Dua Puluh Enam

36 5 1
                                    

|| Peristiwa Kelabu ||

☆☆☆

Sekarang jam berapa, Cal? Gue bangun kepagian ya?" tanya Nata sambil menguap kemudian menggaruk kepala. Seingatnya tadi ia keluar kamar dengan jarum pendek jam berada di angka sepuluh, namun ia mendapati sahabatnya duduk di kursi makan dengan ditemani secangkir kopi.


"Gue enggak berangkat," jawabnya singkat dan pelan.

Nata mengikat rambutnya secara asal kemudian menghampiri sahabatnya."Sakit?" tanya Nata. "Ada apa sama Gama?" tanyanya lagi ketika menyadari kondisi Calya  dengan wajah pucat dan kelopak mata bengkak.

Calya menggeleng. "Ini mama, Nat."

"Kenapa? Cerita sama gue, kebetulan gue masuk sore. Gue juga nggak ada acara hari ini."
Nata duduk di kursi sebelah Calya.

Calya yang menumpukan dagunya pada lipatan tangan masih terdiam. Tatapannya kosong memandangi mug bambu yang berada tak jauh dari wajahnya.

Masalah berat, batin Nata.
Ia beranjak membuat susu hangat dan kembali duduk di kursi tadi menemani sahabatnya. Kebiasaan yang sudah sangat Nata hafal sejak mereka tinggal bersama. Dengan setia Nata duduk menghabiskan minum sambil memainkan ponselnya, mengintip di dunia maya dan sesekali berkirim pesan dengan teman-temannya.

"Nat," panggil Calya pelan setelah hampir satu jam ia mengunci mulut.

Nata mendongakkan wajah, menoleh ke arah Calya yang kini sudah lebih 'hidup' dibandingkan satu jam yang lalu.

"Kenapa nyokap gue egois banget, Nat? Dia enggak pernah memikirkan keluarganya. Papa, Mas Angga dan sekarang gue." Sebutir bening melintas dengan bebas di pipi Calya dan melewati lipatan tangannya.

"Lo udah ketemu sama nyokap lo?"

Calya kembali mengangguk.

"Terus?" tanya Nata lagi.

"Seperti yang udah-udah. Dia enggak peduli, apalagi dengan permintaan gue. Menurut dia yang dibutuhkan di dunia ini cuma materi." Calya menghembuskan nafas dengan berat. "Kenapa ini semua enggak adil buat gue, Nat?" tatapannya beralih ke wajah sahabatnya.

"Hidup tu emang enggak ada yang sempurna, Cal," jawab Nata bijak dengan senyuman terukir di wajahnya. "Masih banyak yang bisa lo syukuri. Lo punya kakak dan ipar yang baik, sejak kecil lo udah dibeliin tempat tinggal sama papa," terang Nata memandang sekeliling. "Meskipun terdengar jahat, tapi nyokap lo juga masih peduli. Buktinya aja selama kuliah beliau masih ngeluarin uang buat kuliah dan semua keperluan hidup lo, kan?" Nata mencoba menilai Meliana dari sudut pandang yang berbeda.
"Dibandingkan hidup gue, Cal. Satu-satunya keberuntungan dan keadilan di hidup gue cuma ketemu sama lo dan bisa tinggal gratis di rumah ini," ucap Nata terbata-bata.

Kalimat Nata dibalas dengan senyuman tulus dari Calya."Jangan berlebihan, Nat."

"Beneran, Cal.  Coba kalo gue enggak ketemu lo, gue mesti balik ke kampung ibu. Dengan lulusan SMP gue kerja apa di sana? Beruntung gue ketemu lo sama mas Angga, gue bisa dapet kerjaan yang gajinya bahkan lebih dari cukup untuk keluarga gue dengan pendidikan gue."

Lagi-lagi senyum merekah di bibir Calya. Ia membenarkan ucapan sahabatnya. Dibandingkan dengan kehidupan  Nata, hidupnya jauh lebih beruntung.

Nata adalah teman sebangku Calya waktu SMP. Mereka bertemu lagi secara tidak sengaja  ketika sama-sama ke sekolah untuk memgambil ijazah. Orangtuanya mempunyai hutang kepada rentenir yang mengharuskan mereka menjual rumah dan kembali ke kampung halaman ibunya di pulau seberang. Beruntung Nata mendapatkan pekerjaan atas bantuan Angga sehingga ia tidak perlu ikut meninggalkan kota ini, kota kelahiran dan juga penuh sejuta kenangan.

"Jadi usaha lo nggak berhasil?" tanya Nata memperjelas.

Calya menggeleng untuk kedua kalinya.

"Ini sih saran gue, Cal. Kalo memang Gama udah siap dan ngajakin lo serius, mending terima aja. Almarhum papa lo akan lebih sedih kalo ngeliat putrinya nggak nikah hanya karena sebuah janji."

Calya tidak menyahut, ia belum bisa mendinginkan kepalanya dari pertengkaran dengan mamanya.

***
Beberapa tahun yang lalu

Salsa terjaga dari tidurnya ketika merasakan kering di tenggorokan, melirik jam di nakasnya baru pukul duabelas malam. Ternyata gue ketiduran, kayaknya udah lama banget tidur baru jam segini.

Gelas di meja samping ranjangnya belum terisi, karena semalam ia ketiduran sebelum mempersiapkan minum dan rutinitas malamnya. Salsa membuka selimut yang menutupi sebagian kakinya, kemudian menarik celana menutupi lutut dan berjalan ke lantai bawah menuju dapur.

Setelah menghabiskan air setengah gelas dan berniat memenuhinya untuk dibawa ke kamar, ia merasakan ada lengan yang melingkari pinggangnya dari belakang dan benda tumpul yang berada di pundaknya.

Seketika Salsa kaget, tubuhnya menegang. Ini pertama kalinya ia disentuh oleh lawan jenis hingga tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang berada di meja.

"Siapa kamu? Lepasin! Minggir!"

"Sst! Diam, Sayang. Jangan berisik nanti anak kamu bangun."

Aroma alkohol menyengat bersamaan dengan pria itu bersuara.

Pria itu membalikkan tubuh Salsa hingga kini mereka berhadapan. Salsa melebarkan matanya, panik dan juga bingung.

"TOLONG! TOLONG! MAMA! MAS ANGGA!" teriak Salsa meronta melepaskan diri karena pria itu mulai mendekatkan tubuhnya.

Sekuat tenaga Salsa memberontak, gelas berisi air yang berada di tangan kanannya ia siramkan ke wajah pria berkumis lebat, membuat pria tersebut melepaskan lengannya dan mengusap wajah dengan kedua tangan.

Sebuah kesempatan yang tidak disia-siakan oleh Salsa, ia sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari namun pria itu lagi-lagi berhasil menangkap pergelangan Salsa dan kembali menarik ke pelukannya.

"Tolong lepasin saya, Om. Saya enggak tahu apa-apa dan saya juga nggak kenal Om," pinta Salsa lagi.
Percuma saja ia melawan karena pria ini sangat kuat dibandingkan dengan dirinya. Pria itu kembali mendekatkan wajahnya dan jarak wajah mereka tinggal beberapa inci. Salsa hanya bisa pasrah, tubuhnya tidak bisa bergerak. Airmata semakin deras melintasi pipi, ia hanya bisa menahan nafas dan memejamkan mata berharap kejadian ini adalah bunga tidurnya.

Bersambung ...

Calon Papa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang