Chapter 3

382 64 59
                                    

Bagaimana dengan Felix?”
 

*******************

      “Apakah aku boleh membawa Felix?” pertanyaan Hyunjin membuat Suzy menoleh dan mengernyit heran.

      “Siapa Felix?” tanya Suzy bingung. Wajah Hyunjin berubah gelap.

      “Mom, kau benar-benar tidak mengingat Felix? Teman masa kecilku?” tanya Hyunjin dengan suara jengkel. Suzy mengingat teman masa kecil Hyunjin hingga ia menepuk tangannya kuat.

      “Ah! Felix?” tanya Suzy sambil mengangguk.”Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Jeongin?” Hyunjin terkejut dan mengalihkan perhatiannya kepada Suzy.

      “B-Blue?” tanya gugup. Ia merindukan lelaki itu. Sangat. Ia sudah menolak Jeongin mentah-mentah. Karena, Hyunjin tahu jika ia tidak bersikap seperti itu, Jeongin akan selalu mendekatinya. Hyunjin tak ingin melihat Felix cemburu. Felix juga sudah sering mengatakan bahwa ia tidak suka melihat Hyunjin begitu dekat dengan Jeongin.

      “Ya, Blue. Kau lupa? Mereka akan makan malam bersama kita besok malam.” Jantung Hyunjin hampir berhenti mendengar ucapan Ibunya.

      “Blue..akan ikut makan malam?” tanya Hyunjin sekali lagi. Suzy memutar bola matanya menatap Hyunjin sebal.”Mengapa? Kau tak suka ia datang kemari? Oh ya, Ibu Jeongin bertanya mengapa kau jarang ke rumahnya? Jeongin tak pernah keluar dari kamarnya dan jarang ikut makan, kau tahu. Jangan-jangan itu karena ia merindukanmu.” Hyunjin hanya terdiam dan menggonta-ganti channel di televisi di depannya. Berusaha mengalihkan pikirannya yang dipenuhi oleh Jeongin. Mengapa lelaki itu tidak keluar dari kamarnya? Mengapa lelaki itu tidak makan? Sial, mengapa aku mengkhawatirkannya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkeliaran di dalam pikiran Hyunjin.

      Di satu sisi, Jeongin sedang memandang keluar jendela. Hari masih cerah dan ia sama sekali tidak berniat untuk keluar. Ia berharap bahwa hari esok tak akan pernah datang. Jeongin masih mencintai Hyunjin, tentu saja. Itu tak perlu diragukan lagi. Jeongin melirik ke arah tirai jendela berwarna pink muda yang selalu ia buka untuk berkomunikasi dengan Hyunjin. Apakah ia harus membukanya? Ah, Hyunjin tak akan tahu bila ia membukanya. Toh, Hyunjin juga tak pernah membuka jendela kamarnya bila bukan karena dirinya.

      Jeongin menyingkap tirai tersebut dan matanya terbelalak kaget saat melihat Hyunjin juga sedang menyingkap tirai jendela kamarnya. Mereka saling menatap dengan rasa keterkejutan yang tak ditutupi. Hyunjin menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jeongin menggigit bibirnya. Sepertinya, mereka memang terlihat saling merindukan. Buktinya, tak ada diantara mereka yang berniat menutup tirai jendela tersebut. Hyunjin membuka daun jendelanya dengan lebar dan begitu juga dengan Jeongin.

      “Hei, duck.” Ucap Hyunjin gugup.

      “Hei.” Jawab Jeongin singkat. Mereka saling bertatapan dan menunduk satu sama lain. Jeongin melirik Hyunjin yang begitu gugup dan tertawa kecil.”Kita begitu aneh.”

      “Setuju. Sudah berapa hari?” tanya Hyunjin dan menatap Jeongin dengan senyuman.

      “Seminggu lebih dua hari.” Jawab Jeongin singkat.

      “Pakai mantelmu. Kau akan sakit bi—“

      “Hentikan. Jangan memakai nada itu ketika berbicara denganku.” Suara Jeongin terdengar memohon. Hyunjin terdiam. Ia benci mendengar suara Jeongin yang terdengar tersakiti.”Bagaimana kabarmu dan Felix?”

      “Baik. Ia akan ikut makan malam besok.” Ucapan Hyunjin membuat Jeongin tertunduk dan tersenyum disaat yang sama air matanya menetes.

Blue Christmas | HYUNJEONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang