Nonton Bola

6.9K 437 21
                                    

***
"Tuan boleh aku pinjam ponselmu?" pinta Aruna ragu-ragu.

"Untuk apa?" Nada suara Ravin biasa saja. Itu bagus menurut Aruna.

"Mau menghubungi orang tuaku," jawab Aruna. Ia belum pernah menghubungi mereka lagi setelah akad.

"Bukannya mereka tidak punya ponsel. Bagaimana cara menghubungi mereka?"

"Melalui temanku, seperti hari itu." Ravin meraih ponselnya di atas nakas, membuka kunci dengan sidik jari, lalu ia berikan pada istrinya.

Aruna turun ke ruang tengah agar tidak mengganggu Ravin yang sedang menonton televisi.

Dua kali men-dial baru diangkat. Suara Santi langsung memecah gendang telinga, mereka saling bertukar kabar, bercerita keadaan masing-masing. Kemudian barulah Aruna meminta temannya itu pergi ke rumah agar ia bisa berbicara dengan orang tuanya, jarak rumah mereka hanya terpisah empat rumah.

Akhirnya Aruna bisa mendengar suara keluarganya lagi. Kerinduan sedikit terobati, air mata mengiringi pembicaraan mereka. Ayahnya sudah dibebaskan dari penjara.

Hingga hampir satu jam, Aruna menutup sambungan telepon sambil berdoa semoga saja Ravin tidak marah. Karena ia terlalu lama menggunakan ponselnya.

Pelan-pelan Aruna membuka pintu kamar, takut mengganggu Ravin yang ternyata masih menonton televisi.

"Kenapa lama sekali?" sergah lelaki itu.

"Maaf aku kebablasan bercerita dengan temanku juga," jawab Aruna seraya tersenyum. Naik ke tempat tidur.

"Berapa banyak pulsa yang kau habiskan? Kau harus membayarnya."

"Hah? Aku tidak punya uang."

"Siapa suruh pakai uang? Kau bayar pakai ...."

Mata Ravin menjelajah, lalu mencondongkan badan. Aruna mundur sampai harus memegang baju Ravin agar tidak jatuh dari ranjang. Jarak wajah mereka hanya sejengkal.

"Tu-Tuan, apa Tuan Tahu? Kalau Tuan sangat tampan," puji Aruna.

Sukses juga menghentikan gerakan Ravin, lelaki itu membenahi posisi duduk. Aruna juga, lalu mengambil bantal menaruh di atas pangkuanya.

"Tentu saja, aku sangat tampan. Banyak wanita yang terpikat," ucap Ravin percaya diri seraya mengelus rahangnya sendiri.

Aruna sampai menganga melihat kepercayaan diri suaminya.

"Tapi, sayang ketampanan Tuan tidak bisa memikat bidadari."

"Kenapa tidak?" tanya Ravin tak suka.

"Karena bidadari hanya ada di surga. Sementara Tuan Tidak mau masuk ke sana," ujar Aruna sambil menepuk-nepuk bantal di pangkuan.

"Kapan aku bilang tidak mau masuk surga?" tanya lelaki yang mengaku tampan itu dengan dahi mengernyit.

"Memang, Tuan tidak pernah bilang dengan mulut, tapi tindakan Tuan mengatakan itu. Tuan tidak mau salat, itu artinya tidak mau masuk ke sana. Padahal saya ingin sekali tetap menjadi istri Tuan di surga nanti."

"Heh! Memangnya kau yakin akan masuk surga? Dan jadi bidadari?" sindir Ravin.

"Karena tidak ada jaminan, makanya aku akan berusaha melaksanakan perintah-Nya, agar diizinkan masuk kelak."

Aruna terkejut karena Ravin mendorongnya terlentang.

"Sebelum surga yang itu. Bagaimana kalau surga yang ini dulu."

Aruna merutuk, karena terjebak sendiri. Tadinya Ia bilang begitu supaya suaminya itu terbujuk mau salat. Rencananya gagal lagi.

Ravin menghentikan aksinya saat siaran bola di mulai lagi. Dia kembali duduk, mengamati jalannya pertandingan.

Ranjang MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang