Chapter 18

264 17 0
                                    

Suara sirene memenuhi kediaman Olivia. Tiga orang petugas medis memasuki hunian berkelas itu dengan tergesa-gesa. Mereka dengan piawai memindahkan tubuh Olivia di tandu. Bella dengan cepat mengikuti petugas medis yang membawa putrinya. Seorang perawat tampak panik melihat perubahan wajah Olivia yang kian pias dan bibir yang membiru.

"Ndi, Andi, tolong percepat sedikit. Tampaknya pasien sangat membutuhkan pertolongan lebih lanjut dan ini bukan ranah kita," ucap perawat muda pada perawat lain yang mengemudikan ambulans sambari memeriksa tubuh Olivia.

Mendengar ucapan sang perawat hati Bella bagaikan terbelah, bagaimana tidak? Sejam yang lalu ia masih bercanda gurau dengan Olivia. Saat ini untuk membuka netra saja putrinya tak mampu. Tuhan, cobaan macam apa lagi yang Engkau berikan pada gadis malang itu? Dia baru saja menyesap indahnya kebebasan. Istri Ozan itu menatap sendu sang perawat.

"Sus, putri saya baik-baik saja kan?" tanya Bella sambari menyeka air mata.

Perawat wanita itu menelan salivanya sendiri. "Kita berdoa saja ya, Bu. Saya tidak dapat memastikannya sekarang."

"Untuk sementara kami sudah melakukan yang terbaik."

Mobil ambulans itu bergerak sangat cepat, tak ada yang berani menghalangi lajunya. Sang sopir yang tampak tegang, lurus memandang jalanan agar fokus. Lelaki itu memandang wajah pasien dari balik spion dalam.

"Sus, coba cek sekali lagi kondisinya."

Perawat muda itu mengangguk dan kembali memeriksa kondisi Olivia, ia menyentuh pipi gadis itu dan memanggil dengan sebutan Nona. Namun, kekasih Rehan itu tetap tidak memberi respon. Netra yang menyimpan banyak harapan itu terkatup rapat, bahkan tak ada celah bagi cahaya untuk menerobos masuk.

"Olivia, bangun, Sayang. Bunda tahu Olivia hanya tertidur," ujar Bella yang mulai tak mampu mengontrol emosi.

Perawat pertama mengusap bahu Bella lembut. "Tenanglah, Bu. Tuhan pasti akan mendengar doa Anda."

Sementara itu perawat lain menyentuh pergelangan tangan Olivia untuk memastikan pasien masih bernapas dan terdapat denyut nadi di lehernya. Manik mata pekerja medis berpipi tembam itu terbelalak. Denyut nadi Olivia melemah! Pertanda fatal bahwa otak kekurangan pasokan darah, sehingga asupan oksigen dan gula darah ke otak juga berkurang. Sehinga kinerja jantung untuk memompa darah melambat.

"Apa yang harus kita lakukan? Posisi pasien sudah terlentang dan kakinya berada di posisi lebih tinggi dari dada. Namun, denyur nadinya melemah," ucap perawat yang kedua panik.

Padahal semua tindakan yang mereka lakukan ini berfungsi untuk mengembalikan aliran darah kembali ke otak. Namun, Olivia masih bergeming. Keadaan semakin rumit dan Bella hanya mampu menangis. Tak lama kemudian mereka telah tiba di rumah sakit, para pekerja medis itu menurunkan ranjang dorong hati-hati.

Kemudian menggerakan benda itu setengah berlari agar pasien segera mendapatkan pertolongan. Keempat manusia itu begitu panik, terutama Bella. Ia bahkan tidak menghubungi sang suami yang juga bekerja di tempat itu.

"Dok, tolong bantu putriku," pinta Bella pada Dokter Vela yang akan menangani Olivia.

Dokter wanita itu hanya mengangguk dan mempercepat langkah. Beberapa perawat tampak mengikutinya. Pintu ruangan gawat darurat telah ditutup. Sekarang di balik pintu itu Olivia harus berjuang sendiri. Sedangkan Bella hanya bisa menunggu di depan ruangan sambari menangis. Tak hentinya wanita itu berdoa, memohon agar sang putri segera sadar kembali.

"Tuhan, aku mohon selamatkan putriku. Biarkan dia hidup lebih lama lagi," ratap Bella dengan suara sengau.

"Betapa bodohnya aku! Seharusnya aku tidak membiarkan Olivia membuat kue kedua! Aku telah gagal menjadi seorang ibu!" rutuk Bella dengan menangkup wajah.

Wanita itu benar-benar merasa hancur untuk kedua kalinya. Ia merasa sangat tidak berguna, sebagai seorang ibu tugasnya adalah menjaga buah hati yang merupaka amanah Tuhan. Namun, sekuat apapun ia menyalahkan diri tidak akan berpengaruh pada kondisi Olivia. Anak gadisnya yang malang, berjuang kembali untuk memperoleh kehidupan.

Dari arah yang berlawanan Dokter Ozan tampak berlari di koridor. Napasnya tersengal melihat istrinya yang menangis. Setelah mendapatkan laporan dari salah satu perawat, lelaki itu langsung mencari Bella. Beruntungnya saat itu Dokter Ozan tidak sedang menangani pasien. Tanggung jawab yang besar terpikul di pundaknya, gelar kehormatan sebagai seorang dokter tidak ada artinya jika dibandingkan gelar sebagai seorang ayah.

"Bunda, ap-apa yang terjadi dengan Olivia?" Lelaki itu merengkuh bahu Bella.

Wanita yang telah lama membangun mahligai cinta bersama Ozan itu menggeleng dan meraung. Isak tangisnya terdengar pilu dan mendalam. Satu jam berlalu dan akhirnya Dokter Vela keluar UGD. Wajah dokter itu tampak pucat dan gelisah.

"Dokter Ozan, bisa kita bicara sebentar."

Ozan mengangguk dan menghampiri Dokter Vela. "Ada apa, Dok? Bagaiman dengan Olivia?"

"Maaf, saya tidak dapat membantu. Kondisi Olivia saat ini benar-benar kritis, secara mendadak kondisi kesehatan gadis itu memburuk. Apa dia melakukan banyak aktivitas berat sebelumnya?"

Ozan terdiam dan berusaha mengingat apa saja yang dilakukan sang putri ketika berada di rumah. "Tidak, Olivia tidak pernah melakukan olahraga atau aktivitas yang akan membebani kondisinya."

"Bagaimana jika Anda segera membawa Olivia ke Singapura untuk mendapatkan pertolongan terbaik dari Dokter Gustin. Beliau terbukti telah membawa perkembangan yang baik atas kesehatan Olivia. Dan didukung oleh peralatan yang lebih canggih," saran Dokter Vela.

"Lakukan secepatnya, Dokter Ozan. Segera hubungi pihak Singapore atas perkara ini. Kita tidak bisa menunda lagi."

Ayah Olivia itu mengangguk setuju dan menghampiri sang istri. "Kita akan membawa Olivia kembali ke Singapura."

Mereka mengatur keberangkatan Olivia ke negara berikon kepala singa itu. Bella kembali ke rumah untuk mengambil beberapa dokumen penting milik Olivia, seperti paspor dan visa. Ia tidak ingin pengobatan sang putri terkendala oleh hal-hal sepele.

Sementara itu Dokter Ozan sibuk memesan tiket pesawat secara online dan menghubungi pihak National Cancer Centre. Memastikan kembali agar rumah sakit tersebut secepatnya menerima kedatangan Olivia.

"Terima kasih, Edward," ucap Dokter Ozan di akhir pembicaraan dengan direktur rumah sakit tempat Gustin bekerja.
-*

Direktur rumah sakit tersebut segera menghubungi Gustin agar dokter piawai itu mempersiapakan diri untuk pengobatan Olivia. Lelaki itu merasa sedih dan cemas atas kesehatan pasien istimewanya tersebut. Namun, di sisi lain lelaki itu juga merasa bahagia karena dia dan Olivia akan berjumpa kembali.

Gelisah dan juga berbunga-bunga, begitulah perasaan Gustin. Tak dapat ia pungkiri bahwa hatinya telah terpaut pada Olivia. Selepas mendapatkan kabar, ia berjalan mondar-mandir. Baginya menunggu adalah hal yang membosankan, sangat-sangat menjemukan. Ia berpikir dan terus berpikir, upaya apa yang akan dilakukan terlebih dahulu setibanya Olivia di sana. Keselamatan wanita itu adalah prioritas baginya, kesempatan bertemu lebih cepat ini mungkin tak akan terulang kembali.

My Lovely OliviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang