Adaptasi anak SMK

546 6 0
                                    

Riuh, itulah kata pertama yang muncul di benakku saat menjejakkan kaki di kota kecil ini. Setidaknya dibandingkan dengan desa asalku, jelas kota ini lebih riuh. Setelah perjalanan dengan bis selama 3 jam akhirnya aku tiba terminal kota kecil ini. Mataku sibuk mencari Reyhan, teman kecil sekaligus kakak kelasku sejak SD dan SMP. Aku nekat melanjutkan sekolahku ke SMK di kota ini juga gara-gara dia. Aku berkali-kali menelepon dia namun tidak kunjung diangkat. Mungkin sedang di perjalanan menjemputku, gumamku dalam hati. Jam sudah menunjukkan jam setengah 1 siang, hari itu hari Jumat. Aku baru ingat berarti Reyhan tidak mengangkat karena ibadah sholat jumat, maka aku melangkahkan kakiku ke kedai minuman dan makanan kecil di depan pasar. Ya, karena terminal ini berhimpitan dengan pasar, mungkin itu menambah keriuhan yang menerpaku sejak tadi.

Aku duduk di bangku panjang depan kedai itu. ‘Mang, es teh manis satu’ kataku kepada abang penjual seraya mengambil pisang goreng di meja. Sesaat kemudian penjual tersebut menyuguhkan es teh manis di hadapanku. ‘lah, ga jumatan a? Masa masih muda udah bolos jumatan, hehe ’ (a sapaan laki-laki muda di sunda). ‘gak a, saya non muslim’ jawabku sambil tersenyum. ‘oh, maap maap. Kirain teh Islam’ katanya sambil memasang wajah sedikit merasa bersalah. Abang penjual itu umurnya mungkin awal 30an. Wajahnya khas sunda, putih dan tirus, badannya agak kurus tapi masih cukup berisi.

‘lagi nunggu siapa, a?’ tanyanya membuyarkan pandanganku ke badannya.

‘Temen a, kayanya dia masih jumatan’, jawabku

‘Oh emang mau kemana siang-siang begini, bawa tas segede begitu?’

‘Saya baru sampai mang, mau sekolah di sini saya mah’

‘Oh di SMK Prima ya?’

‘Iya mang, kok bisa tau?’

‘Lah kalo di sini mah biasanya pada kesana. Apalagi kalo laki’

SMK ini memang cukup terkenal, banyak lulusannya yang menjadi ahli-ahli mekanik di pabrik-pabrik di Pantura Jawa Barat. Aku pun demikian, berharap bisa menjadi ahli mekanik suatu hari nanti.

Tiba-tiba aku mendengar ringtone ku berbunyi, aku segera mengangkatnya.

‘halo Rey, aku di depan pasar, warung gorengan yang jual pop mie juga. Aku pakai kaos coklat’. Aku sekilas sudah melihat Reyhan memacu motornya mendekat ke arahku. Aku membayar segelas es teh dan 2 pisang goreng sekalian pamitan ke mamang itu ‘mang, nuhun nya’.

‘Wih sampai juga kamu ion di sini’ kata Reyhan memanggil namaku. Namaku Dion, Dionisius Putra.

‘sorry bray, ga ngangkat tadi masih jumatan’ lanjut Reyhan selagi menyerahkan helm semi full face ke arahku.
‘ santai, aku juga laper dan haus tadi jadi sekalian nunggu dulu, malah aku yang minta maaf gangguin kamu tadi’ Ujarku dan langsung naik ke jok belakang Satria F milik Reyhan.

‘langsung ke kosan barumu kita?’ tanyanya

‘yoklah’ jawabku.

Reyhan 3 tahun di atasku. Usianya saat ini sudah 16 tahun dan masuk ke kelas 12. Badannya berisi tingginya sedang dan berwarna kulit coklat muda. Dia hampir saja mengetahui kalau aku seorang gay waktu kami SMP, saat itu aku lupa menghapus history pencarianku. Disitu aku mencari keyword berhubungan dengan gay tetapi untungnya dengan bahasa inggris, sehingga Reyhan tidak mengerti artinya, dia Cuma sempat bertanya tentang terjemahan dick, suck dan kata-kata lain yang berhubungan dengan seksual. Ya, keuntunganku adalah aku fasih berbahasa Inggris, setidaknya dibandingkan dengan teman-teman di sekolahku.

Setelah naik motor kira-kira 10 menit aku tiba di kamar kos baru ku, ukurannya tidak  besar hanya 3 meter kali 4 meter. Cukup untuk menaruh 1 kasur single, 1 meja kecil dan 1 lemari susun. Kosku ini dicarikan Reyhan, sedangkan dia sendiri tinggal di kos yang berbeda, sekitar 3 menit jalan kaki dari kos ku ini.

Kartu As dan The JokerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang