LIMA

0 0 0
                                    

"Ayaaaah... hiks hiks hiks" Adziva menangis tersedu sedu. Dia tidak mempedulikan lagi apa yang ada di sekitarnya. Adziva segera bangun saat sadar kemungkinan ayahnya sudah di kafani. Fatir langsung mengikuti kemana adziva pergi.

Saat keluar dari kamarnya adziva melihat jenazah ayahnya masih dibacakan al quran. Adziva kembali tergugu mendekap jenazah sang ayah.

"Ayaahh.. kenapa ayah tinggalin dziva? nanti dziva dan ibu kesepian, nanti saat dziva wisuda apa dziva sudah tidak bisa memberi ayah mahkota? Ayaaaaah... jawab yaaah... apa dziva selama ini banyak menyusahkan ayah hingga ayah memutuskan pergi? Ayaaaahh..."
Adziva terus berbicara seolah sang ayah mendengarnya. Fatir yang melihat hal itu segera mendekatinya, dia mengusap pundak adziva lembut. Fatir sebisa mungkin menarik adziva untuk kebelakang karena jenazah sang ayah akan segera dimandikan tetapi adziva terus meraung minta dilepaskan. Hingga akhirnya fatir dengan terpaksa membisikannya sesuatu.

"Dziva, kullu nafsin dzaaiqatul maut. Kita pun akan ada waktunya untuk menghadap Allah. Dziva sayang ayah kan?" Adziva mengangguk dengan tangis yang sudah mulai reda. "Sekarang dziva ucap istigfar, dziva banyak doa supaya Allah memberi tempat terbaik untuk ayah karena hanya itu yang sekarang ayah butuhkan yaitu doa dari anak yang soleh soleha. Dziva banyak dzikir, dziva minta sama Allah apa yang dziva mau untuk ayah. Sekarang dziva ambil wudhu lalu tenangkan diri ya? Kasian ibu disana hanya ditemani bibi, dziva mau kan?" Adziva kembali mengangguk. "Ayo aku antar ke kamar mandi".

Saat adziva pergi ke kamar mandi, jenazah langsung disiapkan untuk dimandikan. Ibu dziva hanya menangis dalam diam yang penuh dengan kepedihan. Dia mencoba berusaha tegar karena anak anaknya memerlukannya untuk menguatkan.

Dikamarnya dziva baru selesai berwudhu. Fatir memberikan handuk untuk mengusap wajahnya.

Dziva duduk disamping ranjangnya. Dia menunduk, satu sisi dia sedih dengan kepergian ayahnya. Disisi lain dziva sadar bahwa dirinya harus ikhlas dan kuat karena dia yakin ibunya juga butuh dukungannya.
Dziva membenarkan khimarnya yang sempat miring lalu segera beranjak.

"Mau kemana?" Fatir memegang pegelangan tangan dziva.
"Dziva mau ikut memandikan ayah, boleh kan?"
"Saya izinkan dengan satu syarat, jangan sampai kamu menangis hingga menetes air matamu ke jenazah ayah." Dziva mengangguk cepat. Dia akan berusaha sekuat mungkin supaya tidak meneteskan air mata di depan ayahnya. Fatir mengusap kepala lalu mengikuti dziva untuk memandikan ayah mertuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ADZIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang