Jina berteduh di depan toko baju, tidak bermaksud untuk masuk ke dalam. Sedikit mencibir sembari membersihkan air dari kedua lengannya, ia memperhatikan mobil Morgan perlahan melesat di jalanan. "Kenapa dia harus datang,"
Kepalanya memutar ke kanan dan kiri. Tidak ada toko roti. Ia menyadari jika perutnya terasa lapar. Tiba-tiba aroma kopi menerjang hidungnya, ia tidak menyukai minuman itu tapi untuk hari ini tidak apa-apa jika ia mencobanya sedikit. Jina mengerang, kembali berlari menyeberangi jalan menuju cafe yang ada di depan toko baju.
Ia lupa makan siang saat di sekolah. Jina melirik jam tangan dan kembali mengerang dalam hati. Satu tangan mengelus perutnya yang menyedihkan itu. Sedari tadi terus mengeluarkan suara, seakan berteriak meminta makanan. Ia harus cepat-cepat sampai di rumah dan makan sesuatu tetapi dalam keadaan cuaca seperti ini, bagaimana caranya ia pulang.
"Pesanan anda," Seru pelayan cafe setelah meletakkan secangkir cappucino.
Jina tersenyum, dan sedikit mengangguk. Ketika pelayan itu pergi, ia menatap lekat cappucino yang masih mengepulkan uap panas. Perlahan kedua tangannya memegangi sisi gelas, merasakan kehangatan di sana. "Akhirnya..." Jina mengesap cappucino dengan hati-hati. Lalu menghela napas.
Saat ini cafe sepi, hanya ada dirinya. Ia duduk di kursi yang berada di tengah-tengah ruangan. Ia ingat, kepalanya menoleh menatap kursi yang ada di dekat jendela kaca menghadap jalanan. Sebenarnya waktu itu ia sangat terkejut dan takut. Ia tidak tau bagaimana caranya untuk menghadapi Morgan di rumah. Dan Ayahnya, pria itu akan sangat marah jika mengetahui dirinya masih berada di luar ketika larut malam.
Lamunannya buyar ketika mendengar pintu cafe terbuka. Jina mengalihkan pandangan dan menatap wanita berambut di cat cokelat terikat rapi, menyapa salah satu pelayan cafe yang ada di belakang kasir. Wajahnya kecil, dengan hidung mancung, dan memiliki tubuh yang ideal. Jina menggigit bibir, sejak lama ia menginginkan tubuh seperti itu.
"Kau tidak kehujanan? Lihatlah pakaianmu basah,"
Terdengar wanita yang baru saja datang itu tertawa, "Aku pesan Latte dan cokelat panas,"
"Bagaimana pekerjaanmu, kau pasti sangat kelelahan,"
"Ya, seperti yang kau lihat sekarang. Tidak ada masalah denganku, aku masih bisa berdiri dan melakukan aktivitasku."
Jina menghabiskan cappucinonya, lalu beranjak pergi keluar cafe. Ia tidak bisa di sana, telinganya mendengar semua pembicaraan mereka dan ia tidak ingin menguping. Begitu berada di depan cafe, ia mendongak dan menatap langit.
"Butuh tumpangan?"
Kontan Jina menoleh, wanita yang tadi ia perhatikan sekarang berada di sampingnya.
"Aku hanya bawa satu payung," Wanita itu mengedikkan kepala menunjukkan payungnya yang ia letakkan di samping pintu cafe. "Kita bisa menggunakannya bersama,"
Jina mengerjap-ngerjap, ia lihat wanita itu memasangkan sebuah senyuman. Spontan tubuhnya menegang, sangat cantik.
"Lagi pula aku tidak bisa membawa payung, aku membawa ini." Kedua tangannya memegang masing-masing minuman yang baru saja ia pesan. "Perusahaanku tidak jauh dari sini, kalau kau tidak keberatan kita bisa menggunakannya bersama ke kantorku. Setelah itu kau bisa membawa payungku,"
"Tapi..."
"Jangan menolak. Aku senang bisa kenalan denganmu, Namaku Laras..." Ucapannya terhenti, ia ingin mengulurkan tangan agar dapat menjabat tangan gadis di depannya. Tapi terhalang oleh bawaannya, "Maaf,"
"Tidak masalah," Kata Jina, ia kemudian meraih payung berwarna biru bergaris-garis itu dan memayungi Laras. "Aku akan memayungimu,"
"Siapa namamu?" Tanya Laras ketika mereka mulai berjalan di pinggir trotoar.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD TIME MORGAN
RomancePercaya cinta pada pandangan pertama? Jika kamu percaya, beranikah kamu menyatakan cintamu itu. Sebuah perasaan yang datang entah dari mana hingga sanggup membuat Jina tidak bisa bernapas. Ia tidak pernah menyangka akan mencintai seorang pria tamp...