3. Bertemu Lagi

129 18 9
                                    

Seperti rencana mereka pagi tadi, siang ini keempat mahasiswa yang sering dijuluki the curut itu sedang duduk lesehan di dalam kedai sate padang. Tak jauh dari kampus memang. Namun pamornya kalah oleh kafe milik Bapak Dosen Arjuna Pamungkas yang ada di seberang kampus. Padahal rasanya tidak bisa diragukan lagi.

"Gua kemaren dilamar sama artis Korea. Gua sebutin namanya juga kalian gak akan kenal. Jadi gak usah disebutin. Tapi pas mau masang cincin, bunda teriak-teriak didapur. Jadi kebangun deh." Tia membuka percakapan dengan mimpi halunya malam tadi.

"Kenapa bunda lo teriak?" tanya Anto, meski tidak perduli dengan cerita sang sahabat, tak dipungkiri ia juga penasaran, kenapa bunda Tia yang dikenal kalem sampai harus berteriak.

"Micinnya abis."

Ketiga sahabatnya mengangguk-angguk dengan pemikiran yang sama.

"Pantas saja."

"Bilangin deh sama emak lo, Ya. Jangan kebanyakan ngasih micinya. Kasian anaknya udah goblok tingkat akut," ucap Lola. Lalu dia tertawa terbahak-bahak.

"Dih, sesama mahluk goblok mah, gak boleh saling ejek kali. Nanti kegoblokannya bertambah," jawab Tia tak terima. Sama-sama goblok tapi malah saling ejek. Solidaritas aja kenapa sih?

"Emak lo kalo masak gak pake micin, La?"

Lola menggeleng, dia menatap Anto tajam. "Emak gua kalo masak pake MSG bukan micin." Lalu dia terbahak lagi.

"Natural banget, La. Gobloknya." Tia tertawa lepas, bercanda dengan para sahabatnya memang bisa membuat beban-beban berat dipunggung mereka terangkat sementara.

"Eh. Deket sini ada rawa-rawa kan? Ayoklah kita mutilasi." Anto mengerang, tiba-tiba hasrat ingin membunuhnya naik hingga level tertinggi.

"Nanti kita pinjem piso daging mamang sate padang." Tia menimpali, dia mengangguk antusias.

"Buat apa? Nanti kita beli cutter aja di mamang siomay depan. Biar lebih kerasa." Anto menggeleng, dia benar-benar memiliki jiwa psikopat sekarang.

Tia mengernyit, gadis itu sedikit tidak paham. "Emang mamang siomay jualan cutter, To?" tanyanya.

"Jangankan cutter, golok aja dia jual."

"Seriusan?"

Anto mengangguk. "Serius, orang dia jual siomay di depan tokonya yang jual aneka macam benda tajam kok."

"Sebenernya bisa di persingkat sih, To. Kagak usah kebanyakan bicit, kan jadi keliatan gobloknya." Tia menjitak kepala Anto sekali, lalu dibalas oleh Anto, begitu juga seterusnya. Hingga akhirnya sate pesanan mereka datang. Dan mereka menghentikan aksi kekerasan satu sama lain itu untuk mengisi perut lapar mereka.

"Kakak yang kemaren nangis di taman kan?"

Lola membelalak, hampir tersedak sate yang sedang dimakannya. Suaranya kayak kenal. Jangan-jangan anaknya Lee Minho kw kemaren lagi.

Perlahan tapi pasti ia melihat ke arah suara-yang sepertinya-memanggilnya tadi.

"Tuu kan, bener. Kakak yang kemaren. Kaki kakak udah gak sakit lagi kan? Kakak udah gak nagis lagi kan? Kakak udah gak kenapa-kenapa kan?" Gadis kecil manis-yang kalau Lola tidak salah ingat-bernama Ely itu memberondongnya dengan tanya.

"E-Ely ya? Sama siapa kesininya?" tanya Lola berbasa-basi. Dia melirik ketiga temannya yang sudah seperti ingin melahapnya dengan tanya.

"Sama ayah dong. Kan ayah kerja di sekolah itu. Tapi ayah lagi ke kamar mandi. Kakak kenapa kesini? Kakak sekolah di sana ya?" tanya Ely lagi.

Astaghfirullah Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang