Dalam antrian, tangan kami masih saling bertaut, pun dua duanya. Kami berdiri berhadapan dengan aku bersandar pada pagar pemisah antrian. Mengusap lembut masing-masing tangannya dengan ibu jariku. Nggak tau apa motivasinya, suka aja. Mungkin, seperti ini rasanya punya pasangan lagi akhirnya. Nantinya.Satu per satu teman telah menikah. Satu per satu mantan pun telah menyebar undangan. Circleku pun dipenuhi lajang menjelang dan lewat 30 yang diam-diam punya strateginya sendiri untuk mencari jodoh.
Sedang aku, dengan segala naifku, masih bersikeras alangkah baiknya aku dan sang jodoh bertemu karena takdir. Tapi kapan dan dimana aku tidak tau, dan cenderung tidak ada usaha.
Kapan lagi aku bisa mengenggam tangan seseorang dan mengusapnya. Kapan lagi bisa seharian berdeep talk membicarakan masa depan.
Dan menggenggam tangannya saat ini. It's not bad at all.
"Saudara kamu ada berapa?"
"Satu, cowok, gue anak pertama. Lo?"
"Anak pertama juga. Adek gue tiga, cewek semua. Adik pertama udah kerja di kota ini juga, adik kedua kuliah di luar kota, adik ketiga, masih sekolah dan tinggal sama ibu bapak."
"Bapak masih kerja?"
"Masih, bokap petani. Masih ke kebun, masih macul-macul."
"Wah, lo pasti anak daerah yang diem-diem punya kebun berhektar-hektar."
"Nggak segede keluarga Sadam di petualangan Sherina, tapi cukup."
"Kata-kata cukup biasanya justru diucapin sama old money sih. Kalau kata Nick Young, he's comfortable."
"Tapi comfortable ku nggak sampai punya jet pribadi, naik kelas bisnis. Aku dulu juga mikir uang menghapus seenggaknya 50 persen problem hidup, tapi coba ngobrol sama tukang parkir, abang gorengan, OB, kenyamanan nggak cuma tentang yang bisa dibeli dengan uang."
"Mungkin mereka emang udah kebiasa dengan kondisinya jadi mau nggak mau jadi nyaman. Bukannya kita harus bergerak keluar dari zona nyaman yah biar naik ke atas."
"Kadang naik ke atas kan gak secepet itu. Kadang malah stuck lama di bawah."
"Mungkin emang kita harus berhenti di bawah lebih lama untuk menunggu orang lain masuk ke hidup kita, baru naik ke atas, kaya bianglala."
Dia cuma mengacak-acak rambutku. Template softboy itu memang selalu begini yah, tau hal-hal yang bisa mengacak-acak hati orang.
Kami sampai pada antrian terakir saat kereta bianglala kosong turun menghampiri kami. Satu kereta diatur berisi empat orang dewasa, atau lima orang untuk anak-anak. Beruntung, kami bersama pasangan muda lain, sehingga hanya perlu berempat dalam satu kereta. Mereka pun tampaknya sibuk sendiri untuk berwefie memamerkan kemesraannya.
Untuk menghindari atmosfer awkward, aku memilih memandangi wahana-wahana lain yang mulai terlihat puncaknya. Wahana pengulang alik tubuh manusia masih aktif beraksi, aku bergidik membayangkan apa rasanya kaki di kepala, kepala di kaki seperti itu.
Beralih ke pemandangan pantai dan pesisir yang mulai terlihat. Laut yang tenang, kelap kelip lampu dari kapal, lalu lintas, juga bangunan sekitar adalah harmoni indah jika dilihat dari ketinggian, padahal aslinya semrawut.
Sama seperti pernikahan nggak sih? Kelihatannya indah, dari pesta di ballroom hotel, dekorasi mewah, make up cantik dari MUA ternama, belum gaun-gaun indah yang mereka pakai. Postingan teman-temanku yang berisi seputar kehidupan bahagianya, membuat bekal untuk suami, tingkah anaknya yang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYDATE [Short Story - 1]
Romance"It takes a date to know why should I marry you." Never in a million times, I would ever date the guy my friend recommend me. Pertama, akan ada perasaan aneh serta sungkan apabila si pria ini tidak memenuhi ekspektasiku. Kedua, akan ada rasa bersal...