Epilog

1.6K 101 15
                                    

Hati tercipta untuk dijaga, bukan dibuat bercanda.
Ketika perasaan hanya kau anggap sebagai fiktif belaka, lalu untuk apa tercipta rasa suka antara kau dengannya?
Lebih baik mencintai tanpa memiliki, daripada memiliki tanpa dicintai?
Itu memang benar.
Pada dasarnya, seseorang sudah memiliki garis takdir masing-masing untuk menjalani kehidupan.
Jika kau sudah kehilangan seseorang yang sangat berarti untukmu, percayalah, penyesalan akan terus beranak hinggap dalam benakmu.
Mempertahankan, tak semudah mendapatkan.
Jaga apa yang sudah kau punya sekarang.
Karena apa yang telah hilang,mustahil bisa diulang kecuali atas izin Tuhan.
Dan semuanya, benar-benar akan hanya sebagai sebatas cerita di masa lalu.

🍂

Seulas senyuman bahagia, terpatri pada wajah-wajah murid kelas 12 SMA Taruna Bangsa yang beberapa jam lagi, murni akan menjadi seorang alumni. Para siswa berpakaian formal dengan setelan jas hitam, begitu pula para siswi yang memakai kebaya atau gaun. Aula didekorasi dengan dominasi warna maroon dan putih. Sebuah karpet merah tergelar manis, sebagai jalan para murid ketika prosesi purnawiyata berlangsung nanti.

Elvan duduk di barisan paling depan. Matanya menatap kosong, tanpa ada binar sedikit pun. Sedangkan Afkar, berada tak jauh dari tempat duduk Elvan. Cowok itu pun sama. Tidak ada binar dalam sorot matanya.

Tidak terasa, tiga bulan setelah kejadian tragis berujung tangis itu berlalu. Masa putih abu-abu mereka benar-benar lengser. Dentuman lagu perpisahan membuat suasana di dalam Aula itu semakin haru. Perjuangan telah usai. Tapi perjuangan hidup yang sebenarnya akan dimulai.

Melihat ada kursi kosong di sebelah Afkar, Elvan pun berniat menghampiri cowok itu. Ia tidak boleh egois. Sesama yang saling kehilangan, harus saling menguatkan. Ia tahu, apa yang sedang Afkar pikirkan sekarang. Sebenci-bencinya Elvan melihat Afkar sebagai pembawa luka dalam hati gadis yang sangat berarti untuknya, tetap saja mereka sama-sama manusia, yang tak luput dari kesalahan. Elvan menepuk bahu Afkar setelah sampai di dekat cowok itu.

"Mikirin apa lo?"

Afkar tetap sama. Tak berekspresi sama sekali. "Tanpa gue jawab, lo udah paham gue mikirin siapa dan apa."

"Gue sebenarnya puas lihat lo kaya gini. Merasa kehilangan setelah dengan tak punya hatinya memainkan perasaan. Tapi gue sadar, gue juga ngerasa kehilangan. Gue tau apa yang lo rasain. Anin udah tenang di alam sana. Gak ada gunanya lo meratapi kepergiannya."

"Rasa bersalah gue kayanya gak bakal hilang, El," ujar Afkar sendu.

"Gue tau. Dan udah seharusnya lo kaya gitu."

Afkar tersenyum getir. Benar apa yang dikatakan Elvan. Luka kedua kali memang tak mudah sembuh. Dan belum sempat ia menyembuhkannya, raga pemilik luka kedua itu telah tiada. Harusnya, hari ini, mereka bersama-sama menghabiskan masa-masa terakhir SMA.

"Jangan kaya gitu. Setelah ini kita kunjungi tempat peristirahatan terakhirnya bareng-bareng." Elvan menepuk bahu Afkar. Ia sendiri tak bisa terus-terusan menyimpan dendam pada cowok itu. Setelahnya, mereka fokus mengikuti acara walau dalam hati masing-masing tidak ada yang berselaput tipis rasa bahagia.

***

Dengan pakaian setelan jas yang masih melekat pada tubuh masing-masing, Elvan dan Afkar memberhentikan motornya tepat di samping gapura. Setelah menyapa penjaga yang sedang menyapu, mereka pun masuk bersama.

Elvan menghela napas setelah matanya beredar mencari rumah terakhir Anin di dunia ini. Sedangkan Afkar, cowok itu langsung menampilkan ekspresi yang sulit dideskripsikan. Antara ingin menangis, tersenyum, dan susah untuk merelakan.

"Sadar, Af. Penyesalan emang datangnya di akhir. Mungkin, dengan rasa bersalah yang menumpuk di hati lo itu, lo bisa secepatnya sadar, bahwa hati diciptakan bukan untuk dipermainkan." Elvan berbicara tanpa menoleh ke belakang. Ia terus melangkah mencari nisan bertuliskan nama  Anindia Maheswari.

Setelah matanya menangkap tulisan itu, Elvan tersenyum sendu. Ia langsung berjongkok, disusul Afkar yang sedari tadi mengikutinya.

"Hai, Nin. Aku dateng lagi. Buat saat ini, aku datengnya bareng Afkar," ujar Elvan menatap gundukan tanah yang seolah merespon sama apa yang ia bicarakan. Elvan meletakkan bunga mawar putih yang tadinya ia beli tak jauh dari tempat ini. "Semoga kamu baik-baik aja di sana. Tunggu aku, Nin. Aku janji bakal berusaha biar nanti dipertemukan sama kamu lagi."

Suara Elvan gemetar. Berulang kali ia mencoba agar tidak menangis saat mengunjungi tempat ini. Nyatanya, semua tak semudah membalik telapak tangan. Pertahanannya runtuh ketika ia melihat nama seseorang yang sangat ia cintai, terlukis pada batu nisan.

Mata Afkar memerah melihat Elvan sudah terisak di sampingnya. Ia menepuk bahu lelaki itu. Elvan pun menatap Afkar sejenak. "Silahkan," katanya memperbolehkan Afkar untuk menyampaikan apa yang cowok itu pendam.

Afkar pun berpindah tempat. Ia meletakkan sebuket bunga di makam Anin. "Hai, sayang ...." Afkar sengaja memanggil dengan cara demikian. Namun, kali ini, bukannya ia senang, justru ketika menyebut kata itu hatinya langsung terasa diiris. "Apa kabar? Semoga lo baik-baik aja."

"Harusnya hari ini lo juga purna bareng kita. Tapi lo udah gak ada." Dia tertawa pedih. Sedari tadi, Afkar sudah berjanji tidak akan menangis. "Gue minta maaf udah nyakitin lo. Ternyata gue sayangnya sama lo. Katanya, sesuatu yang telah pergi bakal terasa lebih berharga. Itu benar. Gue hampa tanpa lo. Tapi, gue berusaha ikhlas. Sekarang, lo udah gak harus tranfusi darah terus. Tapi gue kangen sama lo. Maaf ... gue bener-bener bodoh, Nin. Maaf ...." Tak disangka, setetes air dari sudut matanya jatuh. Afkar buru-buru mengusapnya.

"Lo pasti bakal ketawa kalo lihat gue sekarang, Nin. Hahaha ... gue cengeng. Apalagi kalo lagi kangen banget sama lo." Afkar mengelus batu bisan seolah itu adalah pipi Anin. "Coba lihat gue! Gue pake jas, gue ganteng, kan?" Afkar tersenyum lebar. Tak sampai 3 detik, senyum itu menyurut berganti raut muka merah padam ingin menangis.

Elvan tidak tega melihat Afkar seperti ini. Ia tahu, bagaimana rasanya kehilangan seseorang sebelum sempat membahagiakannya. Apalagi, Afkar ditinggalkan Anin setelah ia sendiri menoreh luka pada gadis itu.

"Af, tenang, Af."

"Anin udah pergi, El. Anin udah pergi sebelum gue minta maaf secara langsung ke dia," kata Afkar disela isakan. "Kenapa Tuhan ambil Anin secepat ini, El? Kenapa?"

"Afkar jangan bodoh! Ini semua udah kehendak takdir. Gue juga ngerasa kehilangan. Tapi gue mencoba ikhlas dengan keadaan. Gak ada yang bisa mengelak takdir, Af. Mungkin ini cara Tuhan ngehukum lo."

Afkar tertunduk. Membiarkan air matanya jatuh bebas. "Ini hukuman terberat buat gue, El. Gue sayang sama Anin. Dan gue baru menyadari itu setelah dia pergi. Gue kangen sama dia, El." Afkar mengusap wajahnya frustasi. "Gue berharap ini cuma mimpi."

Elvan tersenyum miris. "Sayangnya, ini nyata, El. Besok lo harus melangkah maju buat nerusin jalan hidup lo. Lo bukan anak SMA lagi. Dan gue harap apa yang terjadi kali ini, bisa jadi pembelajaran buat lo agar lebih bisa menghormati hati seorang perempuan."

Inilah akhir kisah mereka. Tak selamanya, apa yang sudah kita yakini sebagai sumber kebahagiaan kita, bisa abadi. Sesuatu bisa hilang dan berubah kapan saja. Maka, ketika kamu merasa berada di awang-awang berselimut kebahagiaan, persiapkan seribu satu kekuatam untuk menghadapi bentuk baru permasalahan. Ingat, kehidupan seperti kopi. Nikmat apabila pahit dan manisnya seimbang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PASSADO (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang