Ujian semester mulai mendekat,
Apa ini pertanda akhir dari segalanya?
Kau menjatuhkan kepalamu di atas meja, membiarkan tanganmu yang menjadi bantalannya. Tak peduli akan kekhawatiran Nene dan Aoi sejak tadi pagi. Tentu saja, kau mengabaikan mereka berdua karena sebab merekalah kau bertemu dengan pemuda itu. Pemuda yang hanya menjadikan dirimu sebagai umpan agar ia bisa membasmi arwah.
Tapi, bukannya sedari awal ia memang bermaksud seperti itu? Kau sendiri yang terlalu berharap lebih pada Teru.
Aoi memegang pipimu, khawatir seraya bertanya, "Apa aku melakukan kesalahan sampai [Name]-chan merasa sedih? Atau karena soal kami mempertemukanmu dengannya?"
"[Name]-chan, jangan-jangan kau tidak bisa meminta bantuan Minamoto-senpai untuk ujian nanti?!"
Helaan napas ke luar, kau memijat pelipismu, lelah. Kenapa kedua orang ini ingin sekali kau bersama dengan Teru.
"Kalian ... kenapa sih, dari kemarin membahas soal ia padaku?" tanyamu, jengah.
Nene dan Aoi saling tukar pandang satu sama lain ketika mendengar pertanyaan yang kau lontarkan. Nene ingin menjawab mengenai dirinya yang disarankan oleh Hanako, namun tak ingin ia ungkapkan padamu. Sedangkan Aoi, hanya mengulas senyum ramah seperti biasa.
"Soalnya kalian terlihat cocok," jawab Aoi dengan mudah.
Wajah Nene dan dirimu juga memerah. Hanya saja, dirimu memerah karena kesal.
"C-cocok?" Nene terbata-bata sembari melihat ke arahmu dan Aoi secara bergantian. Tak butuh waktu lama, ia memojokkan diri seraya bergumam, "Oh iya, kakiku kan lobak ... hahaha."
"Ah, dia down lagi," ujarmu dan Aoi bersamaan.
"Oh, sudah waktunya pulang. Aku duluan, ya!"
Aoi mengerjapkan mata ketika menyadari bahwa sudah waktunya untuk pulang. Dengan cepat, ia berpamitan dan diikuti oleh Akane yang ke luar dari kelas.
Nene yang melihat ruangan kelas mulai sepi, segera membuka topik kepadamu. Ia mengecilkan suaranya, berharap agar orang lain tak mendengar apa yang ia katakan.
"[Name]-chan, apa kau bisa melihat Hanako-kun?" tanya Nene takut-takut.
Kau berujar datar, berpikir sejenak, "Oh, sosok yang sering menyuruhmu untuk membersihkan toilet perempuan, ya?"
Gadis berambut ombre itu hampir memojok lagi, jika saja ia tidak ingat kalau harus memberitahumu segera.
"Hanako-kun bilang bahwa kalau tubuhmu berhasil dirasuki, arwah yang merasukimu akan bisa mengendalikan tubuhmu selamanya. Yang berarti ... kau akan menghilang dan digantikan oleh mereka," jelas Nene dengan suara yang makin lama makin mengecil.
Kau menegak ludah, mencoba memahami situasi. Ah, karena itulah banyak arwah yang mendekati dirimu. Apa Teru sudah menyadari hal itu sebelumnya?
"Jadi begitu, ya. Pantas saja aura [Name] banyak yang suka," sahut seseorang dengan suara yang familiar.
Sosok blonde itu mengulas senyum seperti biasa, iris birunya yang setenang langit menatap ke arah dirimu dan Nene. Kau menegak ludah dan mengalihkan pandanganmu.
"M-Minamoto-senpai?" Nene terlonjak kaget, hampir saja berteriak. Sontak, ia mengambil tasnya lalu pergi meninggalkan kalian berdua dengan kikuk, "Ka-kalau begitu, aku pergi duluan! Sampai jumpa, [Name]-chan!"
Dia itu―apa-apaan langsung main pergi? Kau membatin kesal pada Nene, tak lupa pula dengan sedikit mengutuk Aoi.
Teru gantian menatapmu serius, "Lalu, kau ingin bagaimana [Name]? Apa kau merasa kasihan pada mereka yang ingin mengambil tubuhmu?"
"Bu-bukan begitu ..."
Kau menunduk, tak berani untuk menatap sosoknya. Melihat gelagatmu, Teru hanya menghela napas lalu mengacak rambutmu.
"Aku hanya merasa kalau Minamoto-senpai menjadikanku umpan agar bisa membasmi semua roh jahat selama satu semester ini. Karena itulah, aku merasa lain."
Teru mengerjapkan matanya, terkejut ketika mendengar dirimu yang membahas mengenai umpan. Ia mengulas senyum bersalah sembari menggaruk pipinya yang tak gatal, "Ah, soal itu yah! Daripada umpan, aku lebih penasaran dengan [Name] sendiri. Menurutku, kau unik karena tak tahu mengenai diriku, tak seperti murid-murid yang lain."
"E-eh?"
"Kau sering menyendiri, bermain game, makan cemilan, membaca manga atau novel, mengabaikan arwah-arwah yang mencoba untuk mendekatimu meskipun kau bisa melihat mereka, terkadang tak bisa jujur akan perasaan sendiri, juga tak peduli akan keberadaan orang-orang selain teman―"
Hah?
"―Tunggu, tunggu, tunggu! Senpai, dari mana kau tahu itu semua?"
"'Ah, maaf, apa aku terlalu banyak bicara?" tanya Teru seraya terkekeh pelan, kemudian melanjutkan kalimatnya, "Memangnya satu semester ini apa saja yang kita lakukan?"
Gawat, gawat, gawat, aku memang paling tidak bisa berhadapan dengan tipikal seperti dia di dunia nyata!
Wajahmu memerah, kau menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah tersebut dengan tanganmu. Melihat reaksi darimu, Teru hanya tertawa kecil sembari mengelus kepalamu.
"Tenang saja, aku akan melindungimu dari roh jahat yang ingin mendekatimu. Nah, bagaimana kalau kita belajar bersama untuk ujian nanti?" ajak Teru. Pemuda itu tahu dengan sangat jelas, bahwa kau kurang bisa dalam akademik.
Kau menghela napas lalu mengulas senyum kecil, merasa sedikit lega setelah mendengar semuanya dari Teru mengenai dirimu. Lantas, kau menerima ajakannya. Namun, kali ini, dengan tulus dan jujur.
"Baiklah, Teru-san."
Gantian, wajah Teru yang memerah ketika mendengar dirimu yang memanggil dirinya dengan nama depan. Hm, mungkin Teru harus sedikit berterima kasih dengan cara menunda ritual pada Hanako, karena ia menyuruh Nene agar kau dan Teru bisa bersama.
Akhir semester bukanlah akhir dari segalanya,
Tapi, ini hanyalah sebagai permulaan yang baru.
―END―
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Semester ⇢Minamoto Teru × Reader [✓]
Fanfiction"Minamoto-senpai, ya? Aku belum pernah melihatnya." Nene terkejut ketika mendengar temannya tak pernah bertemu dengan Minamoto Teru. Bagaimana bisa? Pemuda yang hebat itu sudah pasti dikenal banyak orang. Tampang dan sikapnya yang ramah tak jarang m...