BAB 7

2 1 0
                                    

Jina memperhatikan pakaian yang ia kenakan dari kaca. Semuanya terasa seperti mimpi. Gaun putih polos di atas lutut dengan sepatu yang memiliki warna senada. Foto keluarga? Ia membalikkan tubuh. Menatap Ayah dan Ibu tirinya sedang mengobrol di sebuah meja kecil di dekat pintu masuk. Dia juga akan datang? Mereka sudah menunggu satu jam lebih. Menunda pemotretan karena Morgan masih memiliki pekerjaan yang harus di selesaikan terlebih dahulu.

"Maaf, mungkin sebentar lagi. Anakku sedikit terlambat,"

Fotografer pria yang ada di hadapan Heri menghela napas. "Baiklah, aku akan menunggu. Jangan lebih dari lima belas menit, karena aku juga masih memiliki pekerjaan lain."

Setelah fotografer itu pergi. Perlahan Jina melangkah mendekat dan berkata, "Ayah, kita bisa melakukannya lain kali saja."

"Apa," Heri sedikit terkejut. Tapi ia menggelengkan kepala pelan, "Duduklah, kita masih memiliki banyak waktu."

"Kakakmu akan datang, hari ini tidak akan di tunda lagi." Tambah Sinta.

"Tapi..."

Ucapan Jina menggantung ketika melihat sebuah mobil terparkir di depan studio. Di lihatnya Morgan keluar sembari memasang sebuah senyuman. Dan, mereka kembali bertemu.

Sinta menggiring Morgan masuk ke dalam ruang ganti. Ia sedikit bergegas agar tidak membuang banyak waktu. Jina memperhatikan punggung Morgan yang mulai menjauh. Pria itu terlihat sangat lelah.

Cinta monyet. Jika benar, tolong hilangkan rasa sakit yang ada di dadanya. Ia tidak bisa berlama-lama terjebak di dalam permainan gila itu. Mana mungkin pria itu menyukainya. Ia hanya seorang gadis, belum memiliki pengalaman apa pun tentang cinta. Ia tidak paham bagaimana jalannya percintaan. Ia juga tidak memiliki cara untuk mengobati jika terjadi luka.

"Bagus, senyum sedikit ceria lagi." Ucap pria yang memegangi kamera, "Oke, Nona jangan terlalu tegang."

Sontak Jina terperanjat. Ia mengerjap saat Ayahnya menatapnya tanpa bertanya, hingga membuat Jina mengangguk paham. Ia menelan ludah, mengepalkan kedua tangan mencoba untuk membuang ketegangannya. Ayah dan Ibu tirinya duduk di sebuah kursi, sedangkan dirinya berdiri di bagian belakang orangtuanya bersama Morgan.

Tubuh Jina semakin menegang saat lengan Morgan tanpa sengaja menyentuh lengannya. Napasnya sesak, keringat mulai mengalir di sekujur tubuh, ruangan itu terpasang pendingin ruangan. Tapi, ia masih merasa kepanasan.

***

"Makan bersama dulu sebelum kembali ke kantormu,"

Morgan melepas jasnya dan memberikan kepada sang Ibu. "Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan kantor. Maaf,"

"Selalu saja kau seperti itu, apa kau tidak pernah merindukan Ibu." Sinta menatap tajam Morgan yang memasang sebuah senyuman. "Apa? kau masih bisa tersenyum." Ia membuang wajah, merajuk.

"Aku akan segera pulang kalau pekerjaanku sudah selesai." Ucap Morgan, mencoba menyakinkan Ibunya. "Ibu masih bekerja?"

Sinta menghela napas pasrah, "Masih, rumah sakit masih membutuhkan tenaga Ibu." Ia memalingkan wajah menatap Heri yang sedang menunggu di luar studio bersama Jina. "Kami menjadi semakin sibuk akhir-akhir ini dan juga jarang pulang tepat waktu."

Morgan tidak menjawab, ia hanya mengangguk-anggukkan kepala mengerti.

"Seringlah pulang ke rumah, Ibu merasa kasihan dengan Jina. Meskipun Ayahnya sudah menikah lagi, tapi dia masih saja sendirian. Ibu merasa bersalah."

"Dia sudah besar Bu," Ujar Morgan, "Lagi pula dia bisa mengurus dirinya sendiri, jadi jangan khawatirkan dia. Ibu harus jaga kesehatan jangan sampai jatuh sakit."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GOOD TIME MORGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang