Pengakuan dan Eksplorasi

328 4 0
                                    

Part 2

Aku mulai membiasakan diriku di sekolah ini. Jelas ini sangat berbeda dengan pengalaman di masa SD dan SMP ku. Banyak perbedaan di SMK ini, selain karena aku di sini minoritas, tapi dengan pergaulan yang seluruhnya adalah laki-laki, jelas ini cukup membutuhkan adaptasi. Hari itu, Kamis, setelah kelasku selesai jam olahraga, aku diminta menemui bapak wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

“Sore pak Fariz” Sapaku sembari mengetuk pintu ruangannya

“Oh, sore Dion, silahkan masuk” katanya sembari melepas kacamatanya dan berdiri meninggalkan meja kerjanya.

“Duduk sini ayo” lanjutnya sambil mepersilahkanku duduk di sofa kecil di ruangannya

Pak Fariz ini adalah mantan kepala sekolah. Umurnya sekitar 42 tahun, salah satu yang paling senior di sekolah ini. Aneh bukan? Ya, sekolah ini memang punya guru-guru dan organisasi yang sangat muda. Mereka yang sudah berumur diatas 45 tahun biasanya akan diminta untuk melanjutkan pekerjaan mereka di kantor Yayasan mereka di Jakarta.

“Gini Dion, saya mau diskusi soal permintaanmu terkait penyediaan guru agama untuk kamu”

Ah, gumamku dalam hati. Aku memang menanyakan soal guru agama katolik di sekolah ini. Selama ini karena biasanya tiap angkatan belum tentu ada murid non Islam, maka biasanya murid-murid diminta untuk bergabung dengan sekolah lain di kota ini untuk menghubungi gereja dan belajar mandiri. Sedangkan untuk yang Hindu, kebetulan memang ada komunitas Bali di kota ini yang memiliki pengajar agama.

“Kebetulan pas sekali Dion, bapak ada kenalan dari Jakarta, dia apa gitu namanya, setingkat sebelum pastur gitu…”

“Oh frater namanya Pak” pungkasku

“Ah iya, frater. Nah bapak kenal dia waktu bapak ada acara di Jakarta. Nah dia katanya sedang ada apa gitu bapak ga tau, jadi dia akan tinggal di kota dekat sini sampai dia jadi pastur. Dia katanya mungkin akan bisa bantu mengajar di sini sampai 2 tahun ke depan.”

“Wah, terimakasih pak sudah dibantu!”, kataku senang

“Ah gak kok, ini pas kebetulan aja dia bisa. Namanya Niko, Frater Niko. Ini nomernya, coba kamu nanti yang hubungi ya, biar nanti kamu juga koordinasi dengan teman-teman katolik lain. Soalnya di kelas 12 ada 1 orang juga. Untuk waktunya nanti kamu bisa pakai kelas mana saja hari sabtu siang ya, setelah jam ekstrakurikuler”

“Siap pak Fariz” Kataku sambil menerima kertas berisi nomor telepon Frater Niko.
Akhirnya setelah 6 bulan aku harus pergi ke asrama pastur setiap minggu sore untuk mendapat pelajaran agama, aku bisa menerima pelajaran di sekolah. Eit. Tolong jangan berpikir aku anak baik, tunggu cerita selanjutnya. Aku parah kok , tapi gak separah si Joker sih……..
Siapa Joker?!

-------------------------------------------------

“Ethan!” panggilku agak keras ketika aku melihat temanku itu berjalan di lorong sisi lain lapangan.

Dia menolehku. Ethan ini adalah satu-satunya teman katolik di angkatanku. Dia keturunan tionghoa. Jujur aku heran karena dia memilih masuk sini, bukan karakteristik sekolahan yang popular di kalangan keturunan.

“Kenapa Dion?”

“Kita mulai minggu depan kayaknya harus stay di sekolah abis eksul deh, soalnya ada frater yang ditugasin ngajar disini”

“Oh gitu, oke deh” Ujarnya dingin. Aku agak heran kenapa dia sama sekali gak tertarik, padahal itu jelas memudahkan supaya hari minggu gak perlu jalan jauh.

“Yaudah kabarin aja” katanya sambil tersenyum tipis. Ethan ini badannya luar biasa bagus, tingginya sekitar 175 cm, dengan body atletis dan rambut yang rapi tapi gak keliatan nerdy. Sayangnya dia tertutup, jarang banget aku liat dia ngobrol sama orang lain. Kalau istirahat juga lebih suka di kelas saja. Bahkan walaupun aku gak merasa dekat, mungkin aku adalah orang paling sering ngobrol sama dia.

Kartu As dan The JokerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang