BAB 2

1.4K 140 37
                                    

BAB 2

"Kita tidak tahu kedepannya seperti apa, karena semua masih rahasia." --Nara Adromaca

Aksel masih setia menunggu Nara siuman. Padahal sudah dua jam lebih gadis itu pingsan. Aksel melihat wajah Nara, begitu teduh dilihat. Senyum tipis terulas dibibir Aksel. Jika ia memiliki kekuatan untuk mengubah takdir, Aksel akan bertukar posisi dengan gadis asing dihadapannya.

Rasa khawatirnya hilang saat tahu Nara telah sadar.

"A ... aku dimana?" tanya Nara dengan suara parau.

"Rumah sakit."

Nara terkejut melihat ada orang asing bersamanya. "Kamu siapa?" lalu memegang kepalanya yang masih terasa pusing.

"Aksel Bayanaka." Aksel memperkenalkan diri.

"Kamu yang bawa aku ke sini?"

"Iya."

"Makasih." Nara bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. "Maaf udah ngerepotin."

Nara hendak melepas selang infus ditangannya, dengan cepat Aksel menahan.

"Kamu sama sekali gak ngerepotin."

Nara terperangah menatap Aksel, sedetik kemudian ia sadar apa yang sudah dilakukannya salah.

"Aku mau pulang, aku gak mau disini." Hampir saja Nara menangis. Rasa takutnya masih terus menghantui.

"Aku panggil dokter dulu. Kamu stay di sini." Aksel keluar memanggil dokter agar tahu perkembangan gadis, yang ia sendiri belum tahu namanya.

Dokter datang memeriksa keadaan Nara. Rasanya ingin segera menghilang. Nara tidak betah bersama orang asing.

"Keadaan pasien membaik. Pasien dibolehkan pulang," ujar dokter, lalu melepaskan selang infus yang tadi hendak dilepas Nara sendiri.

Aksel membantu Nara berjalan, namun gadis itu menolak.

"Aku bisa sendiri," ujar Nara, membuat Aksel melepaskan tangannya dari pundak Nara.

Tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis itu, Aksel mengambil ponsel dan memasangkan headset ketelinga Nara.

"Hayatin musiknya biar gak jenuh." Aksel memberikan ponselnya pada Nara.

Perlakuan lelaki asing disampingnya membuat Nara bingung.

"Aku antar kamu pulang," titah Aksel. Sebagai laki-laki harus melindungi perempuan. Hal itu yang sedang ia lakukan sekarang.

"Aku bisa pulang sendiri. Sekali lagi makasih."

Nara melepas headset dan mengembalikannya pada Aksel.

"Pulang sama aku." Aksel menarik tangan Nara, membuat gadis itu menghela nafas takut.

"Aku gak mau ngerepotin kamu lagi," ujar Nara merasa tidak enak dibantu lelaki dihadapannya.

"Kamu gak ngerepotin aku," tukas Aksel, tangan kirinya memegang pipi gadis itu.

"Tapi," ucapan Nara terpotong.

"Gak butuh penolakan," sela Aksel.

Nara menghela nafas, lalu mengangguk menerima.

Melihat suasana rumah sakit tidak begitu ramai, Aksel mengajak gadis itu berjalan ke parkiran. Saat berjalan Nara tidak henti-hentinya melihat area sekitar, takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

"Pegang tanganku," titah Aksel pada gadis yang sedang bingung. Nara menggeleng, ia tidak sabar untuk cepat sampai ke apartemen.

"Ngapain pegang tangan kamu?" Nara merasa jika lelaki asing ini mulai beraksi. Modus. Kata anak jaman now.

"Biar kamu gak hilang."

"Gak jelas," cibir Nara merasa kesal.

Aksel tersenyum melihat wajah gadis yang belum diketahui namanya.

"Ngomong-ngomong kita belum kenalan," ujar Aksel saat berada di dalam mobil.

"Kan udah tadi," jawab Nara. "Nama kamu Aksel, kan?"

"Aku belum tahu nama kamu," tukas Aksel sembari fokus menyetir.

"Kamu mau tahu?" tanya Nara. Gadis itu semakin membuat Aksel semakin penasaran.

"Mau cocokin weton. Siapa tau kita jodoh."

"Mana ada cocokin weton pake nama," cibir Nara. Ada-ada saja kelakuan anak basket satu ini.

Aksel berhasil membuat gadis disampingnya melupakan sejenak masalah yang ada.

"Ya udah, nama kamu siapa?" tanya Aksel lagi. "Alamat sekalian biar cepat sampai."

"Resek, ya, kamu." Aksel berusaha untuk tidak terkekeh mendengar respon gadis disampingnya. "Nama aku Nara. Kamu antar aku aja ke apartemen ID."

"Wih, yang punya One Direction? Keren tuh."

"Suka-suka kamu." Untuk melepas penat Nara bersender dengan tenang. Ternyata di dunia ini masih ada orang baik, seperti Aksel.

Kejadian tadi sore membuat Nara berusaha untuk tidak mengingatnya. Bisa kumat jika hal itu terjadi lagi.

Beberapa menit kemudian Aksel berhenti di depan apartemen. Ia semakin penasaran, ingin menelusuri lebih dalam tentang Nara. Apalagi gadis itu didiagnosis Gelotophobia. Sebisa mungkin, Aksel harus buat Nara sembuh dari penyakitnya.

"Udah sampai. Aku turun, ya. Makasih udah nolongin, sama antar aku pulang. Kamu orang baik," ujar Nara. Baru sekali bertemu sudah dibuat terkesan saja.

"Kalo jahat, kamu gak mungkin aku antar pulang."

Nara berdecak kesal. Bisa-bisanya Aksel bicara seperti itu, membuat Nara takut saja.

"Kok, ikut turun?" Aksel sudah keluar dari mobil, hendak mengantar Nara masuk. Takut terjadi apa-apa pada gadis itu.

"Antar kamu pulang."

"Kan udah sampai."

Tiba-tiba Aksel menarik tangan Nara, mengajaknya masuk ke dalam apartemen. Walaupun gadis itu menolak, Aksel tetap saja menggenggam tangannya.

"Apart kamu nomor berapa?" tanya Aksel. Ia bernafas lega karena suasana apartemen sedang sepi. Tidak mungkin ada suara tawa.

"Nomor sebelas. Dilantai dua."

"Nyanyi, Nar," titah Aksel sambil menaiki anak tangga.

"Berisik. Lagian suaraku jelek."

"Ya udah, biar aku yang nyanyi."

Aksel menyanyikan lagu Kenangan manis-Pamungkas. Suaranya terdengar merdu. Membuat Nara berdecak kagum mendengarnya.

Langkah mereka terhenti tepat di depan apartemen Nara. Syukurlah tidak ada yang ditakuti karena sudah sampai.

"Jangan lupa mimpiin aku," goda Aksel, membuat Nara kembali kesal.

"Kalo sempat." Lalu membuka pintu apartemennya dengan sandi. "Jangan ngintip. Dosa."

"Iya, Nara." Aksel sengaja memejamkan matanya agar Nara percaya.

"Udah." Pintu apartemen sudah terbuka. Aksel membuka matanya. "Sekali lagi makasih udah mau nolongin."

"Bosan dengarnya. Kamu makasih terus," tukas Aksel yang tidak digubris Nara.

"Nar?" Nara yang hendak menutup pintu, kembali menghadap Aksel. "Maafin aku. Karena Dimas kamu jadi sengsara."

"K-kamu tau aku pho-"

"Jangan takut. Aku bisa jaga rahasia."

Tidak tahu ingin menanggapi apa. Nara tahu bahwa Dimas yang Aksel maksud adalah temannya. Dan mau di apakan lagi? Aksel sudah tahu penyakitnya.

****

Hai, doain aku selesain story' ini tepat waktu yaa.
Jangan lupa votmen dan share story ini ke teman kalian.

#mageiapublisher #challengemenulisMP30day #lenterasastracakrawala

Laughter Scares Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang