Mas, karangan tulip yang kau rangkai di sela sibukmu, tak hanya manjakan pandangku, pun juga rasaku. Kamu pasti tahu, 'kan, aku suka bunga, begitupun bahasanya. Bahasa bunga sangat indah dan tulus, seperti kau, mas. Alangkah senang hati ini menerima rangkaian indah yang tiba-tiba saja kau sodorkan padaku dengan muka memerahmu yang jarang kau perlihatkan.
"Dek, bisa tolong berikan rangkaian tulip ini untuk teman yang kau bonceng kemari tadi?"
Ucapanmu itu mas, yang begitu saja kau lontarkan padaku, seperti batu rajam yang menghantam. Kecil memang, tapi sakit. Bukan fisikku yang sakit, tapi rasaku. Remuk redam sudah. Tulip merah yang bermakna pengakuan cinta itu bukan untuk diriku.Apa yang kuharapkan sebenarnya sih? Aku menyukaimu mas, sejak lama. Tapi apalah daya, kau tak pernah menyukaiku. Tidak sejak dulu, sekalipun tak pernah, apalagi di masa depan. Ya, memang begini takdirku, aku terlahir begini. Mencintai dalam diam dan takkan bisa mengungkapkannya. Biar saja kusimpan sendiri. Aku tak ingin membuat jarak antara kita.
"Ya mas, nanti biar Arya antar ke kos dia."
Tak perlulah kalian kaget. Memang ini adanya. Ini diriku, Arya Subagyo, yang menyukai mas apa adanya. Bukan sebagai teman, tapi sebagai pencinta yang ingin dicintai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Impacto
KurzgeschichtenIni adalah kumpulan tulisan yang kutulis kala senggang. Selamat membaca!