***
Aruna, gadis berkerudung pendek coklat yang biasanya ceria kini duduk di lantai semen yang sudah mulai rusak, dari mulutnya keluar tangisan pilu, wajah sembab dan mata bengkak karena sudah begitu lama menangis."Ma ... z nda mau menikah sama itu laki-laki," ibanya dengan aksen Sulawesi.
Entah keberapa kali gadis itu memohon, tapi wanita paruh baya yang duduk di kursi plastik usang itu tidak mengucapkan satu kata pun. Ia bahkan ikut menangis pilu karena tidak bisa menolak pinangan dari seseorang terpandang di desanya.
Memiliki banyak utang dan tidak mampu membayar membuat kedua orang tua gadis itu tidak punya pilihan, selain menyetujui pinangan sang pemberi piutang untuk anaknya.
Andai anak pemberi piutang itu baik dan shalih mungkin tak ada masalah, tapi dari fakta yang beredar lelaki yang akan menjadi calon suami gadis itu pemabuk juga berstatus duda dua anak dari dua istri, parahnya kedua istri meminta cerai karena prilaku buruk lelaki itu ketika tengah mabuk istrinya kerap mendapat pukulan.
Waktu bergulir begitu cepat bagi gadis itu hingga hari H pernikahannya dua hari lagi. Hampir tengah malam dan matanya tak bisa terpejam, gelisah serta kalut melanda, tubuhnya yang sedikit kurus akibat jarang makan hanya berguling-guling di tempat tidur.
Ketukan di pintu kamar membuatnya bangun dan membukanya. Ternyata Rusna, ibunya.
"Kenapa Ma?" tanyanya.
Ibunya tidak menjawab, ia masuk ke dalam kamar yang hanya diterangi lampu lima watt, mengeluarkan uang beberapa ratus ribu dan kalung emas dari saku dasternya.
"Ambil ini bekalmu di jalan, siapkan pakaianmu pergi jauh-jauh malam ini."
Mata gadis itu membola, menerima uang dan kalung itu lalu menatap tak percaya pada ibunya. Kalau dia pergi bagaimana nasib keluarganya nanti, rasa malu dan penghinaan akan diterima dari masyarakat.
"Tapi, Ma."
"Jangan mi tapi-tapi." Sedikit tergesa Rusna mengambil tas ransel usang yang tergantung lalu mengeluarkan pakaian gadis itu dari lemari.
"Bapakmu sudah minta tolong sama bapaknya ikki, supaya bisa ki ikut di mobilnya," ucap ibunya lagi sambil memasukkan pakaian Aruna ke dalam tas.
Sementara Aruna masih mematung, bimbang. Kalau pergi hal buruk akan terjadi pada keluarganya, tapi kalau tidak maka hal buruk itu akan terjadi padanya.
"Liat masih adakah yang kurang?" tanya Rusna menunjukkan isi tas.
Aruna melihat isi tasnya lalu mengecek lemarinya, mengambil dalaman dan ia masukkan dalam tas.
"Cepat mi sudah menunggu bapaknya Ikki." Anwar, ayah Aruna berdiri di ambang pintu kamar menyuruh bergegas agar tak terlambat.
Aruna menyandang tas ransel di bahu lalu memeluk Rusna, buliran bening sudah membasahi pipi bersihnya. Pun ibunya tak mampu menahan perasaan sedih karena akan berpisah jauh dari putrinya.
"Pergi ma ki yang jauh, Nak." Dengan lelehan air mata sang ibu menyuruhnya pergi. Tapi pelukannya tak mau terlepas.
Dengan perasaan enggan Aruna dan ibunya saling melepas pelukan, lalu gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu mengusap kepala adik perempuannya yang terlelap di ranjang.
"Doa kan ka, Ma," pinta gadis itu.
"Iya, Nak."
Gadis itu mengikuti ayahnya keluar dari pintu belakang rumahnya mengendap-endap seperti pencuri melewati belakang rumah tetangga lain untuk sampai ke rumah orang yang membantunya.
Aruna berpamitan dengan ayahnya lalu dengan ucapan bismillah ia menaiki mobil pick up yang berisi barang dagangan seperti pisang, nangka muda, pepaya, jantung pisang, yang akan di jual ke kota Kendari. Ada sedikit tempat disediakan untuk Aruna duduk menekuk lutut.
Setelah menaiki mobil itu bukan berarti sudah aman dalam pelarian, terbukti di tengah jalan sepi di tepi gunung. Aruna harus turun dari mobil karena sang sopir mendapat telepon dari temannya, calon suami Aruna sudah tahu kalau gadis itu kabur dan ikut di mobilnya dan sekarang sedang di kejar, tetangga Aruna tidak mau mengambil resiko lebih besar jika tertangkap.
Terpaksa Aruna mencari tumpangan lain ke kota. Tidak mudah, beberapa mobil truk atau pribadi yang lewat tidak ada yang singgah, mungkin mereka berpikir dia makhluk jadi-jadian.
Aruna berjalan di tengah kegelapan hanya sedikit cahaya menyinari dari rembulan yang bentuknya sudah setengah. Dingin, sendirian, ada rasa takut yang menyambar ketika mendengar suara-suara binatang malam. Mulutnya terus merapal doa agar dilindungi oleh Allah.
Gerimis halus mulai turun, Aruna memeluk diri berusaha menghangatkan tubuh yang gemetar, kakinya mulai lelah entah sudah berapa jauh ia melangkah.
Ulu hatinya perih karena lapar, kepalanya pun mulai pusing, tapi ia mencoba bertahan dan tetap berjalan meski dengan langkah berat.
***
Seorang lelaki mengemudi mobil sambil terus berbicara melalui telepon. Membentak dan memaki kesal karena liburannya di Kolaka Utara terpaksa harus batal sebab kelalaian karyawan sehingga restorannya kebakaran.
Padahal ia baru mengunjungi tamborasi, salah satu sungai terpendek yang ada di Indonesia. Rencananya beberapa hari ke depan ia mau pergi ke padang malla di Kecamatan Poheru, air terjun torotuo di Kecamatan Ranteangin, pulau bintang di Kecamatan Tolala, dan destinasi wisata lain.
Lelaki itu terus saja melajukan mobil melewati gadis yang melambai-lambai memintanya berhenti. Setelah beberapa meter di depan ia mengerem lalu memundurkan mobil kemudian turun.
Gadis yang tadi melambai kini tergeletak tak sadarkan diri, menggunakan senter di ponsel ia mengamati wajah gadis itu yang pucat, mengecek nadi dan merasakan dia masih hidup.
Tidak mau repot menolong ia berdiri meninggalkan gadis itu, setelah duduk di kursi kemudi perasaan kasihan menelusup ke dalam hatinya mengingat ini di tepi hutan mungkin saja ada binatang buas yang akan menerkamnya atau ditemukan orang jahat.
Ia kembali turun, membuka pintu penumpang belakang dan mengangkat gadis itu ke sana. Kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Kendari.
Lelaki itu memesan satu kamar untuknya dan gadis yang tidak ia kenal. Ia menggendong gadis itu ke kamar, untung saja malam sudah sangat larut jadi hanya petugas hotel yang melihatnya. Sementara barangnya dibawakan pelayan hotel.
Dengan sedikit bantingan ia membaringkan gadis itu di tengah ranjang, kemudian masuk ke kamar mandi membersihkan diri.
Setelah selesai lelaki itu keluar, berdiri di tepi ranjang memandangi gadis yang entah terlelap atau pingsan yang pasti dia masih bernafas. Di matanya gadis itu tidak cantik, tapi jika dilihat seksama ia terlihat manis walau bibirnya pucat.
Merasakan dorongan aneh dalam diri, ia duduk di tepi kasur membelakangi gadis itu. Perasaannya gusar, detak jantung meningkat, nafas pun sedikit memburu. Ia menoleh ke arah gadis itu dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi yang terasa dingin.
***
Semoga kalian suka cerita ini. Ingat! Beri vote dan ulasan di komentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Majikan
RomanceSyifa Aruna, gadis desa yang melarikan diri dari pernikahan paksa. Dalam pelarian dia ditolong oleh seorang lelaki. Karena tak punya tujuan Aruna mengikuti saja lelaki tersebut hingga ke kota besar, dan bekerja padanya. Demi melindungi kehormatan di...