― june ―

1.5K 279 26
                                    

Diajak masuk OSIS,
ternyata bukan organisasinya
hanya ruangannya.

 

Kau menatap dongkol ke arah Teru dan Akane yang sedang bekerja. Jadi, ini yang dimaksud dilindungi olehnya? Selama bukan jam pelajaran harus berada dekat dengannya, kecuali ketika di rumah.

Merepotkan, tapi selama tidak mengganggu kegiatan bermain game-mu, toh tidak ada masalah. Irismu melirik ke arah jendela, hujan mulai turun. Helaan napas kau keluarkan, di saat gelap seperti ini, justru mereka akan banyak ke luar. Karena tak ingin berurusan dengan mereka, kau pun kembali menyibukkan diri dengan game.

"Kalau saat seperti ini, mereka banyak ke luar yah. Tapi tenang saja. Di ruangan ini aman, kok. Aku sudah memasang penghalang," ujar Teru yang seakan dapat membaca pikiranmu.

Kau membalas dengan mengulas senyum kikuk padanya. Akane ikut menghela napas kasar seraya berujar, "Kalian ... kalau mau pacaran di luar sana! Jangan di si―"

Teru mencubit Akane sembari mengulas senyum tak bersalah. Kau tidak bisa menyalahkan rasa cemburu Akane, sih. Pasti ia merasa kesal karena orang yang sedang mencubitnya bisa berkomunikasi dengan baik oleh crush-nya, Aoi.

Namun, tetap saja ... pemuda berambut blonde itu kelihatan sadis di matamu.

Hah ... beruntung, dia tidak brocon, batinmu lega.

"Ngomong-ngomong, daripada itu, Aoi, apa kau tahu kenapa [Name] punya aura yang menarik para arwah?" tanya Teru yang telah melepaskan cubitannya pada Akane. Ia memasang ekspresi serius.

Yah, kau tahu kalau Aoi Akane adalah misteri sekolah nomor satu karena suatu kejadian.

Akane mengendikkan bahu, "Entahlah, aku juga baru pertama kali melihat auranya seperti itu. Lagian, aku tidak peduli sama yang lain kalau bukan soal Ao-chan."

"Tapi dia teman-nya, lho."

"Haha, iya benar juga."

Mereka berdua saling melempar senyum.

Seseorang, tolong, aku ingin kehidupan yang damai, batinmu menggerutu sekali lagi.

Akane menoleh, menatapmu, "Barangkali ... [Last Name], kau dekat dengan kematian? Karena itu jaraknya sangat tipis dan kau dapat melihat mereka."

"Aku juga sempat berpikiran seperti itu, hanya saja [Name] bilang ia sudah bisa melihat mereka sejak kecil. Kalau begitu, hanya ada satu kemungkinan ..."

"Keturunan?" tanya mereka berdua bersamaan.

Kau menunduk lalu menggeleng pelan. Kedua orangtuamu hanyalah orang biasa yang tak mampu melihat ataupun merasakan kehadiran mereka. Lamunanmu pun terhenti, bulu kudukmu terasa merinding.

Sontak, kau melihat ke luar jendela. Sosok berwajah seram yang berada di pohon sakura kemarin berdiri menatap ke arahmu, tak peduli derasnya hujan yang mengguyur dirinya. Kau tersentak dan segera melihat ke layar handphone, berusaha menyibukkan diri.

Teru menepuk pundakmu lalu mengulas senyum, "Tenang saja, dia sudah pergi, kok."

Kau kembali melihat ke arah tersebut dan nihil, tak ada sama sekali. Irismu bergulir, berganti menatap ke arah sosoknya yang ramah. Kau menegak ludah, sedikit berkeringat dingin.

Sebenarnya kenapa mereka takut padamu? batinmu yang ingin bertanya, namun terlalu takut kau ucapkan.

"Lupakan hal itu, sini kubantu kalian. Aku merasa tidak enak kalau hanya numpang di sini tanpa melakukan sesuatu."

Teru terkekeh kecil lalu mengacak rambutmu, "Baiklah kalau kau memaksa. Bantu sortir dokumennya saja, ya. Sisanya nanti kuurus."

Dan Teru pun mulai mengajari dirimu cara menyortir dokumen, diiringi suara tetesan hujan dan Akane yang menggerutu karena menjadi nyamuk.

1 Semester ⇢Minamoto Teru × Reader [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang