Setidaknya, hujan yang turun kali ini, aku bisa mengingat kembali kenangan bersamamu tanpa merasakan bagaimana sakitnya patah hati.
🍂
Swastamita membara di ujung barat kota. Gadis bersurai hitam legam itu sedang duduk kursi dekat jendela. Udara sedikit lembap setelah dicumbu hujan kurang dari satu jam lalu. Matanya memandang nanar, menyiratkan kehampaan yang sengaja ia ukir sendiri. Adhitama Elvan Syahreza. Lelaki itu, masih saja sama. Tidak ada yang berbeda dari sikapnya. Bahkan, setelah semua berakhir, ia tetap menjadikan Anin seolah-olah adalah prioritas untuk masa depannya.
"Kenapa?" Anin menggumam seraya menggerakkan kepalanya agar bersandar pada kusen jendela. "Kenapa gue gak bisa sama lo?"
Sayup-sayup udara dingin, menusuk kulitnya yang tidak tertutupi apapun. Ia pun akhirnya memilih memeluk tubuhnya sendiri. Lagi-lagi, memorinya saat pulang sekolah tadi berputar.
Di mana bel pulang sekolah berbunyi, gadis itu hendak cepat-cepat keluar dari kelas yang terasa seperti penjara untuknya. Anin memasukkan alat tulis yang masih berceceran di atas meja dan juga beberapa buku yang tersisa di loker mejanya. Gerakan gadis itu terhenti ketika tangannya menyentuh benda bertekstur halus, juga benda bergagang. Ia menghela napas sejenak.
Jaket itu? Payung itu? Hampir saja ia terlupa bahwa Elvan tadi repot-repot mendatangi kelasnya hanya sekedar memberikan dua benda itu.
Anin menatap keluar lewat kaca jendela. Hujan masih saja mengguyur kota ini. Bahkan, gerimis yang turun pun tidak stabil. Semenit deras, semenit reda. Ia memandangi ponselnya yang bergetar. Tidak ada satupun pesan yang masuk dari mamanya. Padahal, sedari tadi ia berharap kalau mamanya akan kembali menghubungi, dan bisa menjemputnya hari ini. Ternyata, lebih dari sepuluh pesan masuk itu dari Afkar.
Anin malas membukanya. Ia menerka bahwa Afkar pasti hanya sekedar bertanya tentang kegiatannya setelah ini. Dengan langkah gontainya, Anin menuju luar kelas. Murid-murid masih terlihat ramai di koridor. Itu karena sebagian dari mereka, memilih pulang saat hujan reda nanti. Anin sebenarnya ingin segera beristirahat di rumah. Sekolahnya hari ini sangat membuatnya penat. Heran, ia tak pernah memiliki beban sebanyak ini di pikirannya.
"Kamu udah selesai?"
Tersentak. Anin menoleh untuk mencari sumber suara yang tertuju untuknya. "Elvan." Bibirnya terkatup rapat setelahnya.
"Pulang sekarang apa nanti?" Pertanyaan lelaki di depannya, membuat Anin meringis. Bingung, ia harus menjawab apa.
"A-aku ... aku...." Percayalah, Anin sedang gugup dan bingung. "Aku nungguin mama aja, El," katanya kemudian. Elvan tersenyum melihat reaksi Anin. Ia tidak bodoh untuk memaknai apa yang sedang Anin rasakan sekarang.
"Aneh tapi nyata," ujar Elvan. Anin mengenyitkan keningnya. Tidak tahu apa maksud perkataan Elvan yang terlontar.
Elvan kini menyandarkan badannya pada tembok di samping pintu. Lebih tepatnya, ia berdiri menyampingi Anin. "Sekeras apapun kita mencoba buat biasa aja, nyatanya tetep gak bisa."
Anin menyahut, "Aku gak ngerti apa maksud kamu, El."
"Aku pengin kita kaya dulu lagi. Kita yang gak pernah terjerat dalam kecanggungan sama sekali. Dua tahun udah berlalu, Nin. Kenapa kamu tetep gak bisa biasa aja nyikapin aku?"
Anin terdiam. Sedikit berpikir panjang agar perkataannya tidak salah. Ia juga harus mencari alasan yang tepat, yang sekiranya bisa membuat dia tidak terlihat ragu untuk mengatakannya nanti.
"Aku juga gak tau, El. Aku sendiri bingung kenapa aku selalu aneh saat bersama kamu."
Elvan kini mendongakkan kepala sembari memejamkan mata. Badannya masih dalam posisi yang sama, bersandar pada tembok. "Lalu, kalau sama Afkar, kenapa kamu biasa aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PASSADO (END)
Teen FictionA Story By: Streachailt (kelompok 13 genre fiksi remaja Teras Pena Squad) Genre: Teenfiction Blurb: Apa yang akan kalian lakukan, jika tiba-tiba saja kedua mantan serentak mengajak balikan? Memilih salah satu di antaranya dengan potensi sakit hati...