0.5

197 20 9
                                    


Niki

Di dunia ini, Niki paling benci diabaikan.
Ia tidak suka atensinya tidak dianggap, hal terakhir yang paling dia inginkan hanyalah menjadi tidak terlihat. Apalagi di saat ia sudah menyisihkan usahanya untuk diperhatikan, tidak dipedulikan sangat menyakiti harga dirinya yang setinggi langit.

Tapi belasan tahun ia hidup membuatnya terbiasa dengan perasaan terabaikan.

Ribuan pertanyaan sudah ia lepaskan tanpa membawa kembali jawaban, mengendap hingga membentuk tumpukan tanda tanya yang mengganjal. Berkali-kali pula ia pulang ke rumah sambil menaruh harapan agar rumahnya menjadi lebih terang saat ia sampai di depan pintu, ada orang dewasa yang mau menyambut dan mendengar ceritanya tentang apa saja yang ia lakukan dari pagi, bukannya asisten rumah tangga yang menawarinya makan.

Bukan berarti ia terbiasa untuk akhirnya menerima perasaan itu, dan berdamai dengan rasa diabaikan. Ia hanya terbiasa menjaga benci dan kecewanya terus tumbuh dan dipupuk dengan baik, menunggu entah sampai kapan perasaan itu akan terus bertambah besar hingga kelak menghancurkan tubuhnya menjadi kepingan-kepingan kecil. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana anak setengil dan secerah Niki memelihara kebencian yang gelap di dalam dirinya, bahkan ayah dan saudara kembarnya pun, Niki sangsi kalau mereka mengerti.

Tentu saja, ia tidak pernah membenci ayah dan saudara kembarnya.

Bagaimana ia bisa tega membenci ayahnya yang sudah mengorbankan hampir seluruh waktunya demi menghidupi anak-anaknya sendirian? Anak kembar yang selalu menunggunya di rumah, untuk kemudian menyambutnya yang pulang sembari membawa oleh-oleh berupa wajah dan senyum lelah? Niki rasa, ia dan Taki tidak akan pernah bisa membantu mengangkat beban ayahnya barang sejenak. Yang mereka bisa hanya mengerti dan berusaha agar tidak menambah pikiran ayahnya yang sudah penuh itu dengan rengekan untuk liburan keluarga atau sekadar dibacakan cerita dongeng sebelum tidur. Niki jadi ingat, sudah lama sekali sejak kali terakhir ia meminta diceritakan dongeng si Kancil sebagai pengantar tidurnya. Kala itu ayahnya baru pulang dan Niki masih terlalu kecil untuk mengerti rasa lelah ayahnya. Bukannya menolak, ayahnya lebih memilih tersenyum dan menggiring anak-anaknya menuju kamar tidur, dengan buku cerita di tangan dan dasi yang masih mengikat longgar kerah bajunya.

Bagaimana juga ia bisa membenci adik kembarnya yang sudah ikut menemaninya selama ini dalam kesepian? Walaupun kebencian yang ada di dalam dirinya tidak jarang seperti akan menyambar Taki juga untuk tenggelam di dalamnya. Niki hanya berharap ia terus punya kuasa atas dirinya untuk tidak membiarkan itu terjadi. Untuk Taki yang mendapat atensi semua orang, Taki yang selalu diingatkan ini itu, Taki yang dilindungi semua orang termasuk dirinya bahkan Taki yang kerap mendapat pelukan hangat dan tatapan khawatir ayahnya. Segala atensi yang Niki impikan, Taki punya semuanya. Tapi Niki merasa akan sangat berdosa kalau sampai ia membenci adiknya.

Kenyataannya, Niki tidak mengerti apa sebenarnya yang ia benci selama ini. Mungkin Ibunya? Entahlah, sudah lama sekali sejak Niki mengenang wajah Ibunya. Mungkin ingatannya sudah agak pudar dan yang ia ingat kemungkinan hanya siluet dan bentuk wajahnya secara garis besar saja. Bahkan ia tidak pernah tahu alasan Ibunya pergi malam itu. Bertanya kepada ayah juga sia-sia karena ayahnya selalu punya cara untuk membiarkan pertanyaan tentang ibunya menggantung tanpa jawaban. Ayahnya selalu menghindar, mengalihkan pembicaraan atau kadang malah jadi melamun dan tidak fokus. Niki tidak pernah paham dan memutuskan untuk tidak pernah bertanya lagi setelahnya, berusaha terbiasa ketika pertanyaannya terabaikan.
































































































Taki

Taki tidak suka tertinggal di belakang.

Ia tidak ingat sudah sejak kapan dunia mulai berjalan meninggalkannya. Saat ia tersadar, semua orang sudah berlangkah-langkah jauh di depannya. Mungkin bagi orang lain Taki terlalu berlebihan, tapi setidaknya memang itulah yang ia rasakan setiap hari.

Mungkin saja ia memang sudah ada beberapa meter di belakang sejak ia lahir, terbukti dari kakaknya, Niki, yang lahir beberapa menit lebih awal darinya. Atau mungkin sejak ibunya menghilang di suatu malam, Taki mulai terbiasa berjalan di tempat dan sibuk menoleh ke belakang. Taki tidak pernah tahu.

Ialah beban semua orang dan batu penghambat perjalanan orang-orang yang ia sayangi. Mereka sudah di depan tapi harus berkali-kali berhenti untuk sekadar menunggunya.

Taki benci menjadi menyusahkan.

Sejak masuk sekolah dasar, atau mungkin setelah ibunya pergi, Taki mulai sakit-sakitan. Kegiatan olahraga biasa di sekolah bisa membuatnya capek setengah mati. Ia ingat ayahnya sering sekali menuliskan surat izin sakit yang dititipkan pada kakaknya untuk kemudian di antarkan ke sekolah. Daftar hadirnya selalu sesak dipenuhi huruf S. Dari yang ia dengar, ia memiliki daya tahan tubuh yang rendah.

Saat Niki sedang bermain bola di lapangan dengan teman-temannya ia harus rela menerima perannya sebagai penonton. Saat Niki menjadi primadona anak-anak kompleks perumahannya karena memenangkan hampir semua permainan yang mereka lakukan, Taki harus berpuas diri menjadi anak bawang. Taki tidak mengerti kenapa semua anak selalu iri karena dia bebas dari tugas jaga saat petak umpet sementara dia luar biasa benci dengan peran tak bergunanya.

Semua ketertinggalan ini hanya menambah kerutan di dahi ayahnya, yang harusnya sudah lelah karena bekerja seharian tapi masih harus susah-susah mengkhawatirkannya. Setiap ada kunjungan wisata dari sekolah dasar, ayahnya bahkan bisa sampai meliburkan diri hanya untuk ikut mengawasinya, yang itu artinya menambah tinggi tumpukan pekerjaan ayahnya di hari setelahnya. Begitu juga saat ia jatuh sakit. Seolah-olah ayahnya akan menjatuhkan apa saja yang ia genggam untuk berlari menghampirinya.
Atau di saat pekerjaan ayahnya benar-benar tidak bisa ditinggal, ayahnya akan berbicara panjang lebar mengingatkannya ini itu atau berkali-kali menegaskan kepada Niki untuk menjaga dan merawatnya. Padahal Taki tahu, tanpa diingatkan berkali-kali pun, ia percaya Niki pasti akan menjaganya. Toh, Taki bukan cacat. Ia masih bisa berjalan dan melakukan segalanya sendiri.

Ia ingat waktu itu ia pernah memaksakan diri untuk ikut lari mengelilingi lapangan sama banyaknya dengan teman-temannya yang lain. Dan yang terjadi setelahnya sudah bisa ditebak. Taki kelelahan dan jatuh sakit malamnya. Ayahnya khawatir sekali dan tampak sedih dan marah, tapi entah marah dengan siapa. Mungkin marah kepadanya karena tidak menurut, tapi ayah tidak sampai hati? Atau marah karena ia pikir Niki tidak menjaganya? Setiap ayahnya meninggalkan kamarnya setelah merawatnya saat ia sakit, Taki berdoa dalam hati agar di luar kamarnya, ayah tidak memarahi kakaknya.

Jujur, Taki iri sekali melihat Niki bebas keluar rumah sendiri tanpa membuat ayahnya khawatir. Niki bebas keluar naik sepeda kemanapun, naik angkutan umum, main di warnet, ikut ekstrakurikuler di sekolah, tanpa harus berusaha meyakinkan ayahnya untuk mengizinkan. Kemanapun Taki pergi, ayahnya tegas mengharuskan Niki ikut, hingga di sepanjang belasan tahun hidupnya ia selalu berjalan di balik ayah atau kakaknya. Tidak pernah satu hari saja dalam hidupnya ia bisa berlari bebas tanpa dihalangi oleh punggung siapa pun.















































26 Agustus 2020

kintsugiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang