Melamar Sang Tuan

6.8K 352 2
                                    

***
"Tuan!"

Aruna memekik melihat Ravin memegang dada bagian kanan. Ia segera berlari ke walk in closet mengambil handuk kecil kemudian kembali berjongkok di sisinya, menekan luka pakai handuk agar tidak mengeluarkan lebih banyak darah.

"Tuan! Tolong tekan lukamu. Saya harus cari bantuan."

Aruna hendak beranjak, tapi tangan Ravin mengcekal pergelangannya.

"Tuan, saya harus cari bantuan. Tuan harus ke rumah sakit."

Genggaman Ravin mengetat, kepalanya mendongak bersandar ditepian ranjang Merintih kesakitan dengan wajah pucat membuat Aruna semakin panik.

Untungnya Bi Sari datang dengan langkah tergesa. Terkejut melihat banyak darah.

"Bi! Tolong! Cari bantuan," pinta Aruna dengan suara bergetar karena sangat ketakutan. Bagaimana kalau terlambat lalu Ravin meninggal?

Tanpa menjawab, Bi Sari keluar lagi tidak lama kembali dengan seorang laki-laki paruh baya, membantu Aruna memapah Ravin ke mobil.

Laki-laki itu mengemudi, Bi Sari duduk di sampingnya sementara Aruna duduk di kursi penumpang tengah bersama Ravin. Syukurnya jalanan lengang, jadi kendaraan bebas melesat.

Mata Ravin terpejam dan tidak bergerak, Tangan Aruna yang berlumur darah menekan lukanya lebih kuat.

"Tuan! Tuan! Tetaplah sadar!" seru Aruna panik.

"Hmm ...," gumam Ravin.

"Pak, Tolong! lebih cepat!" Suruh Aruna pada laki-laki tersebut. Padahal laju mobil sudah melebihi batas normal.

Ravin terlihat sesak nafas. Aruna menempelkan telinga ke dadanya mendengar denyut jantung yang melemah. Syukur sudah memasuki area rumah sakit.

Petugas kesehatan IGD keluar, menarik brangkar dengan cekatan memindahkan tubuh Ravin yang lemah ke atasnya.

Aruna duduk di ruang tunggu, tubuhnya gemetar ketakutan dengan tangisan belum juga berhenti.

'Ya Allah, selamatkan Tuan Ravin.' Aruna berdoa dalam hati.

Aruna diminta mengisi form pendaftaran pasien, tapi ia bingung harus mengisi apa karena bukan keluarga Ravin, begitu pun dengan Bi Sari.

Bi Sari ingat orang yang sering datang ke rumah sang majikan, pernah memberikan nomor telepon dan menyuruh menghubungi kalau sesuatu terjadi pada Ravin.

Jadi, pembantu yang sudah bekerja pada Ravin sejak dua tahun lalu itu menghubunginya.

Lelaki berambut pirang datang, mengurus administrasi Ravin lalu mengajak Aruna berbicara di luar rumah sakit.

"Katakan! Siapa yang melukai Ravin?" tanyanya dengan nada intimidasi.

Aruna menunduk takut, bagaimana kalau ia menceritakan kejadiannya kemudian ia dijembloskan ke penjara.

"Hei! Jawab!" bentak lelaki bule itu karena kesal melihat Aruna yang diam saja, sambil meremas bajunya yang masih berlumur darah kering.

"Kalau kau tidak menceritakan kejadian sebenarnya, aku akan lapor polisi. Biar pihak berwajib yang menyelidiki," ucap lelaki bertubuh tinggi itu mengancam.

"Tuan jangan! Kumohon!" Aruna mengiba. Buliran bening mengalir membasahi pipinya. Ia kemudian menceritakan peristiwa yang hampir merenggut kehormatannya, yang kemudian berakhir membuat Ravin terluka.

Lelaki bule itu menghela nafas. Ia ingin percaya kalau gadis yang berdiri di hadapannya hampir menjadi korban perkosaan Ravin.

Namun, hal itu sulit karena ia mengenal Ravin selama puluhan tahun dan lelaki itu tidak sembarangan mau menyentuh perempuan.

William memandang wajah Aruna seksama, mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. Ia berpikir, apa mungkin karena kemiripan, Ravin menjadi lupa diri.

"Kau pulang saja dengan Bi Sari!" suruh William. Ia akan melapor ke polisi setelah Ravin sadar, jika lelaki itu menginginkan.

"Tuan, tolong biarkan saya di sini sampai operasi Tuan Ravin selesai," pinta Aruna sambil mengusap air matanya.

William membiarkan Aruna ikut menunggui, hingga tiga jam lamanya. Dokter keluar memberi kabar kalau peluru sudah dikeluarkan, tapi Ravin masih dalam keadaan kritis karena kehilangan banyak darah dan timah panas itu mengenai sedikit paru-parunya.

Lutut Aruna terasa lemas melihat Ravin didorong keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak sadar, banyak alat medis yang tidak ia ketahui namanya menempel pada tubuh lelaki itu.

Aruna terpaksa pulang bersama Bi Sari dan lelaki yang mengemudikan mobil tadi. Sesampainya di rumah ia langsung membersihkan darah yang sudah mengering di lantai kamar Ravin.

Setelah selesai Aruna membersihkan diri kemudian salat malam, berdoa agar masa kritis Ravin segera berlalu.

Merebahkan badan untuk beristirahat sejenak. Banyak hal yang berputar di otak Aruna, takut kalau dirinya dijebloskan ke penjara. Meskipun membela diri tetap saja ia sudah melukai Ravin.

Pergi jauh dari tanah kelahiran, mengikuti orang asing yang setiap saat bisa mengancam kehormatan, sebab dia tinggal di rumahnya.

Ingin rasanya Aruna pergi dari rumah itu. Tapi, apa akan lebih baik? Bagaimana kalau di luar sana keadaannya lebih buruk? Pelan-pelan matanya terpejam karena lelah fisik dan jiwa.

Aruna terbangun menjelang subuh, segera ke kamar mandi mengambil wudu, salat lalu membaca alquran.

***

Sepuluh hari kemudian Ravin ngotot ingin pulang padahal kondisinya belum sembuh benar. Terpaksa pihak rumah sakit menuruti saja.

Sebenarnya Aruna ragu pergi ke kamar Ravin. Tapi, ia kasihan pada Bi Sari kalau harus naik-turun tangga, apalagi tadi mengeluh lututnya sakit.

Jadi, Aruna memberanikan diri, tidak mungkin Ravin macam-macam karena sedang sakit.

Aruna mengetuk pintu kamar Ravin kemudian masuk setelah persilakan. Ravin sedang kesusahan mengganti perban lukanya, ia meletakkan nampan berisi makan malam ke atas nakas.

"Tuan, ini makan malamnya. Tuan harus makan dulu sebelum minum obat."

"Aku tahu, jangan cerewet!" balas Ravin jengkel. Ia melempar kain kasa bekas ke lantai.

"Tuan, biar saya bantu ganti perbannya."

Ravin menyodorkan gulungan kain kasa, itu artinya dia mau dibantu. Dengan cepat Aruna memgambil kemudian duduk di tepi tempat tidur dengan kaki menggantung. Sementara lelaki itu duduk bersila menghadapnya.

Bisa Aruna rasakan, netra Ravin sedang berfokus tajam dan lekat padanya. Dan ia tidak berani membalas tatapan itu, tetap serius memasang perban.

"Tuan, kenapa tidak melaporkan saya ke polisi?" tanya Aruna pelan.

"Kau ingin masuk penjara?"

"Tidak," jawab Aruna cepat. "Terima kasih, karena tidak melaporkan saya."

"Kita impas."

Hening.

"Tuan, sudah dua kali," sahut Aruna lagi. Sekilas menatap Ravin yang menautkan alis.

"Maksudmu?"

"Sudah dua kali Tuan ingin menyentuh saya. Yang pertama, mungkin Tuan tidak ingat karena dalam keadaan mabuk ... kalau memang Tuan menginginkan saya ...." Aruna menjeda, menggigit bibir bawahnya, merasa apa yang ingin dikatakan sedikit tidak tahu malu. "Halalkan saya dulu."

Aruna memberanikan diri mengangkat kepala. Pandangannya beradu dengan sorot mata Ravin, tidak tajam. Seperti ... entahlah, tidak mampu ia baca.

***

Ingat! Vomennya. Biar author tambah semangat.

Ranjang MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang