Chapter 2

1.5K 141 28
                                    

Dan di antara celah yang tersisa.
Bisakah aku menghilang dari keduanya?
Pergi adalah cara yang tepat.
Sayangnya, jika bertemu dengan dia, perasaanku kian rekat untuk melekat.
🍃

Anin memandangi seisi ruangan kelasnya yang mulai sepi karena jam istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Dengan segala rasa penat yang menghujam, ia mendesah lelah. Jika bagi kebanyakan murid hari pertama masuk sekolah adalah hal yang menyenangkan, tapi bagi Anin tidak. Semacam, otak yang sedang dalam masa pemuaian, tiba-tiba menyusut paksa dengan melihat angka pada kalender dilingkari sebagai hari tahun ajaran baru.

"Nin, lo gak ke kantin?" Salah satu teman sekelas Anin bertanya kepadanya. Dengan malas, Anin hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Ya udah. Kalo gitu, gue ke kantin dulu. Lo gak apa-apa, kan, di sini sendirian?" Temannya yang bernama Freya itu kembali bertanya.

Anin berdecak malas. "Sejak kapan gue kemana-mana harus ada temen?" Freya langsung meneguk ludah mendengar jawaban ketus Anin.

"Iya, iya. Gue pergi dulu," ujar Freya menyudahi obrolannya.

Sepeninggal Freya, Anin kembali menelungkupkan kepalanya di atas meja. Baru saja ia mulai tenang, suara Freya kembali terdengar.

"Aninnn," panggil Freya dengan nada panjang.

Anin yang belum mengubah posisinya, berteriak kesal. "Apa lagi sih, Freya?"

"Ada cowok lo. Eh ralat, maksudnya mantan lo," jawab Freya.

Anin mengerjapkan matanya. Mantan? Mantan yang mana? Ia langsung mengalihkan pandangannya ke ambang pintu. Langsung saja ia mengepalkan kedua tangan, saat melihat wajah menyebalkan cowok berambut hijau terang itu tengah tersenyum lebar memandanginya.

"Afkar," ujar Anin sangat pelan nyaris seperti menggumam.

Afkar menaikkan sebelah alisnya. Cowok itu tengah bersandar pada pintu. Penampilannya sama seperti ketika dihukum Pak Dudung tadi. Jauh dari kata rapi. Dasinya ia ikat pada pergelangan tangan. Menambah kesan badboy sekaligus murid tak disiplin.

"Ah, jadi kangen lo panggil kaya gini," ucap Afkar sambil memegangi dada kirinya. Anin menggertakkan giginya melihat gelagat Afkar.

"Ngapain lo kesini?" tanya Anin langsung.

Bukannya menjawab, Afkar malah berjalan santai menuju bangku Anin. Cowok itu sesekali bersenandung kecil. Menyanyikan lagu yang berjudul bintang dari Anima. Hal itu membuat Anin memejamkan matanya sejenak. Lagu itu lagi, batinnya resah.

"Stop di situ! Jangan maju lagi," perintah Anin sambil menghadang jalan. "Kalo lo masih maju, gue lempar nih kursi." Ancaman Anin sukses membuat Afkar tertawa.

"Oh ya? Badan segede capung aja belagu," kata Afkar. Cowok itu menjulurkan tangannya, hendak menyentuh puncak kepala Anin. Tapi gadis itu dengan cepat menepisnya. "Ya elah! Gue kangen ngacak-ngacak rambut lo."

"Apa peduli gue?" Nada ketus yang terdengar, membuat Afkar mendengus pasrah. "Kenapa lo nyari gue? Udah ngerasa gak laku, lo?" Anin mengangkat dagunya, menatap puas ketika Afkar tiba-tiba bungkam.

Mereka sama-sama berdiri berhadapan. Hanya sebuah meja yang menjadi batas keduanya. Afkar menatap Anin dalam-dalam. Membiarkan sorot mata penuh kebencian itu terpotret dalam retinanya. Anin sedikit gemetar, mendapat tatapan sedalam itu dari Afkar. Bagaimanapun juga, sebenci apapun dia dengan Afkar, Anin sudah pernah mencintai lelaki itu. Anin sudah pernah menyukai setiap detik yang ia habiskan bersama lelaki itu, dulu.

"Kenapa lo ngelihatin gue kaya gitu?" Pertanyaan Anin mampu mencairkan suasana yang sejenak beku.

Afkar terkekeh pelan. "Jadi kangen sama lo yang bilang kaya gitu, waktu gue suka natap lo lama dulu," ungkapnya.

Anin memutar badannya. Dia gelisah terus berhadapan dengan Afkar. "Lo udah bilang kangen berapa kali tadi?"

Anin tahu Afkar langsung mengedikkan bahu menanggapi pertanyaannya. Meskipun ia tidak sedang menatapnya penuh, tapi ekor mata Anin bergerak melirik Afkar. 

Afkar masih terdiam lama. Lalu, ia berdeham dan menjawab, "Gue gak ngitung. Soalnya gue kangen banyak sama lo. Kangen senyum lo, rambut lo, mata lo, hidung lo, pendeknya badan lo, sam--"

"STOP!" Anin berteriak lantang. Dia geregetan mendengar Afkar dengan mudahnya mendeskripsikan tertuju pada siapa rindunya.

"Lah, gue belum selesai ngomong, sayang," keluh Afkar yang sama sekali tidak diperdulikan oleh Anin. Gadis itu memasukkan bukunya yang masih tersisa di atas meja. Kemudian, ia segera bergerak menjauhi Afkar. Anin kini melangkah menuju kantin untuk mengisi perutnya yang sudah lapar. Sepertinya, dengan cara makan ia akan terbebas dari amarah.

***
Anin berjalan dengan langkah yang berusaha dilebarkan. Melewati Afkar yang masih saja berusaha mendahuluinya. Ya, Afkar mengekor kemanapun Anin pergi. "Nin, lo gak kangen gue gitu?" tanya Afkar membuat Anin semakin naik darah.

Anin terus mempercepat langkahnya. Matanya bergerak gelisah. Mencari cara supaya Afkar tak lagi membuntutinya. Beberapa meter kemudian, ia tak sadar kalau ada seorang cowok membawa setumpuk buku, berjalan berlawanan arah dengannya. Anin terkejut begitu ia menatap beberapa buku itu jatuh berserakan di depannya.

"Eh, maaf. Gue gak sengaja," ujar Anin. Gadis itu berjongkok untuk membantu mengumpulkan bukunya.

"Iya gak apa-apa."

Anin langsung menghentikan kegiatannya ketika mendengar suara familiar itu. Ia sedikit mendongakkan kepala dengan penuh rasa ragu. Tepat di mana ia menatap manik mata cowok itu,  ternyata lawannya juga sedang menatapnya juga. Anin langsung membisu. Ada rasa gugup yang semakin membelenggu.

"Dia mantan lo, kan?" tanya Afkar tiba-tiba. Anin mengalihkan pandangannya pada cowok itu. Ia membalas dengan sorot mata tajam, seolah memperingatkan Afkar agar tidak banyak bicara.

Aku terkekeh pelan. "Sama kaya gue sih. Gue juga mantan lo," kata Afkar lagi. "Tapi bedanya, gue calon pacar lo lagi, Anindia." Afkar menarik senyuman yang sangat lebar.

Dengan ragu, Anin kembali menatap cowok di dekatnya. "Tadi, gue ... gak sengaja," katanya. Entah kenapa, hanya dengan orang ini Anin merasa jiwa keformalannya kembali. Anin masih fokus menata buku-buku itu menjadi sebuah tumpukan.

"Anin," panggil Afkar memecah fokus Anin.

Tidak ada sahutan, Afkar memilih memanggil lagi, "Anin sayang."

"Dia Elvan. Kenapa lo jadi aneh gini, sih?" Afkar mengalihkan pandangannya ke arah cowok yang ia sebut bernama Elvan tadi.

Anin dalam hati sudah memaki-maki Afkar. Tapi sayang, Afkar tidak akan mengetahuinya. Anin berpikir, apa Afkar berusaha menggodanya dengan Elvan? Tiba-tiba, pikirannya berkecamuk melihat dua mantannya sedang berdiri di hadapannya. Yang satu hanya diam sambil memandangi Anin, dan yang satunya sibuk menggoda Anin.

Anin memandangi keduanya secara bergantian. Tanpa mengucap sepatah katapun, Anin segera berdiri, berbalik badan dan melanjutkan tujuannya untuk ke kantin.

"ANIN," panggil Elvan dan Afkar bersamaan.

Hati Anin seperti terasa disengat sesuatu ketika mendengar suara lelaki yang dulu pernah melukis keindahan dalam hari-harinya, sedang memanggil namanya. Sayangnya, keduanya hanya masalalu. Dan Anin tidak tahu, siapa seseorang yang akan bisa membawanya keluar dari ruang lingkup mantan ini. Padahal, satu tahun bersama Afkar telah berlalu. Perihal Elvan....

Sebenarnya, Anin masih merasa nyaman dengan lelaki itu. Adhitama Elvan Syahreza. Mantan pertama Anindia, yang membuat gadis itu selalu berpikir dewasa saat bersama dia.

Kedua cowok yang sedang menatap kepergian Anin itu, kini saling berpandangan. Seolah-olah, mereka sedang mengatakan bahwa masing-masing pernah memiliki hati Anin.

"Mantan lo, tuh," kata Afkar dengan nada songongnya.

Elvan memejamkan matanya sejenak sembari menghembuskan napas. "Setidaknya, kronologi gue sama dia putus enggak serendah cara lo."

27-8-2

PASSADO (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang