Tragedi

5.5K 518 65
                                    

Suasana di ruangan itu sunyi, Dirga duduk menunduk sambil memijat pelipisnya. Harusnya dia bisa istirahat tenang di rumah setelah sehari penuh dinas. Namun, setelah mendengar penjelasan Samsul dan melihat kondisi Vera yang terkulai lemas di brankar, mana bisa Dirga istirahat tenang?

"Sam, apa sudah ada informasi dari polisi?" tanya Vera tak tenang memikirkan Aurora.

"Belum, Ver." Samsul menatap Vera iba.

Lagi-lagi Vera menangis, dia tak kuasa menahan kesedihannya.

"Ver, sudah dong, jangan nangis terus. Kita berdoa, semoga polisi segera menemukannya." Rosita tak pernah jauh dari sisi Vera.

"Ros, aku takut Aurora disakiti. Di depanku saja, dia berani menyakiti putriku apalagi tidak ada aku." Tangis Vera semakin terisak.

Pikiran Dirga terasa penuh, sekujur tubuhnya sangat penat. Dia beranjak dari tempat duduk.

"Mau ke mana, Ga?" tanya Samsul saat Dirga ingin keluar dari ruang rawat Vera.

"Mau ganti baju dulu, Pa. Sebentar," ujar Dirga lantas ke luar.

Padahal di ruangan itu ada kamar mandi. Namun, Dirga sengaja keluar karena ingin mencari ide.

Sambil berjalan ke toilet, Dirga berpikir panjang dan menimbang keputusannya. Jika ingin menyelamatkan Aurora, posisinya saja Dirga tak tahu.

Selepas kepergian Dirga, ponsel Samsul berdering.

"Pa, siapa tahu itu Ahmad," ujar Rosita tak sabar ingin tahu si penelepon.

Bergegas Samsul menerima panggilan itu. Benar saja, Ahmad memberikan informasi tentang posisi Aurora saat ini. Setelah berbincang cukup lama dengan Ahmad, kakak kandung Samsul yang menjabat sebagai kapolres, panggilan berakhir.

Dirga kembali ke ruangan itu, seragamnya sudah berganti celana panjang jens hitam, kaus, dan jaket jeans biru.

"Ga, Om Ahmad tadi telepon, malam ini juga kita diminta ke kantornya," jelas Samsul.

Padahal saat ini pukul 23.40 WIB, waktunya orang istirahat. Sejak tadi pulang dinas, Dirga belum istirahat.

"Iya sudah, Pa. Ayo!" sahut Dirga segera meletakkan seragamnya di meja.

Setelah pamitan dengan Rosita dan Vera, mereka pergi ke kantor polisi. Sampai di sana, Ahmad menjelaskan rencana yang sudah disusun bersama timnya.

"Aku sudah sebar intel buat mata-mata situasi di sana. Semoga kita belum terlambat," ucap Ahmad lalu menarik napas berat.

Dirga mengacak rambutnya frustrasi. Untungnya Aurora membawa ponsel saat dibawa paksa Faruq tadi pagi. Jadi, pihak kepolisian dapat melacak keberadaannya melalui GPRS pada ponselnya.

"Dia sekarang di mana, Om?" tanya Dirga tercetak jelas cemas bercampur penat di wajahnya.

"Di hotel Sweet Wahid. Kamar presidensial. Penjagaan mereka sangat ketat. Dari berbagai lapisan. Om enggak tahu mereka dari departemen mana saja," papar Ahmad sangat hati-hati menghadapi kasus ini.

"Bagaimana keadaan dia?" tanya Dirga lirih, memang terdengar santai, tetapi dia sangat mencemaskan Aurora.

"Om belum bisa mengirim intel masuk ke tempat mereka menyekap Aurora, Ga. Salah satu tim sudah berusaha menyamar jadi pelayan yang mengantar makanan, tapi gagal. Tim kami hanya bisa mengawasi keadaan sekitar kamar. Siapa pun yang ingin masuk ke kamar itu tidak diizinkan, hanya sampai depan pintu lalu bodyguard yang membawa masuk."

Samsul yang duduk di depan meja kerja Ahmad menghela napas berat. Dia tak habis pikir, kenapa bisa Aurora berurusan dengan orang senekat Faruq. Pantas saja sahabatnya, Brama, tak menyetujui putrinya menikah dengan pemuda itu.

Halo, Kapten! (Izinkan Aku Mengetuk Pintu Hatimu) "KOMPLIT"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang