Ultrasonografi

6.3K 55 18
                                    


Arra mengelus perutnya yang semakin membesar. Untuk pertama kalinya dalam hidup, berat badan wanita mungil itu mencapai angka 57 kilogram. Padahal semasa gadis, ia bisa mempertahankan berat badannya di angka 43 kilogram dengan tinggi 153 sentimeter. Tidak masalah. Ia sangat menikmati perubahan bentuk fisiknya yang tak secantik dulu. Karena yang terpenting saat ini adalah, bayinya tidak kekurangan nutrisi. Masalah terbesarnya saat ini adalah ibu hamil itu terlalu malas untuk merawat diri semenjak mengandung. Bahkan untuk menyisir rambut, Arra lebih sering mangandalkan bantuan dari suaminya. Kalau kata orang, semua itu karena gawan bayi. Yah, meskipun begitu, Arra tetap berusaha tampil serapi mungkin saat bertemu orang lain. Sebisa mungkin Arra menjaga agar orang lain tidak ilfeel bertemu dengannya walaupun harus melawan rasa malasnya mati-matian.

Arra menatap layar ponselnya yang terkunci. Ia merapikan poni yang berantakan diterpa angin saat menuju ke klinik bersalin. Hari ini adalah jadwal Arra periksa ke dokter kandungan. Seharusnya Arra sudah terbiasa check up tanpa ditemani sang suami. Namun, dalam hati kecilnya terbesit rasa kecewa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia masih terus berharap, Ranji membuat kejutan dengan tiba-tiba muncul di klinik bersalin untuk menemuinya. Ah, sayang. Ini bukanlah acara setting-an yang biasa ia tonton di Youtube.

Di kursi tunggu ada beberapa pasangan yang saling bercengkerama sambil menunggu antrean. Hanya Arra yang datang sendiri tanpa ditemani siapapun. Alun, adik laki-lakinya pun hari ini tidak bisa menemani karena sedang ada urusan. Bagi Arra, Alun adalah adik yang baik. Alun selalu menjadi adik yang bisa diandalkan. Bukan hanya karena bisa disuruh-suruh, ia juga bisa menjelma sebagai sosok body guard yang siap menghajar siapa saja, yang berani mengganggu kakaknya. Terbukti, Alun pernah membogem Ranji gara-gara membuat Arra menangis. Ranji tertangkap basah oleh Arra jalan dengan wanita lain sewaktu mereka masih pacaran.

Arra menghela napas panjang sambil mengelus perutnya yang buncit. Ia harus berusaha membuang pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat suasana hatinya buruk. Berulangkali Arra meyakinkan diri sendiri kalau Ranji tidak menemani check up karena belum waktunya saja. Masih ada waktu 18-19 minggu sebelum bayinya lahir.

Seorang perawat memanggil nama lengkap Arra. Wanita berambut sebahu itu langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Selamat siang, Bu Arra,” sapa lelaki berjas putih. “Suaminya nggak ikut lagi?”

“Siang, Dokter Ibrahim. Em, dia sedang sibuk. Sudah terbiasa sendiri juga, Dok.”

Dokter Ibrahim tersenyum. “Sekali-kali bilang sama suami, suruh beliau menemani kamu. Saya perlu bicara juga sama beliau. Nggak bagus membiarkan ibu hamil check up sendiri. Bikinnya berdua, ya merawatnya berdua juga. Harus kompak.”

Arra hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan. Sebenarnya sejak pertama kali memeriksakan kandungan, Dokter Ibrahim sudah meminta Ranji untuk datang. Namun selalu saja ada halangan yang tak lain adalah perihal pekerjaan. Arra sendiri tidak enak terus-terusan merengek minta ditemani dengan Ranji. Bagaimanapun, pekerjaan adalah hal penting untuk masa depan mereka. Saking pentingnya hingga membuat mereka lupa, bahwa sebenarnya keluargalah yang nomor satu. Uang memang bisa dicari, tetapi kehangatan keluarga tidak akan pernah bisa dibeli.

Dokter Ibrahim meminta Arra berbaring untuk pemeriksaan ultrasonografi atau lebih dikenal dengan USG. “Bulan lalu sudah tahu, ya kalau bayinya perempuan?”

“Sudah, Dok. Rasanya nggak sabar pengin cepat bertemu,” seloroh Arra yang dibalas senyuman oleh Dokter Ibrahim. “Gimana perkembangannya, Dok?”

“Nah, ini janinnya. Perkembangannya bagus. Semua normal. Jaga pola makan. Hindari stres, karena bisa mempengaruhi kondisi bayi. Sebisa mungkin bergerak ya, tapi jangan sampai kecapaian. Masih ikut kelas yoga ibu hamil?” tanya dokter sekaligus mengakhiri pemeriksaan USG.

After Giving BirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang