Kami terlalu lelah untuk mengantri wahana lain. Wahana terakhir yang kami naiki berhasil membuat ia kebasahan sekujur tubuhnya. Padahal kami bisa saja sama-sama basah yang tidak seberapa, dianya saja yang sok melindungi ku dari basah dengan memilih kursi terdepan di detik terakhir, padahal aku tidak setakut itu dengan wahana tadi.
Akupun kehabisan ide pilihan wahana. Satu-satunya di pikiranku adalah bianglala, yang sayangnya masih ditutup untuk rehat sebentar di sore hari. Padahal goalsku hari ini adalah menatap senja dari atas bianglala, biar terlihat semcam kencan sedikitlah.
"Cita-cita kamu apa?"
Ketika aku terduduk bengong di kursi taman sambil menatap langit menjelang oranye aku kembali terbengong karena pertanyaannya.
Sudah lama tidak ada yang bertanya tentang cita-cita, bahkan aku sempat lupa. "Sekolah, resign, ngajar. Tapi yg terdekat, mungkin nikah."
"Kenapa mungkin?"
"Karena nikah bukan cita-cita. Tapi karena sekeliling yang mulai berisik, gue jadiin resolusi tahun ini, mungkin."
Sebagai perempuan di usia menjelang tiga puluh, sungguh tidak ada resolusi yang lebih mendesak dibanding menikah. Mau tidak mau.
"Lo?"
"Jadi presiden."
"Hishhh."
"Kamu ga percaya aku bisa jadi presiden. Kamu mesti siap-siap jadi ibu negara loh."
"Lo gabisa diajak deeptalk yah."
"Kamu yang ngga bisa diajak becanda, Dii."
"Aku pengen buka perusahaan, dan sama, nikah juga," lanjutnya.
"Kenapa? Bukannya cowok itu santai ya untuk urusan nikah, I mean lo masih muda kali untuk ukuran cowok telat nikah," Ia seumuran denganku, dan menurutku pria matang yg sudah diburu menikah biasanya umur kisaran 30an. Umur segini bukankah ia sedang asyik-asyiknya berkarir, main-main dengan perempuan.
"Ortu ku udah bertitah. Dan adek udah punya calon."
"Kenapa adek lo ga duluan aja, bukannya mitos dilangkahi ga berlaku untuk cowo?"
"Ortu masih optimis aku bisa duluan."
"Terus? Masih belum nemu yang cocok? Emang ngga punya mantan-mantan yang bisa dikontak lagi."
"Adasih."
"Tapi?"
"Ya temenan aja, emang kalo mantan gabisa temenan?"
"Bullshit. Terus dia udah punya pacar?"
Ia menggeleng. Terakhir kudengar, si mantan masih ragu padanya. Lha kalau mantannya saja ragu, apalagi aku yang stranger.
"Kenapa putus?"
"Biasalah. Ribet."
"Di?"
"Di... prioritas. Dia masih mau mengabdi di daerahnya, sedangkan kerjaan aku disini belum biaa ditinggal sampai beberapa tahun ke depan."
"Terus udah coba diobrolin lagi?"
"Kalo aku ngobrol sama dia, ya aku ngga ngobrol sama kamu gini dong, Dii."
Ia memanggil namaku dengan suku kata terakhir lagi. By the way, namaku Nindi, lengkapnya Nindiya Lintangsari Sukma Wijaya dan orang umumnya lebih suka memanggil dengan potongan suku kata depan Nin, atau diulang dua kali nin nin, atau berkali kali nin nin nin nin. Terserah. Asal jangan nen. Haduh.
Sedangkan ia, Abrian Kanda Siregar, dengan nama belakang sebuah suku dari sebelah utara pulau seberang. Nama tengahnya yang terdengar tidak umum digunakan oleh warga sedaerahnya didapat dari serial laga Indonesia karena konon ayahnya belum mempersiapkan nama pria untuknya, sampai ia lahir dan menangis tadinya ia dikira bayi wanita dengan nama yang disiapkan sebagai Abrianna.
Abri, Bian, Ian, Abang, Kakanda, panggilannya yang kudapat dari iseng mengecek nomornya pada aplikasi pencari nama kontak. Asal jangan panggil dia Abi, nanti pasti dibalasnya dengan manggil kamu Umi. Apalagi Kanda.
"Kalo kamu gimana sama mantanmu?"
"Pacaran lama dari kuliah, terus putus. Pacaran lagi pas fresh grad sampe terakhir 3 tahun lalu putus. Itu ajasih yang berkesan, sisanya di masa sekolah ya cuma cinta-cinta monyet aja."
"Itu kamu block semua?"
"Mereka berdua? Yes. Yang pertama masih pengen balikan dan ngajak serius sampe beberapa tahun yang lalu, dengan cara yang menurut gue freak. Yang kedua, justru kabur ketika ditanya kapan serius."
Dia cuma diam. Mata itu. Lagi-lagi menatap ala quotes "if you find the guy looking you like this, marry him ".
Menyebalkan.
"Jangan tanya kenapa gue gak milih mantan yang pertama. Well, dia gak se freak itu, dia baik, bahkan family man banget. But somehow, he just, dont know what to prioritize aside from family. Cowok tuh gaboleh gitu, menurutku."
Eh, tangannya kok menuju puncak kepalaku. Mengacaknya perlahan. As. Ta. Ga.
"Kok lucu sih kepala kamu. Dimana-mana Di, cewek cari yang sayang dia dan keluarganya, bukan yang ambi berkarir terus cuekin dia."
"Terus anak anak aku disekolahin dimana? Sekolah cinta? Dikasih makan cinta?"
"Kamu nggak takut ngomongin gini ke date kamu? Kalo dia kabur gara-gara ngira kamu matre gimana?"
"As simple as he doesn't deserve me."
"Di umur segini, apalagi buat gue yang cewe. Gue pengen tau apa aspek-aspek yang cocok dan ga cocok dari awal ketemu, biar ga buang waktu dan buang perasaan. Bahkan harusnya kita nih masing-masing bawa CV dan laporan keuangan," tambahku.
Halah. Gayamu nduk, nduk.
"Laporan keuangan banget?"
"Sounds matre ya? But most problems come from financial matters."
"Memang ga butuh membangun perasaan?"
"We are in the age when romance is not the first priority in our life. Semua terkalahkan oleh kompromi. Seberapa besar lo mampu berkompromi dengan seseorang dan aspek dalam hidupnya."
"Di," Ia memanggil, kali ini pandangannya beralih ke wahana yang membolak balikkan manusia kemudian memutarnya bak kincir angin di hadapan kami. Kok bisa yah orang-orang melepas stress dengan nyiksa tubuh seperti itu. Matahari sudah hilang sepenuhnya. Pandangannya agak kosong. Agak-agak takut dia kesambet sih kalau bengong gitu.
"Menurutmu menikah itu harus gimana?"
"Apanya? Pestanya atau pernikahannya? Kalau pernikahannya gue juga masih belum tau, bisa aja yang gue omongin malah nantinya ngga gue lakuin, bisa aja idealisme gue malah salah. Kalau pestanya, ortu udah menyerahkan ke gue sih gimananya, gue nikah aja udah happy kayaknya. Hopeles yah?"
Aku jadi ingat alasan si Wulan mengenalkan kami, katanya kami sama-sama hopeless.
"Sama kali."
"Masak? Gue gapernah percaya kalau Wulan bilang lo hopeless. Secara matematis, jumlah cewek jauh lebih banyak dari cowo, so youre not that hopeless."
"Aku nikah sama kamu aja kali yah Di?"
"Terus lo mau bawa gue ke dalam dunia hopeless lo? Nggak mau."
Dia terbahak. "Nindi. Nindi."
Bisa-bisanya bercanda untuk urusan serius seperti ini.
Tangannya turun meraih tanganku. "Ngantri bianglala yuk."
*
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYDATE [Short Story - 1]
Romans"It takes a date to know why should I marry you." Never in a million times, I would ever date the guy my friend recommend me. Pertama, akan ada perasaan aneh serta sungkan apabila si pria ini tidak memenuhi ekspektasiku. Kedua, akan ada rasa bersal...