BAB 8

734 83 5
                                    

BAB 8

"Mencoba untuk berusaha adalah ketentuan agar hidup lebih bermakna. Karena yang instan hanya mie." --Laughter Scares Me

Nara duduk di bangku balkon kamarnya. Di sana ia bisa mendapatkan ketenangan sambil melihat suasana sekitar dari ketinggian.

Langit mulai gelap menandakan akan tiba waktu malam.

Tiba-tiba ponselnya berdenting, Nara segera mengambilnya.

Kesayangan ♥️:
Bentar lagi aku ke apart. Mau dibeliin apa?

Mata Nara melebar melihat nama kontak yang asing. Tidak salah lagi, Aksel lah pelakunya.

Nara:
Aku gak mau dibeliin apa-apa. Tapi ke sininya Sholat dulu.

Kesayangan ♥️:
Siap, calon makmum.

Nara mengehela napas panjang, kemudian meminum teh hangat kesukaannya. Jika dipikir-pikir Nara bahagia bersama Aksel. Namun ini baru awalnya saja, Nara takut kedepannya Aksel berubah. Tidak ingin berharap banyak. Untuk saat ini yang Nara harapkan penyakitnya bisa disembuhkan. Ia ingin kembali mendengar tawa tanpa adanya rasa takut.

Suara adzan berkumandang. Nara masuk ke dalam untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.

Setelah mengambil wudhu lalu Nara bersiap untuk sholat Maghrib. Diambilnya sejadah dan mukena.

Dengan khusyuk Nara melaksanakan sholat.

Selang beberapa waktu sholatnya pun selesai. Tidak lupa Nara berdoa pada sang khalik. Berharap orang tuanya diberi tempat terbaik. Itulah doa yang selalu ia panjatkan setiap sholat.

"Semoga kita dipertemukan di surga nya Allah, Pa, Ma," pinta Nara sambil membereskan alat sholatnya.

"Ya ampun, baru ingat kalau ada tugas."

Nara segera mengambil buku tugasnya. Beruntung ia ingat akan tugas. Jika tidak, mungkin besok Nara akan dihukum dengan pak Darel.

"Kimia. Astaghfirullah, bakal nguras otak banget, dong," keluhnya.

Nara memainkan ponselnya sejenak sembari menunggu kedatangan Aksel. Lelaki itu pasti sedang menuju ke apartemen.

"Eh iya, kejadian waktu MOS apa ya?" ujar Nara. "Kok aku gak inget sama sekali,"

"Aksel gak mau kasih tau lagi."

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, dengan yakin jika itu Aksel. Nara beranjak ke ruang tamu.

Nara kaget melihat Aksel dengan hoodie abu-abu, warna kesukaannya.

"Malam pacar," sapa Aksel.

Nara tersenyum malu-malu. "Malam," jawabnya.

Nara mengajak Aksel masuk ke dalam apartemen, mereka duduk di ruang tamu.

"Aku bawain martabak kacang buat kamu." Aksel memberikan bungkusan itu pada Nara.

"Kan udah dibilang gak usah bawa apa-apa," desis Nara.

"Biar ada cemilan," tukas Aksel.

"Ya udah, aku ambil buku dulu. Ada tugas kimia soalnya." Nara beranjak ke kamar mengambil buku tugasnya.

Nara pun kembali ke ruang tamu menemui Aksel, lalu duduk disampingnya.

"Jadi anak IPA susah gak, Nar?" tanya Aksel yang kasian pada pacarnya. Pasti gadis itu merasa tertekan bertemu dengan rumus.

"Gak juga. Yang susah itu nahan diri buat gak takut." Nara menatap Aksel sambil tersenyum.

"Teman sekelas kamu tau kamu punya phobia?"

Nara mengangguk. "Tau. Dan aku beruntung kelas gak diacak. Mereka juga gak emberan orangnya,"

"Tapi walaupun gitu aku tetap takut. Kejadian tadi pagi salah satunya," ujar Nara.

"Siapa yang bikin kamu takut?" tanya Aksel.

"Deril sama Rudi gak sengaja ketawa. Mereka lupa kalo masih ada aku di kelas. Biasanya aku langsung ke gudang denger lagu."

"Apa aku harus pindah kelas biar bisa jagain kamu?"

"Gak gitu juga Aksel." Nara menggeleng heran, lalu mulai mengerjakan tugasnya.

"Aku mau jadi Hiro kamu, Nar."

"Iya, Aksel pahlawan Nara."

Aksel mencubit pipi Nara gemas. Sontak membuat Nara berteriak marah.

"Aksel, kok, hobinya cubit!" rengek Nara sambil menatap tajam lelaki disampingnya.

"Muka kamu gemesin." Aksel harus tahan untuk tidak tertawa. "Nih, makan," titahnya sambil menyuapi Nara dengan sepotong martabak.

Nara bersungut kesal. Mulutnya sengaja ditutup rapat.

"Buka mulutnya. Siapa tau habis makan tugas kamu langsung selesai," ujar Aksel.

Nara tetap tidak mau membuka mulut. Ia pun mendorong Aksel agar menjauh darinya.

"Dasar Aksel modus," ejek Nara.

"Modus gini pacar kamu, Nar."

"Ya, ya, ya, suka-suka Aksell."

Tiba-tiba ponsel Aksel berdering. Dengan cepat Aksel menjauh dari Nara. Aksi Aksel membuat Nara curiga, namun rasa itu ia tepis jauh-jauh. Tidak mungkin Aksel sejahat yang ia pikirkan.

****

Assalamualaikum, makasih udah mau baca.

Bantu share ya ♥️
Boleh minta sarannya?

Laughter Scares Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang