan beanie-untuk menutupi rambutnya-dan kacamata berlensa hitam yang menutupi setengah wajahnya.

Setelah melewatkan beberapa menit yang sangat menegangkan, akhirnya petugas bandara itu membiarkan Jeno lewat begitu saja sehingga gadis cantik itu bisa bernafas lega. Mark yang sudah terlebih dahulu lewat tersenyum dan kembali menggenggam erat tangan gadis itu.

Mark mengecup singkat kening Jeno sambil berkata, "Lihat? Semuanya baik-baik saja, kan?"

Jeno terkekeh kecil. "Aku panik. Salah satu petugas terus memperhatikanku. Sepertinya dia mengenaliku tapi, dia tidak yakin dengan pikirannya. Dia sangat bodoh" Mark ikut terkekeh.

"Mungkin, dia tidak juga mengenalimu. Dia hanya terpikat oleh kecantikanmu" Goda Mark.

"Yang benar saja? Cantik dari mana? Setengah wajahku bahkan tertutup oleh kacamata besar sialan ini!" gerutu Jeno seraya melepaskan kacamata yang dia kenakan sebelumnya.

Jeno meletakkan kacamata itu dalam kantung jaketnya sebelum kembali melanjutkan langkahnya bersama Mark yang masih terus menggodanya. Sesekali mereka tertawa sampai keduanya duduk di bangku penumpang pesawat.

Mark membantu Jeno mengenakan sabuk pengamannya sambil berkata, "Ini akan menjadi perjalanan panjang kita yang pertama"

Jeno terkekeh dan mengangguk.

Paper Airplane (Discontinue)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang