Day 9

8 4 2
                                    

Kalopsia

I don't know if delusion is more beautiful than reality

Day 9 || Sahabat

|| 777 words ||

ヾ(*'▽'*) Happy reading (^0^)ノ

.
.

( ・∀・)・・・--------☆

Anak-anak kamarnya yang semula sibuk menggoda Zizi dialihkan dengan pintu kamarnya yang tiba-tiba dibuka. Anak kamar Zizi yang lain. Zizi menelan ludah. Apakah lima anak ini belum cukup untuk menggangguku?

“Ustadzah, ada tamu di luar.”

Zizi mengerutkan keningnya.

“Katanya cari ustadzah yang mengampu di sini.”

Zizi bertambah bingung. Ape barusaja menaiki pesawat, mana mungkin sudah sampai di sini, dan untuk apa dia kesini? Lalu siapa?

“Ustadzah yang lain tidak ada?” Zizi memperbaiki posisinya, meski masih dalam posisi siaga. Jaga-jaga jikalau anak-anak kamarnya masih berniat menyambar ponselnya. Anak itu menggeleng. Zizi mendengus kesal. Setidaknya aku bisa terbebas dari anak-anak ini sejenak.

***

Arba menatap dinding ini takjub. Mural setengah jadi terpampang jelas dibalik banner yang menutupinya. Mungkin menjaga kualitas lukisan ini. Johan tertawa senang, benar keren kan? Isa tak kalah takjub, dia bahkan menatapnya tak berkedip.

“Makasih, kak, udah anterin.” Isa berseru senang. Arba mengangguk. “Lalu apa yang akan kalian lakukan di sini?”

“Kita mau nunggu kakaknya datang. Mungkin besok pagi.” Johan yang menjawab. Arba menelan ludah. Dia tak mungkin akan meninggalkan mereka begitu saja. Untungnya dia sedikit tahu soal kakak-kakak yang kata Isa banyak di Gang Suronatan ini.

“Kalian mau bertemu dengan kakak-kakak itu, bukan?” Arba menatap Isa dan Johan bergantian. “Paman tahu dimana kakak-kakak itu?” Isa mengkerjab-kerjabkan matanya.

Arba mengangguk. Lia pernah menceritakannya. Dia alumni sekolah boarding di sini. Mungkin yang dimaksud kakak-kakak oleh Isa adalah santri Sekolah boarding yang sama seperti cerita dari Lia. Isa dan Johan berseru senang.

“Ayo kak!”

Mereka bertiga menatap bangunan megah di depannya. Pagar coklat besar berjajar memanjang. Lampu-lampu remang terpasang rapi di setiap pagar dindingnya. Tanaman hias tak luput dari sana. Bangunan Asrama yang super besar menjulang di balik pagar dinding ini.

Arba menelan salivanya, sepertinya asrama yang diceritakan Lia berbeda jauh dari yang ini.

Baru saja mereka berjalan menyusuri Gang Suronatan, dan kembali memasuki gang yang lebih dalam. Sesuai dengan cerita Lia. Tapi, asrama ini berbeda.

“Aku pencet!” Johan berseru sambil menekan tombol bel di sebelah gerbang ini.

TET!!!

Isa tersentak kaget. Dia mengira suara belnya akan lebih merdu. Tapi suaranya sama saja dengan bel sekolahnya. Johan juga tak kalah terkejut, dia langsung menarik tangannya dari tombol saat bel itu berbunyi dua detik.

“Cari siapa?” seseorang berseru dari lubang di pintu gerbang. Wajahnya tampak mengintip dari sana. Seorang gadis dengan mukena seadanya.

“Ada ustadzahnya, kak?” Arba yang bertanya. Gadis itu ber-oh pelan. “Sebentar ya kak.”

Zizi membuka gembok yang mengunci gerbang ini. Santri-santri yang tadi mengganggunya kini sibuk berdesakan mengintip ustadzahnya dari pintu ruang tamu outdoor. Menebak siapa tamu ustadzah yang datang malam-malam begini.

Zizi membuka pintu gerbang segera. Menatap sosok lelaki dengan dua anak kecil bersembunyi dibaliknya. Kerutan di keningnya segera muncul. Dia sama sekali tak mengenalinya. Santri-santri di daun pintu ruang tamu tersedak tawa. Berpikir kalau itu tunangan ustadzah mereka.

“Ada apa ya?” Zizi tak peduli dengan tawa santri-santrinya.

Arba tersenyum kikuk. Mengkode Isa dan Johan agar bisa menjelaskannya dengan detail. Johan memberanikan diri maju. Menceritakan semuanya tanpa ada ditutup-tutupi bahkan saat meminta tolong pada Arba, dia ceritakan.

“Kalian suka mural itu?” Zizi tersenyum. Isa kali ini maju, mengangguk semangat. Zizi menatap sepaket pewarna dan buku yang dibawa Isa. Mengerti maksud mereka. Zizi menghela napas perlahan.

“Siapa nama kalian? Dimana orang tua kalian?” Zizi bertanya lagi. Lebih mirip mengintrogasi.

Johan kembali menjelaskan panjang kali lebar. Meski ditambahi bumbu-bumbu yang membuat Zizi maklum. Zizi tersenyum gemas, menoleh kearah santri-santri yang masih ada di daun pintu. “Siapa yang membuat mural tadi sore? Kemarilah, ada yang mau belajar menggambar pada kalian.”

“Boleh, kak?” Mata Isa berbinar-binar.

“Ayolah kita semua sahabat, kita semua saudara.” Zizi mengelus rambut tebal Isa. Isa tersenyum lebar. 

Ruang tamu ramai seketika. Isa dan Johan bersemangat menggambar bersama kakak-kakak ini. Isa yang paling senang. Dia memperhatikan tak berkedip.

Zizi duduk di salah satu sofa di sana. Menjaga. Terus menatap ponselnya, berusaha menelpon Pamong asrama. Orang yang bertanggungjawab penuh atas asrama. Tidak ada balasan. Zizi berdecak kesal. Arba juga memperhatikan Isa dan Johan belajar. Tersenyum lega.

“Assalamu’alaikum.” Seseorang berseru dari gerbang yang masih terbuka. Arba menoleh, matanya membulat. Mereka,

“Umi Hima, akhirnya umi pulang.” Zizi berseru lega, menatap sekeluarga pamong asrama itu.

Thanks for reading
ヽ(>∀<☆)ノ

Terimakasih sudah mau membaca cerpen random

Yang saya coba hubungkan


Semoga bisa nyambung di otak kalian

yah sajaknya aneh ya:"

Hope u like it \(^ヮ^)/

See you tomorrow  ' ')/
Krisar boleh banget soalnya azzah adalah penulis yang baru lahir mengeow

#Challenge10daywriteAR
#AR_Rainbow
#SiapMenulisSiapBerkarya
#Day9
#Sahabat

AR_Rainbow

(ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧

Kalopsia: 10 day writing challenge AR Rainbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang