Arra melemah. Wajahnya semakin pucat sejak menerima telepon dari Ranji. Sebenarnya Ibu Ranji tetap optimis Arra bisa melahirkan secara normal, tetapi putra semata wayangnya itu marah besar. Ranji meminta ibunya untuk segera menandatangani surat persetujuan operasi. Di dunia ini, tidak ada yang lebih penting jika berurusan dengan nyawa seseorang. Begitulah yang Ranji ucapkan hingga membuat ibunya luluh.
Memasuki ruang operasi, air mata pertama Arra jatuh. Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau ibu mertuanya menginginkan Arra melahirkan secara normal. Suster dan dokter Ibrahim, bahkan harus berulang kali melakukan negosiasi agar Arra segera mendapatkan tindakan medis.
"Dalam hitungan jam, Ibu Arra akan segera bertemu bayi yang selama ini hanya bisa dilihat ketika USG saja. Jadi, berhenti memikirkan hal yang negatif. Semangat, Ibu Arra!" kata dokter Ibrahim sambil tersenyum.
Arra membalas senyum tulusnya. Setidaknya perkataan dokter Ibrahim barusan mampu menghangatkan hati, dari dinginnya ruang operasi.
Ranji datang ketika Arra sudah dipindahkan ke ruang pemulihan. Setelah membersihkan diri, ia langsung bergegas mengadzani bayinya. Ada bulir air mata yang keluar ketika melihat putrinya yang cantik terlelap. Rasa bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Ranji sudah resmi menjadi seorang ayah. Terhitung hari ini, hidupnya akan berubah. Semua akan berbeda. Tugasnya akan bertambah, yakni merawat dan membesarkan putrinya.
Ranji terus menggenggam tangan Arra dan menciumnya berkali-kali. Ada rasa bersalah yang diam-diam mengendap dalam hatinya. Ia merasa telah gagal menjadi suami yang baik. Terbukti, tidak pernah sekalipun ia mengantarkan istrinya check up bulanan. Bahkan, di saat sang istri mempertaruhkan nyawa, ia tetap tidak ada di sampingnya.
Arra perlahan membuka kelopak mata. Melihat sang suami berada di sampingnya, membuat Arra tersenyum getir. Semua memang sudah berlalu. Arra mampu melewatinya seorang diri. Seharusnya, setelah ini hidup mereka akan baik-baik saja. Arra akan menjadi ibu yang baik dalam mengasuh putrinya. Serta Ranji, akan menjadi suami yang bisa diandalkan. Ya, memang seharusnya begitu.
Beberapa teman dan kerabat mulai menjenguk Arra sejak hari pertama putrinya dilahirkan. Beberapa orang mendoakan yang baik-baik, namun ada juga yang kepo dengan proses persalinannya. Arra lelah berulang kali menceritakan cerita yang sama dan berulang kali pula ibu mertua menambahkan cerita yang membuatnya tidak nyaman.
"Kok bisa sesar, sih? Bukannya kamu rajin yoga, ya?" tanya keponakan Ibu Ranji.
"Ketubanku merembes, sementara itu aku belum merasakan kontraksi sama sekali. Posisi bayi juga belum siap untuk melahirkan secara normal," jelas Arra.
"Padahal Tante ini sudah berusaha semaksimal mungkin biar Arra bisa melahirkan secara normal. Sudah beli obat herbal, tapi Arra nggak mau minum. Makan pisang sama kurma juga cuma satu gigitan," tambah ibu mertuanya.
"Kalau masih bisa diusahakan normal, kenapa harus buru-buru mengambil keputusan sesar? Kebanyakan dokter zaman sekarang nggak mau ambil risiko, makanya nyuruh pasiennya cepat-cepat sesar."
"Nah, makanya itu. Zaman Tante dulu jarang ada yang sesar. Nggak kayak sekarang, ada masalah dikit saja langsung sesar," ujar ibu mertuanya.
Arra terdiam. Ia tidak berniat menanggapi perkataan ibu mertuanya. Rasa sakit bekas jahitan di perut tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit di hatinya. Harus banget mempermasalahkan proses persalinan normal dan sesar di depan Arra yang masih terkulai lemas di ranjang klinik bersalin? Kalau boleh memilih, Arra juga ingin melahirkan secara normal.
Melihat perubahan air muka istrinya, Ranji berdeham dan beranjak dari sofa untuk mendekati Arra. "Melahirkan normal atau sesar itu sama-sama mempertaruhkan nyawa. Arra hebat lho Bu, sudah mempertaruhkan nyawanya demi anakku. Seorang diri, di ruang operasi lagi."
Seisi ruangan bungkam. Suasana menjadi hening. Ini bukan kali pertama tamu datang membahas soal persalinan sesar. Sebelumnya Ranji hanya menganggap sebagai obrolan sewajarnya. Namun lama kelamaan ia mulai jengah. Sang istri mulai kehilangan rona bahagia di wajahnya. Ini tidak wajar.
Ranji tidak ingin istrinya yang baru saja berjuang mempertaruhkan nyawa, harus mendengar komentar menyudutkan hanya soal proses persalinan. Bukankah, semua yang terjadi atas kehendak Tuhan? Kalau boleh menentukan jalan mana yang harus dipilih, Arra akan memilih melahirkan secara normal dan ditemani suaminya. Namun baik Arra maupun Ranji, tahu betul jalan mana yang harus ia pilih. Meskipun sebenarnya jalan yang terbaik, bukanlah yang mereka inginkan.
*
Arra dan Ranji sepakat memberi nama putrinya, Denting nadina larang. Separuh nyawa mereka adalah putrinya. Pemilihan nama yang cocok untuk menggambarkan betapa berharganya kehadiran sang buah hati.
Hari ketiga Denting dilahirkan, permasalahan baru mulai muncul. ASI Arra belum juga keluar sehingga membuat ibu baru itu terus dihantui rasa bersalah. Ibu mertua yang super protektif terus mengusahakan agar cucunya bisa minum ASI. Beberapa jam sekali, Arra harus mengonsumsi sayur daun katu yang dipercaya dapat melancarkan ASI.
Dokter Ibrahim sudah menjelaskan mengenai kondisi ASI Arra yang belum keluar. Kondisi mood yang buruk dan beberapa faktor pemicu stres setelah melahirkan dapat membuat hormon oksitosin menurun sehingga membuat produksi ASI terhambat. Oleh sebab itu, dokter Ibrahim meminta Arra agar selalu bisa menjaga suasana hatinya.
"Masih belum keluar juga, Ra?" tanya Ibu mertuanya.
Arra menggeleng pelan. "Nanti rencananya mau ke dokter laktasi, Bu."
"Ini pasti gara-gara lahir sesar. Jadi susah keluar ASI," ceplosnya.
Mulai dibahas lagi, batin Arra. "Kita akan menanyakan kepada ahlinya, Bu. Semoga tidak seperti yang Ibu pikirkan."
Ibu mertuanya menghela napas. "Ya sudah. Ibu mau pulang. Jaga Denting baik-baik, ya. Besok pagi Ibu ke sini lagi sambil bawain kamu sayur daun katu lagi."
Arra mengangguk dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Ranji berada di ruang kerjanya ketika Denting mulai rewel. Dua malam kemarin Arra tidak terlalu lelah karena masih di rumah sakit. Apalagi ada ibu mertua yang membantunya.
Arra membuatkan susu formula, namun putrinya enggan meminum. Suara tangis Denting yang cukup keras membuat kepalanya berdenyut. Berbagai cara sudah dilakukannya namun Denting tetap menangis. Diam-diam air mata Arra mulai menetes. Ia merasa menjadi ibu yang tidak berguna karena apapun yang ia lakukan tetap membuat putrinya menangis.
Arra meletakkan Denting di atas ranjang sementara dirinya pergi menjauh. Ia berdiri menyender tembok sambil menjambak rambutnya sendiri. Bersamaan dengan itu, komentar-komentar negatif yang ia dengar tentang persalinan sesar kemarin berputar di otaknya.
Ranji masuk ke dalam kamar dan terkejut melihat pemandangan barusan. "Ra, kamu kenapa?"
Arra tidak menjawab. Ia hanya menangis sambil melihat putrinya dari kejauhan.
"Cup cup cup ... jangan menangis lagi ya, Sayang. Papi ada di sini," ucap Ranji sambil mengecek popok yang basah. "Ra, Denting pipis makanya dia rewel. Bantu dia ganti popok dulu, ya?"
"Andai kamu ikut kelas new born, pasti kamu bisa gantiin popok Denting," ucap Arra datar. Tatapannya kosong.
Ranji mendekati Arra. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. "Maafin aku ya, Sayang. Kamu pasti lelah. Bantu Denting ganti popok dulu, ya. Nanti aku pijitin. Oke?"
Arra tidak menjawab, tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Air mata terus menetes dari pipinya.
Ranji semakin kacau. Dua wanita di kamarnya sama-sama menangis dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Seharusnya sekarang mereka sedang bahagia menyambut kehadiran Denting. Ya, seharusnya begitu. Namun mengapa justru pemandangan menyedihkan yang ia lihat malam ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
After Giving Birth
RomanceArra Elsauna, seorang istri Ranji Larang, sekaligus pemilik Rumah Kreasi. Arra merasa dirinya mampu mengurus pekerjaan rumah tangga, tetap menjadi guru di Rumah Kreasi, dan mengikuti kelas ibu hamil. Saat kandungan Arra sudah memasuki 36 minggu, air...