•4•

123 17 13
                                    

“Kereta, salju ... dingin,” Rancauannya lolos begitu saja dari belah bibirnya yang bergetar.

Tak seharusnya ia memeluk begitu saja salju musim dingin di stasiun kereta, saat kota ini menyajikan musim semi sepanjang tahun untuknya.

Langkah pria itu bergerak tak pasti. Ia berpegangan pada dinding kastel untuk menuntunnya berjalan. Hingga kemudian ketika ia hampir mencapai pintu masuk sebuah ruangan, kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tae ambruk pada lantai marmer.

Sesaat ia merasa berada dalam kegelapan yang pekat. Ia tak dapat merasakan apapun, sebelum derap langkah mendekat ke arahnya. Sapuan ujung gaun putih samar-samar dapat dilihatnya dari pandangannya yang mengabur.

Lilac bersimpuh dan menyangga kepalanya.

Tae melingkarkan tangannya pada pinggang Lilac, sedangkan tangan lainnya mencoba menggapai wajah sang wanita. Tae berbisik tipis, “Aku tak bisa meninggalkan kota ini.”


•¤•


Lilac duduk di sisi ranjang, mengusap pelan puncak kepala Tae yang tengah memejam. Tangannya yang lain menggenggam erat jemari pria itu.

Sesaat berlalu dalam keheningan, kelopak mata sang pria perlahan-lahan terbuka.

“Lilac,” Bisiknya tipis.

“Aku di sini,” Wanita bersurai pirang itu bergerak mendekat.

“Jangan pergi dari kota ini, jangan menjauhiku.” Tae susah payah berusaha menegakkan punggungnya dan segera menarik Lilac dalam dekapannya.

“Aku tidak pernah pergi dari sisimu.” Lilac memejam, ketika Tae benar-benar menenggelamkan kepalanya pada ceruk lehernya, sekilas meninggalkan ciuman singkat di sana.

Tae menatap nanar ke arah netra kebiruan Lilac. “Aku berharap kau bisa selalu bersamaku.”

Wanita itu menghembuskan napas tipis. “Semua pilihan itu ada di tanganmu, Tae. Kau bisa menentukan, apakah tempatku memang berada di sisimu atau tidak.” Lilac mengangkat ujung gaunnya dan beranjak dari ranjang. Ia berbisik tipis, sebelum benar-benar meninggalkan Tae di dalam kamarnya, “Istirahatlah, dan pikirkan apa kau perlu membagikan sesuatu kepada kepadaku atau tidak.”

Sapuan gaun putihnya pada lantai kini semakin giat, kala ia berjalan cepat di lorong, sepeninggal ucapan singkatnya untuk Tae sebelum pergi.

Kedua tangannya serasa kaku, saat merapat ke tubuhnya ketika berjalan. Ia merasa tak tenang, saat jemari tangannya merasakan dinginnya logam sebuah kunci yang tengah digenggamnya.


•¤•


Rahasia itu kali ini harus terungkap.

Lilac memandang dengan teliti setiap inci dinding kamar yang luas itu. Beberapa saat yang lalu, dirinya baru saja menyelinap dan menemukan kunci di bawah ranjang yang tersimpan begitu rapi. Lalu kali ini, untuk kedua kalinya, ia masuk ke dalam ruangan Tae untuk mencari kebenaran itu, apapun bentuknya.

Namun, dirinya tak dapat menemukan celah yang dapat ia gali. Kunci  di tangannya ini—apakah yang sesungguhnya disimpan kunci ini? Dimanakah itu tersembunyi?

Lilac nyaris menyerah. Ia tak dapat menemukan apapun, sebelum atensinya terpaku pada potret lukisan sang pria dengan latar suka cita penduduk kota. Dibawah lukisan itu, terdapat rak kayu berhias ukiran-ukiran dibalut emas.

Netra Lilac memicing. Ia perlahan memegang rak tersebut dan mendorongnya ke arah samping, hingga menimbulkan suara derit pilu.

Tak disangka, pada dinding berornamen itu, terdapat sebuah pintu kecil yang awalnya tersembunyi di belakang rak.

Lilac merapatkan kedua belah bibirnya, ragu-ragu memegang kenop pintu di depannya. Didetik jemarinya menyentuh pintu itu, embusan angin dingin seakan menyerbu ruangan. Sorak-sorai meriah festival perlahan tak terdengar sekeras biasanya. Aroma manis bunga musim semi tergantikan udara pengap yang dipenuhi oleh partikel kecil tanah kering yang beterbangan terbawa angin.

Ia merasa tak nyaman. Dadanya tanpa sebab jelas serasa dirayapi sesak. Tapi, berusaha tak meragu, Lilac membuka pintu itu hingga memperlihatkan lorong panjang lembab, dengan lumut hijau yang menempel pada beberapa sisi dindingnya dan suara pekikan seseorang yang terdengar melengking. [¤]

Uhtceare || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang