Waktu bergulir begitu lambat, seakan turut mengiringi kesedihan Olivia. Perlahan sang ayah memapah putrinya dan diikuti oleh Bella. Dokter Vela pun masih setia menemani, hatinya tersentuh melihat kekompakan keluarga itu. Ya, sebagai seorang wanita yang sensitif, tentu ia juga merasakan sedikit sakit di relung hati melihat duka pasien.
"Dokter Vela, terima kasih atas motivasi dan bantuannya. Kami pamit pulang dahulu, bukankah Anda juga harus piket?" Ozan tersenyum getir dan tertunduk.
"Benar, Dokter Ozan. Semoga kalian dapat melalui ini dengan lapang dan seperti yang saya katakan. Percayalah, Tuhan akan memberikan keajaiban. Teruslah berdoa dan berusaha," tutur dokter wanita itu sebelum berlalu pergi.
"Terima kasih, Dok." Mereka serentak menjawab.
Mereka bertiga pun meninggalkan rumah sakit itu dengan harapan baru. Ozan mengemudikan mobil dengan sangat hati-hati, sesekali ia melirik putrinya dan Bella dari spion dalam. Kedua harta berharganya itu tampak larut oleh perasaan masing-masing. Olivia tampak begitu lelah dan sangat pucat.
"Olivia, kamu baik-baik saja?" tanya Ozan yang mulai khawatir.
Olivia tersentak dan menyunggingkan senyum. "Iya, Yah. Oliv baik-baik saja, hanya sedikit mengantuk."
"Tidurlah, nanti ayah bangunkan."
Gadis itu mengangguk pelan, sebenarnya ia merasa sedikit pusing bukan mengantuk. Hanya saja Olivia tidak ingin membuat ayah dan bundanya panik lagi. Toh, obat-obatan sudah tersedia. Sesampainya di rumah ia akan beristirahat saja.
Lima belas menit berlalu, kini mereka tiba di kediaman Ozan. Manik mata lelaki itu terbelalak, melihat sebuah mobil terparkir di depan pintu gerbang. Ozan menekan klakson beberapa kali, agar petugas keamanan segera membuka. Tak lupa dirinya membangunkan Olivia terlebih dahulu.
"Olivia, bangun. Kita sudah sampai di rumah." Ozan mengguncang pelan tubuh putrinya yang terasa hangat.
Bella menatap Olivia dengan sendu, sepandai apapun ia menutupi kesedihan. Itu tetap terlihat dari wajah cantik yang membuat Ozan takluk. Putri kecil yang ia timang dengan sepenuh hati, kini harus berjuang melawan sakit. Tanpa Bella bisa melakukan apapun selain dukungan penuh.
"Bukankah ini mobil ... Kak Rehan?" bisik Olivia ketika melihat kendaraan yang terparkir.
Gadis itu menggeleng pelan, berusaha menepis pemikirannya sendiri. Dugaannya mungkin saja keliru, ia kembali mengikuti kedua orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah. Ketika mereka memasuki ruang tamu, tampak seorang lelaki duduk sembari menikmati secangkir minuman. Siapa dia? Relasi ayah?
Di waktu yang bersamaan asisten rumah tangga mereka menghampiri sang majikan dengan terpongoh-pongoh. Wanita itu menunduk hormat tepat di hadapan Ozan, lengkap dengan apron di dadanya.
"Se-selamat datang, Tuan. Mohon maaf saya lancang meminta Den Rehan masuk, tadi beliau menunggu di luar," ucap salah satu asisten rumah Olivia.
Hah! Benarkah ini? Apa Olivia sedang bermimpi? Kepalanya terasa berdenyut-denyut ketika ia berusaha mencerna. Lelaki berkemeja biru itu membalikkan badan ketika mendengar suara asisten dan bergegas bangkit. Ia memberi salam pada Ozan dan juga Bella, lalu melempar senyum ke arah Olivia yang tampak sembab. Hey, ada apa ini?
Kedua orang tua Olivia menyambut kedatangan Rehan dengan senyum keterpaksaan. Entah, bagaimana jadinya jika lelaki itu tahu putri mereka yang notabene adalah kekasihnya dalam keadaan tidak sehat. Akhirnya kedua orang tua Olivia meninggalkan sepasang kekasih tersebut untuk melepas rindu.
"My Lovely Olivia, apa yang terjadi? Mengapa mata yang indah ini sembab?" tanya Rehan dengan kening berkerut.
"Kamu baik-baik saja kan?" Rehan mengernyitkan alis.
Manik mata lelaki itu mengamati setiap inchi bagian tubuh Olivia, wanitanya tampak lebih pucat. Sorot mata yang biasa berbinar menjadi redup dengan kantung mata yang menghitam. Apakah Olivia tidak cukup tidur beberapa hari?
"Tidak apa-apa, aku tadi hanya menonton film sedih dengan ayah dan bunda. Kak Rehan pulang kapan? Bukankah masih di London kemarin lusa?"
Ya, benar yang dikatakan Olivia. Lelaki itu kemarin lusa masih berada di London, ia melanjutkan jenjang pendidikan di University of College. Salah satu universitas yang berhasil mencetak dokter-dokter hebat. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya, membentuk lengkungan manis.
"Duduklah, Kak. Maaf, sudah lama menunggu? Kenapa tadi tidak memberi kabar dahulu?" cecar Olivia dengan nada lirih.
Energinya seperti berkurang setengah, beberapa hari belakangan ini Olivia sering merasa lelah. Seluruh tubuhnya nyeri dan itu membuatnya harus bekerja keras agar bisa tertidur. Belum lagi jika rasa sakit di kepalanya menghujam.
"Aku merindukanmu, Sayang. Ternyata untuk melepas rindu itu, aku masih harus menunggu," rajuk Rehan sembari mengerucutkan bibir.
Olivia terkekeh dan lagi-lagi isi dalam otaknya seakan berdenyut hebat. Ia memejam sesaat dan memijat kepalanya perlahan. Rehan yang melihat hal itu segera mendekat, mengusap lembut wajah Olivia yang seperti kapas.
"Kamu kenapa, Sayang?" Rehan mulai khawatir melihat gesture tubuh Olivia yang tak biasa.
Sekali lagi, lelaki itu mengamati kekasihnya dari dekat. Bibir ranum alami Olivia tampak kering dan sedikit terkelupas. Sorot netra yang biasa mengalihkan dunia itu temaram.
"Sayang-" Kalimat Rehan terhenti ketika Olivia menempelkan jari telunjuknya di bibir lelaki itu.
"Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan. Durasi film tadi sangat panjang. Apa Kak Rehan kemari hanya untuk menggodaku? Hmm ...." tanya Olivia dengan kerlingan.
Lelaki mana yang tidak akan jatuh ke dalam kerlingan mata Olivia, netra yang indah dan menenangkan. Ia percaya atas alibi kekasihnya itu. Tanpa membuang waktu Rehan meraih sebuah amplop dari tasnya, bagian depan benda itu tampak tertulis dengan bahasa inggris. Ia tersenyum lebar dan menyelipkan benda itu di antara jemari.
"Coba tebak ini apa?" Rehan memiringkan sedikit kepala untuk mengintip Olivia.
Wanita itu menggeleng ringan lalu berbisik, "Tidak tahu, apa itu?"
Rehan merapatkan posisi duduknya dan tersenyum lagi. "Ini adalah hasil tesmu, Sayang! Coba bukalah."
Seketika raut wajah Olivia berubah muram. Ternyata maksud kedatangan Rehan untuk memberi kabar gembira ini. Membawa hasil tes online yang Olivia lakukan untuk pendaftaran universitas di Inggris. Olivia bingung, jangankan melanjutkan kuliahnya, sampai kapan ia dapat bertahan hidup saja masih menjadi tanda tanya.
"Ah, iya. Terima kasih, Kak Rehan." Olivia meraih amplop itu dengan senyum getir.
Rasanya ingin sekali ia menangis, tetapi ini bukan saat yang tepat. Didongakkan sedikit wajahnya untuk melihat ekspresi Rehan. Lelaki itu tampak bersinar, sorot matanya berbinar bagaikan ribuan bintang yang menghiasi angkasa. Mana mungkin ia tega menghancurkan kesenangan sang kekasih dengan mengatakan kebenaran.
"Ayo buka amplopnya, Sayang," desak Rehan sekali lagi.
Darah daging Ozan dan Bella itu menarik napas dalam-dalam, ekor matanya melirik sang kekasih yang tampak tak sabar menunggu. Akhirnya ia mengalah, jemari yang tampak kurus itu bergetar menyentuh ujung amplop cokelat yang dipegangnya. Jantungnya berdegub tak karuan, untuk yang pertama kalinya ia berharap tidak lulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Olivia
RandomLeukimia, pernah menjadi mimpi buruk bagi seorang gadis yang dipuja dua lelaki sekaligus. Olivia Dera Bellvaria, dia harus memilih dua pilihan. Keluarga dan kekasih yang selalu mencemaskan dirinya, ataukah seorang dokter yang berusaha semaksimal mun...