Derit pintu ICU terdengar menggema, memenuhi ruangan di mana Olivia berada. Tubuh anak gadis Bella itu tergeletak lemah, berbagai peralatan medis berjajar dan selang oksigen terpasang untuk membantu keberlangsungan hidup. Namun, Olivia tidak kunjung membuka matanya juga hingga hari ketiga.
Dokter Gustin yang juga berada dalam ruangan itu tampak gelisah. Entah untuk yang ke berapa kali lelaki itu memeriksa raga yang bergeming tersebut. Sorot netranya nanar memandang Olivia yang bahkan tak mampu mengucapkan satu kata pun.
"Dokter, menurut data statistik. Pasien tidak mengalami perkembangan apapun selama dirawat. Tindakan apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Suster Jean.
"Kita tunggu perkembangannya besok, selama jantungnya masih memompa darah dengan baik. Pasien ini masih memiliki harapan untuk pulih," jawab Dokter Gustin penuh asa.
"Semoga itu benar terjadi. Maaf, saya lancang bertanya, Dok. Kira-kira berapa prosentase kehidupan pasien dengan keadaan koma seperti ini?" tanya Jean lirih.
Perawat yang baru beberapa bulan bekerja satu divisi dengan Dokter Gustin itu menanti jawaban. Sesekali ia menghela napas dan menggeleng, merasa iba dan simpati atas keadaan Olivia. Pasien yang baru saja meninggalkan ranjang pesakitan harus kembali berjuang.
"Itu ... sudahlah jangan membahas hal seperti ini di depan pasien, Sus. Kita-"
Tiba-tiba suara alat perekam detak jantung melengking keras. Dokter Gustin dan Suster Jean terbelalak kaget. Mereka berdua serentak menatap layar monitor yang memantau detak jantung Olivia. Garis lurus terbentang dan suara peringatan terus bergema.
"Dok, pasien mengalami gagal jantung!" pekik Jean panik.
"Cepat siapkan alat pemacu jantung segera! Tunggu apa lagi!" sentak Dokter Gustin kalang kabut.
Tak butuh waktu lama Suster Jean telah membawa peralatan medis yang mereka butuhkan sambari berlari kecil. Ia juga memanggil beberapa perawat lain untuk membantu. Alat medis itu diletakkan Dokter Gustin tepat di dada Olivia. Satu kali percobaan, tidak membuahkan hasil!
"Ayolah, Olivia. Bertahanlah, aku tidak ingin kehilanganmu," bisik Dokter Gustin sangat lirih, hampir tak terdengar.
Lelaki itu mencoba kembali, dan keajaiban terjadi pada percobaan kedua tubuh Olivia memberikan respon. Dengan cepat Dokter Gustin melalukan tindakan CPR untuk membantu agar aliran oksigen kembali memenuhi otak. Kemudian memasang kembali selang oksigen. Seluruh petugas medis yang berada di sana mengembuskan napas lega.
"Syukurlah kondisi jantungnya kembali stabil. Suster Jean, Setelah ini kita akan langsung melakukan Ct- scan guna mengetahui perkembangan sel kankernya," titah Dokter Ozan dengan wajah pias.
"Baik, Dok. Apa Anda membutuhkan sesuatu lagi?" tanya perawat bermanik mata biru itu.
"Tidak, itu saja cukup." Dokter Gustin bersandar pada dinding yang berada tepat di samping Olivia.
Kejadian barusan hampir membuat dirinya hilang kendali. Bagaimanapun ia tidak akan membiarkan Olivia pergi, jika memang Tuhan masih memberikan kesempatan kedua untuk wanita itu. Dirinya akan melakukan segala upaya untuk kembali melihat senyuman Olivia.
"Dok, semuanya sudah siap. Bolehkah saya memindahkan pasien sekarang?"
Dokter Gustin menghela napas. "Ya, lakukan dengan hati-hati. Jangan sampai melakukan kesalahan fatal."
"Baik, Dok," jawab kedua perawat wanita itu serentak.
Satu jam berlalu, Dokter Gustin memandangi tubuh Olivia yang perlahan terdorong masuk ke dalam alat medis berbentuk silinder raksasa tersebut. Lelaki beririrs hazel itu mengamati dengan seksama monitor yang memantau kesehatan Olivia. Tampak ia menggeleng pelan dan memijat kepalanya.
"Semoga dugaanku keliru, Olivia harus tetap bertahan. Harus!"
Hasil pemeriksaan pun keluar, berkali-kali Dokter Gustin membaca ulang. Ketika memastikan bahwa apa yang ia lihat benar adanya. Lelaki itu mendengkus dan menoleh ke arah Olivia. Ia menghampiri sang pasien dengan sangat terpuruk.
"Olivia, bertahanlah. Aku tidak ingin kaupergi lagi, asal kau tahu hari-hariku tanpa senyum dan ocehanmu begitu hampa." Dokter Gustin memberanikan diri untuk menyentuh tangan Olivia.
"Aku berjanji akan melakukan apapun untukmu. Bertahanlah," sambung Gustin lagi.
Jemari-jemari kurus yang masih tampak terawat itu terasa begitu dingin. Sang dokter mengecup perlahan punggung tangan pasiennya. "Bangunlah, Olivia. Jangan membuatku menjadi gila."
Gustin berani bertindak nekat karena di ruangan itu hanya ada dirinya dan Olivia saja. Pada saat yang bersamaan, lelaki itu seperti mendapatkan semangat baru. Dokter Gustin sadar dan harus segera memberitahukan kondisi Olivia pada keluarga pasien.
Usai menghubungi Ayah Olivia, dokter muda itu bergerak perlahan. Kini ia menyadari satu hal, perasaan pada pasiennya itu bukan sekadar empati. Melainkan ikatan emosional yang istimewa. Ekor netranya tak lepas memandang Olivia, sejak kedatangan wanita itu. Dokter Gustin banyak menghabiskan waktu di rumah sakit.
Seseorang tengah berdiri di depan ruang Icu yang tak lain adalah Ozan —Ayah Olivia. Ia mengetuk pintu ruangan itu dengan lirih, Dokter Gustin yang telah menanti kedatangannya segera keluar ruangan. Ia tidak ingin percakapan mereka nanti mengusik pasien.
"Selamat siang, Dokter Gustin," ujar Ozan membuka pembicaraan.
Sebagai seorang ayah, ia merasa ada yang tidak beres dengan kondisi sang putri yang tiba-tiba drop. Ingin rasanya ia mendesak Dokter Gustin, tetapi itu tampak tidak etis. Sehingga lelaki itu memilih untuk bersabar.
"Siang, Dokter Ozan. Sebelumnya saya meminta maaf karena meminta Anda untuk datang kemari," ucap dokter tampan itu lirih.
"Tidak apa-apa, Dok. Kebetulan saya juga sudah mengambil cuti, keselamatan putri saya nomor satu."
Gustin menarik napas panjang, ia telah merangkai banyak kata dalam benaknya. "Namun, kondisi Olivia saat ini sedang tidak baik. Sel kanker yang ia alami berkembang pesat, saya juga heran mengapa itu bisa terjadi. Sehingga ... leukemia yang bersarang di tubuhnya menjadi stadium tiga."
Seketika dunia serasa berputar, Ozan bagaiakan tertampar dengan keras. Bagaimana tidak? Dirinya adalah seorang dokter juga, tetapi tidak bisa melakukan apapun untuk kesembuhan putrinya.
"Lantas bagaimana, Dok? Saya mohon selamatkan Olivia. Sa-saya akan membayar berapa pun biayanya," pinta Ozan sambari mengguncang tubuh Gustin.
"Pasien membutuhkan donor sumsum tulang belakang secepatnya. Hanya itu satu-satunya jalan akhir yang dapat kita tempuh, walaupun prosentase keberhasilan hanya sekitar tiga puluh persen."
Tubuh Ozan meremang, bibirnya bergetar mendengar ucapan dokter yang merawat putrinya tersebut. "Di mana saya bisa mendapatkan donor itu, Dok?"
"Saudara kandung. Karena saudara kandung memiliki gen yang menyerupai milik pasien. Namun, itu juga belum menjamin kecocokannya dan harus melakukan serangkaian tes agar tubuh penerima donor tidak menolak."
Di saat yang bersamaan Rehan sampai di sana bersama Bella. Lelaki yang telah merindukan kekasihnya itu tampak sangat gusar. Ia menghampiri Ozan tanpa memperhatikan langkahnya.
"Bagaimana keadaan Olivia, Om? Maaf, saya baru bisa menjenguknya sekarang." Rehan menyentuh bahu Ozan.
Namun, Ayah Olivia itu hanya terdiam. Beliau berpikir keras dan tidak memperhatikan kedatangan Rehan tersebut. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun, baginya saat ini keselamatan Olivia yang terpenting.
"Om, tolong jawab pertanyaan saya," desak Rehan sekali lagi.
Sementara itu Dokter Gustin mengerutkan dahi, ia bingung dengan Rehan yang tiba-tiba muncul. Rasa penasaran bergelayut dalam sanubari, lelaki itu tak mampu lagi membendung rasa penasarannya. Apalagi lelaki itu terus mendesak Ozan, akhirnya Gustin memilih untuk angkat bicara.
"Mohon maaf, kondisi pasien adalah privasi keluarga dan pihak rumah sakit. Anda siapa tiba-tiba datang dan menanyakan hal tersebut?" tanya Gustin dengan nada datar.
Rehan menoleh dan menatap sang dokter.
"Saya kekasih Olivia dan saya berhak untuk mengetahui kondisinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Olivia
RandomLeukimia, pernah menjadi mimpi buruk bagi seorang gadis yang dipuja dua lelaki sekaligus. Olivia Dera Bellvaria, dia harus memilih dua pilihan. Keluarga dan kekasih yang selalu mencemaskan dirinya, ataukah seorang dokter yang berusaha semaksimal mun...