•1•

248 23 14
                                    

Bagaimanakah cara untuk menjelaskan kehidupan di kota ini? Lalu ... ketika kujelaskan, akankah kau memilih pijakanmu tanpa kebingungan? Akankah kau tetap tinggal atau pergi?

Biar kukatakan, sesungguhnya, tak ada yang istimewa di dalam kota ini.

Warna kebiruan dengan gumpalan awan putih terhampar di langit. Pada celah keduanya, mentari mencoba menyusup, memancarkan sinar dan kehangatannya yang cerah.

Aroma manis dari roti dan kue kering yang terpanggang sempurna pada oven, menguar dari toko-toko yang berjejer. Suara desing biji kopi yang digiling halus disertai uap air panas yang membumbung, silih berganti menyatakan eksistensinya untuk  cangkir-cangkir berukir anggun yang siap ditempati mereka.

Botol-botol wine kualitas terbaik dibawa dari penyimpanan menahunnya, untuk disajikan segera bagi bibir yang ingin mencecap. Restoran-restoran mempersiapkan menu yang dibuat oleh koki-koki mereka dengan sajian bumbu pekat nan menggoda lidah.

Di sepanjang jalan di pusat kota, semarak iringan mewarnai jalanan yang bertanah subur ditumbuhi rerumputan hijau. Pria, wanita, anak-anak dan orang tua berjalan dengan senyuman, tawa, dan canda.

Suara alat musik menggema dan beralun merdu pada celah-celah rombongan iringan itu, seakan tak memberi jeda bahkan untuk terdiam, termenung maupun mengorek sejenak ingatan buruk pada masing-masing dari mereka.

Tidak-tidak, seharusnya memang tak ada ingatan buruk yang bisa mereka putar di dalam memori mereka’kan? Kota ini begitu indah. Keinginan mereka dapat terpenuhi di sini. Kehidupan mereka seharusnya dapat disetarakan dengan kata bahagia yang sesungguhnya. Bukankah begitu?

Menyusuri sepanjang beberapa meter barisan penduduk yang bersuka cita, pada iringan terdepan, dua orang tengah menunggang kuda dengan kecepatan pelan.

“Lilac,” Panggil sang pria, salah satu tangannya menggapai jemari sang wanita yang dilingkari cincin. “Pestanya sangat meriah’kan? Apa kau suka?”

Sang lawan bicara hanya tersenyum tipis sebagai jawaban. Helai rambut pirang terurai dalam balutan rangkaian bunga pada puncak kepalanya itu dihembuskan pelan oleh angin sejuk perbukitan dan ia kembali memfokuskan diri pada iringan dan tali kekang kudanya. Sedangkan pria  di sampingnya juga telah mengalihkan pandangan dan masih tak lelah beradu pandang dengan iringan di belakang, di samping dan di depannya. Orang-orang tersenyum ke arahnya, melempar berbagai jenis bunga sebagai ucapan selamat dan merapal sepatah dua patah kata.

“Tersenyumlah!”

“Berbahagialah!”

Samar, sayup-sayup itulah yang paling sering didengarnya.

Hingga sampai pada sebuah gerbang, iringan yang mengikutinya di belakang berhenti di sana. Para penduduk kota melanjutkan sorak-sorai sambil menatap mereka memasuki kastel dengan pintu gerbang yang perlahan-lahan kembali ditutup sesaat setelah kedua insan itu telah memasuki bangunan.

Tae menuntun Lilac turun dari kuda hitam yang baru saja menjadi tunggangannya.

“Kau akan segera terbiasa dengan kota ini.” Ucap pria itu dengan sudut bibir membentuk senyum. Ia melanjutkan, “Kotaku yang indah.”

Kini mereka memasuki bangunan besar itu, perlahan menginjakkan kaki mereka pada lantai marmer. Netra kebiruan Lilac mengamati setiap ornamen-ornamen berharga berhiaskan emas, berlian dan emerald  pada lorong dan tangga kastel di sepanjang perjalanan mereka menuju balkon, seakan merekam setiap detik perjalanan mereka disana.

Pemandangan perbukitan luas membentang, lembah, dan festival yang berlangsung di tengah kota tersaji ketika mereka mencapai balkon.

“Bagaimana menurutmu tentang kota ini?” Rambut hitam pria itu sempat bergerak tertiup angin sebelum kembali membingkai rapi wajahnya yang tak dapat menyembunyikan raut bahagia.

“Tentu saja terlalu berharga untuk dilupakan.” Lilac mengambil langkah mendekat dan menyandarkan kepalanya pada pundak Tae. “Rasanya orang-orang tak akan mau, bahkan tak mampu untuk meninggalkan tempat ini.”

“Memang tak ada yang pergi meninggalkan tempat ini.”

“Benarkah? Tapi ...” Lilac menegakkan lehernya, ia menatap lurus sang lawan bicara. “Bukankah ada stasiun kereta api di sini? Tadi, kurasa aku melihatnya.”

Tae sempat terdiam, meski sesaat kemudian ia menjawab sambil menggapai kedua tangan Lilac dan menatap lurus kedua netra wanita itu. “Stasiun itu memang ada. Kereta di sana itu memang dapat mengantarkan seseorang. Tetapi, tidak untuk meninggalkan tempat ini. Tidak ...”

Tae menggapai pipi Lilac dan melanjutkan tipis, “Untuk apa mencari sebuah cahaya penerang lain ketika kau telah berada di tempat terang-benderang? Untuk apa kau mencari kebahagian ketika kau sudah menemukannya?”

“Benarkah itu?” Lilac mengecup bibir sang pria. Ia melanjutkan pelan, “Apakah penduduk di kota ini benar-benar bahagia? Apa kau ... bahagia?” [¤]









A/N: Hello readers🎆🌫

Ini pertama kalinya aku buat cerita bergenre fantasi dan sedikit bumbu filosofi. Cerita ini sebenarnya hanyalah pemikiran dan perasaan yang ingin aku utarakan setelah membaca buku The Ones Who Walk Away From Omelas karya luarbiasa dari Ursula K. Le Guin. Beberapa kejadian atau setting mungkin mirip dengan cerita aslinya, beberapa juga mirip dengan adegan di MV BTS - Spring Day, tidak ada maksud untuk meniru, hanya saja beberapa adegan aku ambil untuk membantuku mengekspresikan perasaan dan pemikiranku di cerita ini.
This story has less than 10 parts and it absolutely has different vibe from all of  my previous stories hehe, so I hope you still be able to enjoy it🖤

 This story has less than 10 parts and it absolutely has different vibe from all of  my previous stories hehe, so I hope you still be able to enjoy it🖤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Uhtceare || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang